Wednesday 18 February 2015

Short Story "Dekat Dihati" part 0

Jarak Hati
By Benedikta Sekar

                                 
“Sayang, ingat ya, jarak London sama Indonesia itu cuman 18 sentimeter.”

“Kalau jarak hati kita gimana?”

“Emang sejak kapan hati kita terpisah?”

Aku tertawa, pun kamu turut tertawa. Bersetatap di depan layar datar seolah-olah ruang dan waktu tak pernah ada; di sini pukul 12 tengah malam dan kamu di sana tengah menikmati makan siang.

“Sayang, kalau nanti aku pulang kamu oleh-oleh apa?” Tanyamu lagu sembari menyesap Americano di sampingmu.

Aku merapatkan selimut. “Aku gak mau oleh-oleh.”

“Terus maunya apa?”

“Maunya kamu jangan pergi lagi.”

Seketika itu juga raut wajahmu mengkeruh. Well, tak sepantasnya aku mengungkit perkara ini. Tapi hati yang meradang karena rindu tak mungkin bisa kusangkali.

“Sayang, aku gak bisa…”

“Kenapa?”

Kamu menggigit bibir. “Aku… punya mimpi.”

Lagi. Ini semua tentangmu dan mimpimu untuk menerbitkan kata-kata di negeri orang.

“Di sini aja apa gak bisa?”

“Gak bisa, sayang, beda…” lirih kamu berucap, semakin hati ini teriris.

“Ya udah kalau itu mau kamu. Aku mau putus…”

“APA?!” kamu menjerit nyaring, orang-orang di belakangmu menoleh serempak ke arahmu. Wajahmu langsung panik. “SAYANG! Gak bisa gitu dong! Gak bisa! Aku gak mau putus, aku gak mau! Tolong dong ngertiin aku! Tolong dong pahami aku! Kamu tahu kan dari dulu…”

“SSSSSTTT! STTT! Chelsea! Tenang duluuu…. Orang belum selesai ngomong juga.”

“Eh?”

Aku terkekeh, lalu mengeluarkan sesuatu dari baki punggung. Passport.

“Aku mau putusin kalau aku yang bakal pergi nemuin kamu.”

“Ap-apa?”

“Aku dapat beasiswa S2 di London, minggu depan aku udah take off.”

Kamu terdiam, aku nyengir kuda. Kamu mulai menangis, dan aku tertawa bahagia.

Yah, kamu bener, sayang. Jarak London dan Indonesia hanya 18 senti dan hati kita tak pernah berjarak.

--- 

881,20 km
By. Khavita Mutiara (judul asli 885,15 km)

"Pagi sayang."

"Pagi sayang. Bagaimana tidurmu? Mimpi indah?" Sapa Bagas.

"Mm, sangat indah. Ada kamu di dalam sana."

"Aku tau, aku tau. Kau merindukanku, kan?" Tangannya mengusap ke samping kiri tubuhnya. Tempat perempuan itu.

"Baiklah, kamu benar. I miss you so much much much. Haha." Chelsea tersenyum. Bukan. Tertawa. Tawa renyah yang sangat disukai Bagas.

"No, no. I miss you so much much much much much." Keduanya larut dalam tawa. Tertawa bersama Chelsea, bagi Bagas sudah cukup. Membuatnya tertawa, bahkan mendengar tawanya saja sudah lebih dari cukup bagi Chelsea.

"Ga, sudah menyapa langit? Sudah menyapa matahari? Sudah menyapa Tuhan?"

"Belum. Aku nungguin kamu. Mari sama-sama." Keduanya lantas beranjak menuju jendela, membukanya dan menatap ke atas. Ya, begitulah cara mereka bersyukur atas kehidupan. Atas penghidupan. Dan, cara mereka menyatakan kalau mereka masih saling mencintai.

"Fa, bagaimana langitmu? Mendung? Cerah? Berkabut? Di sini mendung, ah mungkin hujan akan turun sebentar lagi. Kesukaanmu, kan? Halo? Chels? Halo?" Bagas menjauhkan ponsel yang menempel sedari tadi dari telinganya ketika sadar tak ada tanggapan. Tak lama, ponselnya berdering lagi. Dari orang yang sama. Chelsea.

"Halo, Gas? Maaf, sinyal disini tiba-tiba aja ngadat."

"Oh, ya Chels. Tak masalah. Hahaha." Bagas dan Chelsea kembali larut dalam tawa mereka. Menertawakan sinyal, keadaan, nasib mereka. Hubungannya dengan Chelsea mungkin terbatas sinyal, pulsa ataupun baterai yang lobet. Namun, tidak dengan cintanya. Cintanya tak memilik batas. Meski terpisah sejauh 881,20 km. Bandung-Palembang.

---

A Present

Bersamamu aku mengenal rindu. Justru karena kau jauh, hatimu terasa dekat..

“Nggak bisa Chels, aku ada kelas. Mau kuis.”

“Besok aja Chels ngurusnya, bareng aku.”

“Sorry Chels, aku nggak bisa.”

Oke, fix. Nikmati aja hidupmu Chels! Hari ini, harus ngurus semua urusan seminar. SENDIRIAN.

Sahabat? Punya tiga, tapi tiga-tiganya bahkan nggak bisa bantu aku mondar mandir ngurus pendaftaran seminar. Waktuku nggak banyak. Dosen pembimbing yang kuharap bisa membantuku nanti, hanya punya waktu minggu ini, karena minggu depan beliau ada urusan. Jadi, harus hari ini. Dan harus sendiri. Ah, kalau saja kamu ada di sini, Gas.

