Friday 31 October 2014

Lollipop versi IC



Seperti dugaanku, hari ini Kak Bagas datang ke perpustakaan dan duduk di kursi dekat ruangan multimedia seperti biasa. Aku juga sudah meletakkan permen lollipop rasa jeruk di atas meja seperti biasa. Jika tak ada aral melintang, seperti biasanya, dia akan memakan permen itu sambil membaca novel detektif Sherlock Holmes berbahasa Inggris, kesukaannya.

Kenalkan, aku Chelby. Itu bukanlah nama asliku. Nama asliku adalahAgatha  Chelsea. Aku dipanggil dengan nama itu oleh teman-temanku karena bobot tubuhku yang sedikit lebih dari bobot normal, terutama di bagian pipi. Chelby does stand for Chelsea Chubby....

Aku sekarang memang sedang kasmaran. Aku jatuh cinta pada seniorku yang dua tingkat di atasku. Dua minggu lalu aku kagum melihatnya berpidato dalam Bahasa Inggris dalam rangka lomba debat Bahasa Inggris yang diadakan oleh sekolah kami. Rasa kagum itu berubah menjadi lebih saat aku menemukannya sedang sendirian di ruang musik dan bermain piano sambil menyanyikan salah satu lagu kesukaanku, Leaving on a Jet Plane.

Sudah seminggu ini di jam istirahat aku rajin ke perpustakaan hanya demi memberikannya setangkai lollipop rasa jeruk setiap harinya. Aku pasti sudah gila. Kak Bagas cepat atau lambat pasti akan curiga. Entah apa yang ada di pikirannya saat dia menemukan lollipop jeruk itu. Untuk sehari dua hari, dia pasti akan mengira permen itu hanyalah barang ketinggalan. Tapi untuk seminggu berturut-turut, dia pasti mengira ada seseorang yang diam-diam menguntitnya tanpa mampu bertatap muka langsung. That's me....

Kak Bagas masih sibuk membaca novelnya. Hari ini dia akan lebih lama di perpustakaan. Guru Matematika yang mengajar di kelas Kak Bagas sedang keluar kota dan hanya akan menitipkan tugas. See! Aku sekarang bahkan terlihat seperti psycho.

Tak sampai 10 menit kemudian kak Bagas meraih lollipop yang 'kupajang' di sana. Yes! Ya, pada kenyataannya dia memang hanya menerima lollipop itu, tapi entah mengapa lega yang kurasakan saat ini yaitu seperti kak Bagas sedang menerima perasaanku. Absurd....

***

Pagi ini aku berjalan dengan senyum terkembang menuju kantin. Aku berniat untuk membeli beberapa tangkai lollipop jeruk untuk Kak Bagas hari ini.

"Bu, ada lollipop yang jeruknya?" tanyaku sambil mengaduk-aduk toples yang berisi penuh lollipop dengan berbagai rasa, tapi belum menemukan warna yang kucari.
"Wah, kebetulan kalau yang jeruk memang habis dari kemarin sore, Dek. Kalau rasa yang lain sih masih ada," kata ibu kantin dengan sedikit murung. Mungkin beliau ikut sedih dengan ekspresi syok yang kuhasilkan beberapa saat yang lalu.
Aku menutup toples itu. Sedikit menunduk ke ibu kantin, lalu berjalan ke luar dari kantin dengan wajah murung.

"Honey!" suara laki-laki terdengar dari sisi belakangku. Sepertinya sedang memanggil seseorang.

Honey? Aku tersenyum kecil. Sapaan yang manis untuk sepasang kekasih.

"Hey!" seorang wanita di sebelahku berteriak menjawab sapaan tadi.

Sedikit penasaran, aku kemudian berbalik mengikuti arah wanita tadi pergi. Ada Kak Bagas di sana. Itu, suara Kak Bagas. Honey....

