Wednesday 18 February 2015

Short Story "Dekat Di Hati" part 2


Hanya Berjumpa via Suara

Sudah pukul sembilan malam, seperti biasa, aku duduk di jendela sembari menjuntaikan kaki. Kupandangi langit yang bertaburan bintang. Angin yang berhembus mesra mengelus wajahku seolah semakin memperkuat rinduku pada Bagas, kekasihku.

Aku meneleponnya. ‘Halo, sayang’ sahut dia setelah teleponnya diangkat.

Itu adalah suara yang paling kutunggu. Suara yang melegakkan hatiku. Suara yang memecahkan lamunan ketika memikirkannya. ‘Kamu apa kabar sayang?’ tanyaku sambil tersenyum menengadah melihat bintang yang berkedip.

‘Aku baik sayang. Kamu apa kabar? Aku rindu sama kamu’.

Ia semakin membuatku tersipu. ‘Aku juga baik. Aku rindu kamu juga sayang’.

Kami sudah satu tahun tidak pernah bertemu. Kami terpisah oleh bentang jarak yang terlalu melampaui batas. Meski begitu, kami selalu bertemu via suara. Ya, suara kerinduan yang berhasil mengetuk pintu hatiku. Mengetuk rasa rindu yang bergejolak di dada.

Aku jadi teringat dengan perkataannya kala itu. Ia bilang, suatu saat aku akan kembali padamu dengan cinta yang sama. Ia tahu bagaimana cara melelehkan hatiku. Bahkan, sampai sekarang.

Sudah belasan menit kami bercakap melemparkan rindu. Malam ini benar-benar terang, meski terbalut gelap. Warna hitam bukan berarti kelam. Warna hitam bukan berarti malam. Aku selalu percaya, cinta itu dapat menerangi: sesuatu yang gelap.

‘Bulan depan kita ketemu ya sayang’ ucapnya.

‘Benar kamu akan datang kemari?’ tanyaku, memastikan ia tak memaksakan diri datang ke negeriku yang jaraknya amat jauh dari negerinya.

‘Iya sayang. Aku sudah rindu. Rasanya aku berdosa selalu mengulur waktu tak jadi bertemu denganmu’.

‘Ya sudah sayang. Aku tunggu kedatanganmu ya’ balasku. Lagi-lagi aku tersipu. Malam ini terasa semakin hangat bila ku ingat terakhir kali ia memelukku sebelum ia terbang pergi jauh.


Aku mengerti mengapa bintang yang menggantung di semesta alam berkedip indah ke arahku. Mereka hanya ingin memberitahuku bahwa cinta akan tetap bersinar meski dibaluti ruang gelap.

---


Sunset Hari Ini

Warna lebih gelap kini bertemu dengan langit biru yang cerah. Menggantikannya menjadi sebuah warna Jingga yang menghiasi langit kota Palembang. Hari ini cerah, lebih dari cerah untuk melihat Matahari yang dalam hitungan menit lagi akan tenggelam dan berganti oleh sang rembulan.

Pria yang kini tengah menatap layar komputernya kini beralih menatap sisi kiri ruangannya. Jendela besar dengan pantulan cahaya orange yang menyilaukan matanya. Matahari terbenam. Dia tersenyum dan mengarahkan duduknya menatap Sunset yang menjadi background langit Kota Palembang diatas gedung kantornya yang berada di lantai 7. Dia menutup matanya, merasakan cahayanya perlahan lalu tersenyum kembali ketika dia membuka matanya.

Pria itu kini beralih menatap ponselnya. Tidak butuh waktu lama ponsel itu kini telah berada ditangannya. Mengetikkan beberapa kata singkat yang selalu membuatnya tersenyum ketika dia melakukan hal yang sama seperti ini setiap harinya.

“Kau melihatnya? Sore ini sangat indah.”

Dan tidak menunggu lama pesan itu langsung dia kirimkan. Menit itu juga ponselnya kembali berdering dan ukiran senyum pria itu kembali terpatri di wajahnya.

“Aku melihatnya. Aku sangat menikmati sore ini. Cepatlah kesini. Kita nikmati kembali Sunset ini bersama.”

Dengan cepat kembali Pria itu membalasnya.

“Malam ini aku akan berangkat. Dan besok kita akan melihat Sunset bersama. bukan hanya Matahari terbenam tapi Matahari terbit. kita juga akan melihatnya.”

Bagas. Pria itu tersenyum senang. Untuk beberapa bulan ini dia tidak bisa menemui seseorang yang dicintainya yang tidak tinggal di Palembang. Dia tinggal di Bandung. Tetapi besok dia pasti akan bertemu dan kembali bersama menikmati setiap Matahari terbenam yang mereka tidak bisa lewatkan bersama.

Mereka menikmatinya berjauhan. Berbeda tempat, berbeda Pulau. Tapi itu tidak menyurutkan semua cinta-nya kepada Chelsea ; Gadis yang dicintainya. Mereka masih berada di langit yang sama.Dan dia beruntung. Meskipun dia hanya menikmati setiap sorenya seorang diri karena Chelsea jauh tidak berada di sisinya. Dia percaya, Chelsea selalu ada dihatinya begitu juga sebaliknya. Mereka merasa dekat karena hati mereka telah terisi oleh cinta yang diciptakan mereka berdua.

---

LDR
by Chintya Tjoa

"Loe kok mau sih LDR-an?"

"Loe ga takut dia selingkuh?"

"Belum nikah aja uda jadi Bang Toyib apalagi nanti."
Sering sekali teman-temanku mengucapkan hal-hal seperti itu di depan mukaku. Aku agak muak sebenarnya saat mereka dengan terang-terangannya berbicara seperti itu. Jujur, aku memang sedikit iri dengan mereka yang dapat bermalam minggu bersama si dia.
Sedangkan aku?
Malam minggu dilewati dengan menatap layar komputer ataupun berbicara lewat sambungan telepon.

"Aku rindu." Ungkapku suatu malam.
"Keluarlah, lihatlah ke atas. Apa langit yang kau lihat penuh bintang?"
"Iya." Jawabku bingung.
"Langit di sini juga begitu."

Teman-temanku tak akan pernah mengerti seberapa pentingnya pertemuan kami.
Mereka tak akan mengerti perjalanan cinta kami, di mana kami akan menunggu suatu hari bersama. Menunggu-nunggu saatnya bertemu, saat melepas rindu.
Justru karena inilah, kita akan lebih menikmati momen kebersamaan kami.
Setiap hembusan nafasnya, naik turunnya suaranya.... Perubahan suaranya.
Bagaimana aku akan setiap malam membayangkan rupanya sekarang.
Justru karena kejarangannya kami bertemu akan mendekatkan hubungan kami lebih lebih.

---


No comments:

Post a Comment