Tuesday 26 August 2014

Our Story: Mate

Ini sebenernya adalah FF yang bener-bener aku buat pertama kali. Maaf kalo masih gje. Ini aku ngumpulin foto sejak seminggu sebelum GFIC, hingga seminggu sesudah GFIC. Sehingga, foto/gambar-gambarnya jadul kan? Cuma ada satu tuh, yang aku update.

Awalnya FF ini mau aku buat video. Udah jadi, tapi karena terlalu banyak foto juga durasi yang 8 menit, menyulitkanku untuk memproses menjadi video utuh. Tiap kali mau di save, pasti kepotong. Konsultasi sama temen yang paham editing, kalo di save bisa jadi 4GB katanya. Dan itu keberatan karen resolusi gambar'nya gedhe dan banyak. Dan akhirnya saya menyerah untuk menyimpannya. Video itu hanya bisa dimainkan dengan aplikasi edit'nya. Terlalu berat untuk dijadiin avi., mp4., mkv. etc itu.

Tapi kalau berniat ada yang mau bikin, boleh lho dengan pict juga narasi ku. Tapi tentunya bilang dulu. :)

Untuk credit tittle'nya dibawah ya.
Happy Reading... ^^

^Chelsea's POV

Hai, namaku Agatha Chelsea Terriyanto.

Panggil saja aku Chelsea.

Aku anak pertama dari dua bersaudara.
Ini aku dan adikku, Troy. Imutkan dia?


  
Aku bersama Papi dan Troy.

 
Aku bersama Mami.

Sejak kecil, aku suka difoto.


Dan papi-mamiku selalu mendukung apapun yang berkaitan dengan bakat yang kupunya.

Wednesday 20 August 2014

Jangan Cintai Aku Apa Adanya (Oneshoot)


Inspired:
Jangan Cintai Aku Apa Adanya, song by Tulus
ATM Error the series

Cast: Bagas, Chelsea, Chindai, Karel.

**
Chelsea sedang sendirian di sebuah kafe. Terlihat raut muka gelisahnya. Ternyata Chelsea tengah menunggu Bagas yang telah berjanji dengannya untuk bertemu di kafe tersebut. Namun sampai jam yang dijanjikan, Bagas tak muncul juga.

Sudah 45 menit Chelsea menunggu Bagas. Dan Bagas baru muncul dengan ekspresi capeknya karena berlari dari parkiran ke kafe yang berada di sebuah pusat perbelanjaan tersebut. Chelsea hanya mencuekkan kedatangan Bagas.

“Maaf sayang, kamu belum lama menungguku kan?” tanya Bagas dengan ngos-ngosan.

“Seharusnya aku inget, kalau kita janjian pukul 4, kamu akan datang pukul 5,” sindir Chelsea.

“Aduh, aku bener-bener minta maaf. Tadi jalannya macet banget. Lagian, ini juga malam minggu kan...” sanggah Bagas.

“Beneran macet? Atau... ketiduran?” ujar Chelsea sambil memajamkan pandangannya langsung ke bola mata Bagas. Bagas jadi grogi.

“Eh... Emh... Hehe... Tadi ketiduran sih. Maaf ya sayang,” ujar Bagas dengan salah tingkah.

“Sudah kuduga,” ujar Chelsea sambil berdiri akan meninggalkan kursinya.

“Eh, sayang. Kamu mau kemana? Aduh sayang, maafin aku ya...” rengek Bagas dengan memohon mengikuti Chelsea yang beranjak pergi. Beberapa pengunjung kafe pun jadi melihat kearah Chelsea dan Bagas.

“Ayo cepat. Kalau tidak cepat, nanti kita akan ketinggalan film yang akan kita tonton,” ujar Chelsea dengan terus berjalan menuju bioskop yang juga berada dipusat perbelanjaan tersebut.

“Jadi, kamu memaafkanku kan?” ujar Bagas dengan senang.

“Tentu saja...” ujar Chelsea berhenti sejenak dan tersenyum ke arah Bagas yang berjalan disampingnya.