***

Sudah 2 bulan aku berusaha move on dari kak Bagas. Aku sengaja tidak ke perpustakaan dan bahkan menghindari ruang musik. Tapi aku masih mengkonsumsi permen lollipop jeruk sampai bulan lalu. Saat itu berat badanku mencapai puncaknya. Aku tidak bisa mengontrol diriku untuk membatasi keinginanku memakan permen lollipop jeruk dan berbagai cemilan lainnya. Dan sampai saat Mami marah dan tidak bisa mentolerir bobotku yang kian bertambah, aku menyerah dan berjanji dalam hati untuk berhenti makan lollipop jeruk itu.

Dengan bantuan Mami, aku menjalankan hidup sehat dengan sedikit diet. Tubuhku kini tak seperti sedia kala. Pipiku pun sudah tidak se-chubby dulu. Tapi teman-teman masih saja memanggilku Chelby. Namun setidaknya sekarang aku bisa lebih percaya diri dengan sosokku yang sekarang.

Dan entah mengapa hari ini aku sangat merindukan untuk ke ruangan musik dan bermain piano. Sore hari ketika pelajaran telah usai, aku pergi ke ruang musik. Memeluk beberapa instrumen lalu duduk di depan piano. Menyanyikan lagu Leaving on a Jet Plane....

***

Untuk beberapa kejadian yang aku sendiri kesal jika mengingatnya, keadaan sekarang justru memaksaku berada di perpustakaan untuk membereskan buku-buku yang berserakan di meja.

"Seharusnya orang yang membaca ini yang harus membereskannya!" gerutuku sambil terus merapikan buku dari meja ke meja.

"Kau ada di sini juga?" seseorang menyapaku.

Oh my God! Kak Bagas? Aku berani bertaruh kak Bagas pasti dapat menyadari wajah shock-ku.

Aku hanya mengangguk sambil memeluk buku yang baru saja akan kubereskan.

"Kau baik sekali mau membantu Pak Josia," kata Kak Bagas sambil memamerkan senyum 100 watt.

Aku yang syok bercampur bingung akhirnya bersuara. "Pak Josia?"

"Iya. Pak Josia petugas perpustakaan yang sedang sakit hari ini. Kau datang karena itu kan?"

"Hm.... Bukan, Kak." jawabku sambil tersenyum kecut.

Aku berharap dia tak bertanya mengapa aku ada di sini sekarang.

"Lalu mengapa kau ada di sini sekarang?" tanyanya ramah.

Aku tertawa kecil sambil menunduk lalu menggaruk kepalaku yang tak gatal. "Aku bermain piano."

"Ya." Bola mata kak Bagas melihat ke segala arah, bingung. "Lagu apa?" lanjutnya.

Aku menelan ludah. "Leaving on a Jet Plane."

"Ada masalah dengan lagu itu?"

"Aku menyanyikannya saat sedang ada rapat guru di atas ruang musik, Kak," jawabku datar. Aku berharap dia berhenti bertanya.

"Kukira itu lagu mellow," kak Bagas terus menanggapi.

Aku mengangkat wajahku. "Rock version."

"Pfft. Hahahahaha," tawa kak Bagas meledak. "Jadi kau sedang dihukum?" tanyanya di tengah-tengah tawanya.

Aku mengangguk sambil membuang wajahku malu.

"Hahahaha, itu memalukan," lanjutnya.

Dengan sedikit kesal aku memandangnya.

"Ehem, sorry," Kak Bagas berusaha menghentikan tawanya. "Kau tahu? Aku juga punya cerita yang memalukan," lanjutnya.

Tak ada respon berarti dariku, dia melanjutkan ceritanya. "Aku pernah tertidur dan bermalam di perpustakaan ini."

"Kenapa?" Semoga dia mau menjawab dan tidak berpikir bahwa aku orang yang kepo.

"Aku menunggu. Biasanya ada di sini," Kak Bagas menunjuk meja yang biasa dia tempati.

"Apa?"

"Lollipop jeruk."

Aku terbelalak mendengar jawaban Kak Bagas.

"Aku tak begitu suka rasa jeruk yang kecut, tapi lollipop itu berbeda. Mungkin aku sempat jatuh hati pada orang yang memberiku lollipop itu."

