Wednesday 18 February 2015

Short Story "Dekat Di Hati" part 5

Juni

Juni. Setiap kulirik kalendar kamar, mataku langsung mendarat ke kolom bulan keenam dalam kurun waktu setahun. Ada yang istimewa di bulan Juni nanti. Ada rencana dan janji jumpa di bulan setelah Mei berlalu. Mataku berseri-seri setiap melihat kolom bulan Juni. Harapanku teramat besar terpatri di bulan Juni. Kau, yang berjanji datang setelah Mei bergulir, berganti bulan Juni. Kau, yang katanya akan seberangi Selat Sunda dan merambah tanah Jawa demi bertemu kekasih hati. Aku! Ya, kekasih hatimu, aku.

Entah bagaimana kisah kita bermulai. Kisah seorang lelaki Sumatera dan perempuan Sunda. Dari awalnya hanya saling sapa di dunia maya, kini mendaki ke arah yang lebih serius, ikatan hati. Bukan mudah melebur segala beda menjadi suatu kesatuan, yang pada akhirnya menanamkan rasa yang sama di hati masing-masing. Adat. Budaya. Keseharian. Pandangan. Cara berbahasa. Kau dan aku sungguh berbeda. Awal-awal pun ada ragu yang merambah bagaimana jika kelak kita terjerembab dalam sebuah rasa, padahal kita tak sama? Tapi katamu, semua manusia sama saja di mata Tuhan. Apa salahnya apabila dua orang beda pulau, adat, budaya, keseharian, pandangan, cara berbahasa, jatuh cinta? Sekalipun dua orang itu belum pernah berjumpa di dunia nyata. Cinta tak pandang itu semua, bukan?

"Tunggu Kakak di bulan Juni. Kakak akan menetap di kotamu untuk waktu yang lama. Bersabarlah. Kelak, jarak tak lagi jadi penghalang kita, Dik."

Air mataku menitik. Padahal, yang kutatap saat ini bukan kau, melainkan layar ponselku sendiri. Rupanya, ada yang lebih tabah dari hujan bulan Juni. Penantianku. Rinduku. Cintaku. Kepada kau di pulau seberang...

---

Rindu

Dalam sebuah hubungan antara dua manusia, selalu ada jarak yang memisahkan antara keduanya. Entah itu jarak antara letak yang begitu jauh. Ataupun jarak antara dua hati, yang tak bisa saling memiliki.

“Menikah?” tanyaku tak yakin.

Seseorang dari seberang telepon hanya terkekeh mendengar aku tak begitu yakin. Pasti ia sedang menebak-nebak ekspresi wajahku saat ini.

“Apa kamu nggak bisa menunda sampai kamu benar-benar terbebas dari pekerjaanmu itu?” tanyaku lagi.

Aku mendengar ada sedikit kekecewaan dari caranya mengatur napas. Sebenarnya aku mau acara pernikahan ini dipercepat, tapi bagaimana dengan kehidupanku dengan Kak Bagas nantinya?

“Apa kamu nggak yakin kalau kita bisa menjalani kehidupan baru meski kita terpisah jarak yang begitu jauh?” ucapnya lirih.

“Bukannya begitu, tapi…”

“Percayalah, kita akan tetap baik-baik saja meski terpisah jarak yang begitu jauh. Karena jarak selalu mengajarkan kita akan banyak hal. Jarak mengajarkan kita untuk menghargai waktu….”

“Karena saat kita telah berhasil melipat jarak, kita mampu menghargai bahwa setiap detik waktu yang kita punya untuk bertemu sangat berharga. Jarak juga mengajarkan kita untuk melawan musuh yang paling nyata, yaitu ego. Dan jarak mengajarkan kita untuk saling menemukan. Kita bertemu pasti ada alasan, dan alasan paling nyata adalah kamu.”

Aku tersenyum mendengar penjelasannya. Tidak salah lagi, aku benar-benar bersyukur telah memilikinya. Karena berkat jarak, aku mampu melihat. Melihat ketulusan cintanya sampai saat ini.
---

No comments:

Post a Comment