“Tentu saja tidak. Nanti sehabis nonton, kamu harus nemenin aku ke salon. Oke?”ujar Chelsea dengan tersenyum senang. Chelsea tahu, Bagas paling bosen ketika harus menemani Chelsea ke salon. Selalu terjadi perdebatan dulu sebelum Bagas menyetujuinnya.

“Apa? Ah sayang, plis, hal lain aja... Ntar habis kita nonton, kita makan di restoran Korea favoritmu itu aja gimana?” ujar Bagas dengan merengek.

“Oke, tapi setelah itu kamu harus tetap menemaniku ke salon,” ujar Chelsea dengan muka datar.

“Ah, kenapa sih wanita suka ke salon? Padahal kan hanya untuk cuci rambut, lulur, manicure, pedicure bisa dilakukan dirumah. Budaya konsumtif,” keluh Bagas.

“Oh, oke. Kalau gitu bagaimana kalau kita sekarang pulang saja? Kamu tadi kan bilang budaya konsumtif, bukankah nonton film di bioskop, makan di restoran juga termasuk budaya konsumtif?” balas Chelsea.

“Ah, bukan. Bukan begitu sayang,” ujar Bagas frustasi.

“Oke, oke. Nanti aku akan menemanimu,” ujar Bagas dengan pasrah. Chelsea pun tersenyum puas lalu menggandeng lengan Bagas.

“Tapi awas ya, kalau besok-besok kamu terlambat lagi,” ancam Chelsea.

“Iya deh, aku usahain untuk mulai on-time,” janji Bagas.

Monday 4 August 2014

Princess Hours versi IC [Chapter 4 part 2]



*Di gedung perpustakaan

CP Bagas yang telah kembali ke Istana, mengunjungi gedung tua berlantai dua tempat dimana CP Bagas memukul P.Rafa yang berdua dengan CP Chelsea. CP Bagas pun naik kelantai dua, yang penuh dengan buku.

CP Bagas mengamati buku-buku yang ada di tempat itu. Kemudian dia mengambil sebuah buku yang mencolok, karena covernya yang putih. Berbeda dengan cover buku disekitarnya yang berwarna coklat. Sebuah amplop jatuh dari dalam buku. CP Bagas pun memungutnya. Didalamnya terdapat selembar kertas dan juga foto Ayahnya yang berduaan dengan P.Shilla. Tentu saja Bagas kaget melihatnya. Lalu dia mulai membaca surat yang ada didalamnya.


Isi surat itu:


“Cintaku, seseorang yang hanya bisa kulihat dari jauh. Kau bertanya padaku seberapa banyak aku mencintaimu...Cintaku padamu lebih dalam daripada apapun. Tak peduli betapapun tingginya hal itu, cintaku pasti akan bisa meraih ketinggian itu. Cintaku lebih berharga dari batu yang paling berharga...Cintaku lebih terang daripada berlian…Lebih bercahaya daripada seluruh semesta. Bibirmu terasa seperti nyata dan pelukanmu seperti pijatan para dewa yang begitu alami. Bagaimana aku bisa melupakannya? Kau, yang sekarang jatuh ke pelukan yang lainnya. Aku hanya bisa melihatnya dengan kesedihanku”.


CP Bagas shock membaca surat itu. Rasanya seakan dia tak percaya dengan apa yang baru saja diketahuinya lewat surat itu. CP Bagas hanya bisa terpatung memegang surat tersebut sambil menyimpan kemarahan dalam hatinya.


*Disebuah stasiun


Chindai pergi ke sebuah stasiun. Dan dia duduk di sebuah bangku kosong dan membelai ruang kosong di sebelahnya sambil tersenyum. Chindai membayangkan saat dia berduaan dengan Bagas di tempat itu.


“Apa kau juga kabur dari rumah?” tanya Bagas.

Chindai ingat, mereka pergi berdua ke alam bebas. Menikmati keindahan alam di sekitarnya dan bersenang-senang hanya berdua. Chindai ingat, mereka berdua menguburkan kedua tiket kereta mereka di sebuah pohon besar. Chindai masih ingat pohon itu. Dia pergi kesana untuk melihatnya dan kemudian menggalinya. Dia tersenyum melihat sepasang tiket itu.