Aku tertawa kecil. "Kak Bagas, kan, ada pacar saat itu. Aku pernah lihat kak Bagas manggil cewek di kantin dengan 'honey'."

"Honey?" Kak Bagas tampak sedikit bingung. Dua detik kemudian dia tersenyum seperti teringat sesuatu. "Ah. Maksudmu Hani? H.A.N.I? Dia teman kelasku, bukan pacar."

Aku tertegun. Aku butuh waktu untuk mencerna ini satu per satu.

"Ayo! Kita harus segera membereskan ini. Kau tidak mau bermalam di sini, kan?" goda kak Bagas.

"Kak Bagas..."

"Iya Chelsss, kenapa?" ucapnya masih sibuk membereskan buku.

Gee, dia tahu namaku? "Chelsea?"

"Kau dipanggil Chelby kan? Namamu Chelsea, kan?" Dia berhenti sejenak lalu berkata, "Aku juga tahu kau suka lollipop jeruk."

Aku terdiam beberapa saat. "Mau coba lollipop strawberry?" senyumku.

***
(oleh: Hilmah Abby)

NB:
Masih dari kawankumagz karya Hilman Abby.
Story sebenernya bermain dengan nama, dan untuk menjadikannya menajdi versi ChelGas, harus ngerubah mana'nya. Semoga setelah dirubah, gak mengurangi kualitas ceritanya yah... :')

Thursday 30 October 2014

Neapolitan-kun, desu-ka versi IC



            MarryA tidak ragu lagi adalah tempat pas untuk berlindung dari terik matahari sadis siang hari di Yogyakarta. Kedai es krim itu menyuguhkan serangkaian menu yang selalu berhasil memanjakan Chelsea. Presentasinya cantik-cantik. Lengkap rasanya kalau dinikmati di bawah hawa sejuk AC sembari mencemooh jalan raya gosong dari balik jendela.

            Sejak pindah ke SMP swasta di Yogyakarta, Chelsea suka sekali mampir ke MarryA. Chindai dan Marsha punya banyak stok cerita lucu dan gosip di sekolah mereka. Jam dua siang, ketiganya duduk di meja istimewa mereka, yaitu meja lingkaran kecil di pojok, dekat AC dan jendela. Chindai mencoba menu berbeda setiap harinya. Marsha lebih sering memesan sundae, tapi rasanya berbeda-beda. Sedang Chelsea itu melulu yang dipesannya. Apalagi kalau bukan es krim tiga rasa: Neapolitan.

            "Enggak bosan apa?" alis Chindai menyatu di bawah poninya.

            "Iya, sekali-kali coba dong menu lain! Es krim kan enggak cuma Neapolitan," Marsha menimpali.

            Chelsea cuma nyengir kuda. Pertanyaan itu sudah didengarnya ribuan kali dari orang yang sama. Tidak pernah satu kali pun Chelsea menanggapi dengan jawaban lebih dari dua kata. Memang ada cerita di antara Chelsea dan es krim Neapolitan. Tapi cerita itu bukan untuk didengar semua orang. Chelsea senyum-senyum sendiri kalau ingat kejadian delapan tahun lalu. Ya, sebuah peristiwa yang melekat dalam ingatannya: pertemuan pertamanya dengan seorang anak laki-laki penggemar Neapolitan. Dan meski jarak dan waktu memisahkan, ia tak akan pernah lupa "Neapolitan-kun".

**

            Delapan tahun yang lalu....

            Chelsea kecil menempelkan muka pada kaca etalase toko es krim. Mulutnya terbuka, membentuk huruf 'o'. Jemarinya mengembang di kanan-kirinya. Mata bulatnya bersinar melihat enam pilihan rasa es krim di depannya. Chelsea suka es krim. Dan ketika hati Mami luruh juga oleh puppy eyes-nya, Chelsea tidak akan menyia-nyiakan kesempatan emas langka itu. Tapi giliran dia sampai di antrean terdepan, hati kecilnya terpilin beragam menu menggiurkan. Chelsea ingin mencicipi semuanya, kalau uang pemberian Mami cukup. Sayangnya, Mami menegaskan hanya satu menu saja.