Aku melangkah cepat menuju ruang dosen. Satu tanda tangan lagi, dan aku harus menemui dosen penguji untuk memastikan jadwal. Setidaknya, aku bisa lebih langsing hari ini. Beginilah kalau tidak bisa naik motor. Padahal, dosen penguji juga mengajar di fakultas lain. Dan jalan kaki kesana sama dengan olahraga.

Langit mendung menemani langkahku menyebrangi gedung demi gedung. Butuh sedikit lagi untuk mencapai fakultas farmasi. Harap-harap cemas, semoga dosen yang kucari masih ada di sana. Setidaknya, usaha tidak harus terbuang sia-sia.

Beberapa langkah lagi, aku akan tiba di ujung gedung dan bersiap menyebrang ke fakultas farmasi. Tuhan, bantu aku!

Titik-titik hujan mulai terdengar. Hatiku sekali lagi berbisik lirih. Jangan hujan! Aku tak mau berjumpa dosen dengan tubuh basah kuyup. Sungguh, aku tak punya waktu. Dan sekali lagi, aku menyesali kebodohanku.

“Jangan lupa bawa payung Chels, musim hujan.”

Begitu pesan yang kuterima dari Bagas tadi pagi. Pesan yang begitu penting. Sayangnya, aku mengabaikannya. Kalau saja kamu ada di sini, Gas. Kamu pasti sudah seperti polisi patroli yang akan memeriksa barang bawaanku.

“Jangan lupa hp, payung dan laptop.”

Ah, manusia pelupa macam aku memang merepotkan. Begitulah Tuhan menggariskan pertemuanku dengan Bagas yang teliti, rapi dan sabar.

Lamunanku tentang Bagas tiba-tiba membuyar setelah mendengar rintik yang mulai berubah menjadi suara keras yang tak terbendung. seolah air dari langit tertumpah tanpa terkendali. Ya Tuhan, aku harus segera kesana. Aku tak yakin hujan akan segera reda, dan aku lebih tak yakin dosen yang kucari masih disana setengah atau satu jam dari sekarang.

Aku memejamkan mata sejenak, mendengar setiap nyanyian hujan yang membentur jalan dan atap bangunan. Nafasku kutarik perlahan… Apapun yang terjadi, ini kesempatanku.

Kuayunkan kakiku perlahan, dan kusiapkan tubuhku untuk terguyur derasnya hujan. Dan haappp!!! Aku tersentak. Apa yang terjadi? Kenapa tubuhku tidak terasa dingin?

“Sudah dibilang, jangan lupa bawa payung.”

Aku menoleh ke arah sumber suara.

“Bagas?!!? Sejak kapan…?”

Ia tersenyum sambil menggenggam payung lebar yang diarahkan menutupi tubuhku, sementara tubuhnya hanya tertutup sebagian.

“Pesawatku mendarat tepat waktu, setepat payung ini. Masih tetap mau mematung disini?” Ia tersenyum. Senyum yang hanya mampu kubalas dengan senyum terbaik yang kupunya. Tuhan, sungguh, terima kasih… :)

---

Bayangmu di Sana
  by Anisa Ae

Awan putih seolah bisa kugapai, ah, seandainya tangan ini bisa dikeluarkan lewat jecdela, pasti jemariku bisa menggapainya. Sayangnya pramugari tak akan membolehkanku menyentuh awan. Ah, perjalanan ke Palembang yang pertama, pasti akan terasa menyenangkan jika dia juga berada di sini, di sampingku.

Tapi tidak, dia di sana menungguku. Menunggu dengan cinta yang telah dijanjikannya untukku. Bagas, tunggu aku di sana, aku akan datang untuk memenui panggilanmu. Ah, panggilan keluargamu tepatnya. Mereka ingin mengenalku lebih dekat, tapi karena tugasmu yang tak bisa ditinggal, aku harus sendirian datang ke sana, menemuimu.

"Mbak, ada perlu apa ke Palembang?" tanya seorang wanita hamil yang duduk di sebelahku.

"Menemui kekasihku, ehm, tepatnya calon suamiku," jawabku tersipu.

"Ah, indahnya masa remaja, ya? Heheh."

"Ya, begitulah. Mbak mau apa ke sana?" tanyaku balik.

"Menemui suamiku, dia menikah lagi di sana," jawabnya pelan dengan mata menerawang.

Tenggorokanku tercekat. Wanita ini jauh-jauh ke Palembang dengan perut besar untuk menemui suaminya? Padahal sudah jelas bahwa suaminya menikah lagi di seberang pulau. Ah, cinta seperti apa yang dia jalani dan pertahankan?

"Seperti inilah cinta, tapi Mbak pasti tak salah memilih suami. Semoga." katanya sambil tersenyum.

Duduk sediri diruang tunggu lagi, karena pesawat ayng akan kunaiki gagal take off karena delay bermasalah dengan mesin. Lagu "RAN" mengalun dengan lembut dari handphoneku. Ada nama Bagas di layarnya.

"Pagi, sudah memegang awan?" tanya suara di seberang.

"Hemh, kamu  bisa aja!" jawabku pelan sambil memandang awan.

"Kau tahu? Aku di sini menunggumu di bandara, melihat awan yang sama denganmu."

"Tunggulah! Aku akan datang. Mengenalkan diri pada orangtuamu," bisikku pelan sambil membayangkan wajah Bagas di sana, di antara awan-awan itu.

---

NB: Makna ceritanya bagus, tp versi aslinya rada ganjel. Jadi aku coba untuk ngerubah sedikit. Masih rada ganjel ya tp. :3
 

No comments:

Post a Comment