Wednesday 18 February 2015

Short Story "Dekat Di Hati" part 4 (Family)

Jarak Satu Senti

"Apalagi anak ini," Bagas berdesis. Antara kesal dan sebal.
"Ya, halo?!" Sengaja berteriak agar orang di seberang telepon sana sadar kalau dia sedang tak ingin berbaik hati.

"Aku tidak bisa tidur!"

"Kau pikir aku mamamu? Aku tidak bisa bernyanyi kalau maumu itu."

"Bukan itu. Di sini mati lampu, bisa tolong ke sini?"

"Kau bukan anak kecil."

"Iya, sih. Tapi apa salahnya datang untuk adikmu sendiri?"

"Tidak, terima kasih."

Suara berdebum keras terdengar seperti tangan menonjok dinding. Bagas kaget setengah mati. Suara selanjutnya berteriak nyaring dari ponsel dan kamar sebelah. "Kak Bagas! Datang ke sini dan bawakan aku lilin, cepat!" teriak Chelsea.


---

Senyum itu Kamu

Hai Pagi ini aku tersenyum lagi karena kamu lagi. Ada sela-sela yang menjalar dalam tubuhku ketika mengingat senyum itu di pagi ini. Hanya jarak yang memisahkan kita, namun rasanya tak dapat aku pungkiri bahwa kitalah yang bersatu, iya hati kita ini bersatu dengan senyawa-senyawa yang sama.

"Halo, kamu sudah sarapan?"

"Iya, aku sudah sarapan?"

"Malam disini, dan aku telah makan malam, dengan dia."

"Ah, so sweet sekali."

Ada jeda.

"Kondisinya bagaimana?" Aku mencoba tersenyum sekali lagi.

"Dia tengah melamun di balkon. Dia masih tetap sama, hanya memandangi fotomu. Tak banyak bicara."

Aku tersenyum sekaligus memendam luka. Tapi sekali lagi aku hanya ingin tersenyum saja.

"Dia hanya menyebut Jakarta dan Chelndai."

Aku terdiam. Lintasan ingatan itu menyambar pikiranku. Aku kemudian kembali lagi pada masa itu. Ketika Mama masih yang dulu, masih bisa tersenyum dan mengajakku jalan-jalan. Dan, ah, sebuah truk itu meyerempet kami, hingga kemudian Mama tak sadarkan diri. Koma. Lalu tak seperti dulu.

Aku masih menyimpan foto senyumnya. Iya karena senyum itu kamu, Ma. senyum itu yang membuatku bertahan di Hongkong dan mencari sesuap nasi dan pengobatanmu Ma.

Senyum itu kamu , Ma. Tak hanya pendorong semangat, namun juga aliran positif yang selalu memberkahi langkahku disini. Senyum itu, senyum Mama.

No comments:

Post a Comment