            "Bingung?" seorang anak laki-laki bermata sipit menepuk bahunya dari belakang. Tampaknya ada yang tidak sabar menunggu Chelsea kecil menyuarakan pesanannya. Bocah itu tidak menunggu Chelsea menoleh, apalagi menyadari keberadaannya. Ketidaksabaran yang berkobar dalam dirinya mendorong anak laki-laki itu bertanya lancar, "Suka rasa apa?"

            Chelsea mengedipkan mata besarnya. "Stroberi." Setitik air liur menyembul dari sudut bibirnya. "Tapi Echi juga pengin yang putih sama cokelat." Gadis kecil itu menunjuk box vanila dan cokelat bergantian.

            "Heee," anak laki-laki di sampingnya bergumam. Mata hitamnya tekun mempelajari menu di selebaran yang halamannya dia bolak-balik. "Neapolitan, mau? Kamu bisa dapat tiga rasa sekaligus!"

            "Beneran?" Chelsea membeliak. "'Echi bisa makan stroberi? Sama yang putih? Sama yang coklat?"

            Si anak laki-laki mengangguk mengiyakan. Senyum membelah wajah manisnya. Rambut hitamnya jatuh lembut di dahinya. Lalu, dia mendongak dan bicara pada kasir, "Kak, Neapolitan dua!" Dua jarinya teracung di udara. Ketika pesanan sampai di tangan mungilnya, dia angsurkan salah satunya ke Chelsea yang berjingkat-jingkat di sebelahnya. "Nih."

            Chelsea mengambil miliknya. Kedua bocah itu segera saling memamerkan cengiran identik. "Makasih...um, namamu siapa?"

            Tentu saja, setelah masing-masing menyebutkan nama dan berjabat tangan, Chelsea kecil tidak bisa ingat suku-suku kata aneh yang merajut nama bocah bermata sipit itu. Dia hanya bisa menangkap bunyi "-kun" dari dua orang dewasa yang mendampingi dengan sabar teman barunya itu. Chelsea tidak tahu bunyi itu lazim disandangkan di belakang nama anak laki-laki blesteran Jepang itu. Dan ketika ditanya Mami, Chelsea cuma bisa menjawab, "Neapolitan-kun yang beliin Echi es krim."

*

           "Iiih, senyum-senyum sendiri!" suara lantang Chindai memecah kedamaian MarryA, membuat kepala-kepala menoleh ke trio sahabat itu.

            Marsha terbahak, sementara muka Chelsea bersemu merah. "Kapan?!" tantangnya sengit, meski dia tahu jawaban Chindai terlampau nyata. Saking tenggelamnya di kenangan manis masa lalu, dia sampai tidak sadar kalau bibirnya menyunggingkan senyum.

            "Enggak usah pura-pura!" Chindai terkikik, bercanda. Khusus Chelsea si cewek populer tapi enggak pernah pacaran, Chindai suka menggodanya. "Lagi mimpiin siapa, hayo ngaku!"

            "Siapa nih? Siapa?" Marsha tidak membantu. Anak itu malah mencondongkan tubuhnya ke meja, tertarik. "Kak Karel, ya?"

            "Enak aja!" sanggah Chelsea, panik di atas kursinya. Matanya melotot memperingatkan, kontras sekali dengan warna merah cerah cemerlang di pipinya. "Kak Karel itu ketua OSIS dan aku bendahara. There's nothing between us. Owari."

            Chindai memandangnya skeptis. Marsha geleng-geleng kepala, "Bisa berapa bahasa, sih, kamu? Inggris? Sunda? Jawa? Indonesia? Mandarin? Jepang? Prancis?" Gadis berkulit sawo matang itu memang salah satu dari teman Chelsea yang selalu menjadikan yang disebut belakangan sasaran kuis kosakata Bahasa Inggris.

            "Indonesia, Inggris, Mandarin, Jepang," Chelsea menghitung jarinya. Hidup bersama orangtua yang sering mondar-mandir Jepang-China-Indonesia memberinya keterampilan plus.

            "Ah!" Chindai tiba-tiba duduk tegak, memancing perhatian dua sahabatnya. Tapi fokus Chindai tertuju pada pintu masuk kedai. Gadis berkuncir dua itu melambai-lambai bersemangat pada pengunjung baru MarryA sambil berseru, "Bagas! Sebelah sini!"

            Chelsea menaikkan alis. Baru pertama kali itu Chindai mengajak orang lain bergabung ke meja mereka. Bukannya Chelsea merasa jengah atau apa, dia hanya terkejut saja. Melihat Marsha memasang ekspresi serupa, tampaknya Chindai memang menjadikan hal ini kejutan.

            Seorang pemuda tampan mendekat. Kulitnya putih. Perawakannya tinggi dan besar. Wajah manis dengan mata sipit dan senyum yang bikin semua gadis dag-dig-dug difigura rambut hitam ber-style shaggy. Kalau bukan karena aura familiar yang terpancar dari sosok baru itu, Chelsea tidak akan menekuni Neapolitan-nya.

            "Halo," suara Bagas serak, khas anak laki-laki di tengah masa puber. Dia mengulurkan tangan, yang segera disambut oleh Marsha, Chindai, kemudian Chelsea. "Namaku Bagas, dari kelas 8-B," ruangnya cuma di sebelah kelas si trio, "Sepupunya Chindai." Ketika ia dan Chelsea tak sengaja bertemu mata, keduanya membeku agak lama sampai Bagas menemukan lagi suaranya, "Kayaknya pernah ketemu, deh. Echi, bukan?"

            Es krim Marsha muncrat dari mulutnya. Chindai tersedak tawa, "Astaga, Chelsea, kamu kenalan sama sepupu gue pake nama bayi lo?!" Muka Chelsea serasa terbakar. Dicubitnya lengan karibnya itu sehingga si kuncir dua melengking kesakitan dan berhenti tertawa. Tapi perhatiannya direbut kembali oleh si cowok yang sudah menaruh bokong di satu kursi sisa, di antara Chelsea dan Marsha.

            "Masih ingat gue, enggak?" Bagas menunjuk hidungnya sendiri. Cengiran lebarnya seperti setrum di benak Chelsea. "Dulu kita ketemu waktu kita masih kecil." Mulutnya mulai mencecar Chelsea dengan cerita masa lalunya. "Ingat Neapolitan? Wah, sekarang lo juga lagi makan Neapolitan, y-"

            Kata-kata itu tidak pernah selesai gara-gara Chelsea memekik, "Neapolitan-kun!

           Chindai dan Marsha memandangnya bingung. Bagas ketawa, "Kamu cuma ingat es krim Neapolitan-nya daripada nama gue toh. Jaa, genki desu ka?

            "Un, genki desu," jawaban Chelsea hampir terdengar otomatis. Dia masih tidak percaya kalau cowok yang tengah duduk di sampingnya itu adalah anak laki-laki kecil yang dulu mengangsurkan Neapolitan lezat padanya. Anak laki-laki yang membuatnya jatuh cinta pada es krim tiga rasa itu. Fakta dua sahabatnya buta bahasa Jepang tidak menyentuh benaknya yang sedang mencari-cari memori tentang "Neapolitan-kun".

            Sementara Chindai dan Marsha terperangah menyaksikan percakapan berbahasa asing itu terjadi begitu lancar dan fasihnya di hadapan mereka, Chelsea dan Bagas seolah terserap ke acara kangen-kangenan.

            "Neapolitan-kun ga suki?

            "Hai, suki desu.”
            "Jaa, ore to tsukiatte kureru”
            "Eh?!" Chelsea membelalak.

            Dua sahabatnya ikut membelalak, walau tidak tahu apa yang sedang terjadi. "Bahasa Indonesia, please," gumam Marsha. Chindai mengangguk. Tapi Bagas dan Chelsea seperti tidak mendengarkan. Atau sengaja?

            "Deatta toki kara, ore wa kimi ga mou daisuki datta. Ima mo mada kimi ga suki" Bagas terus menatap Chelsea saat mengucapkannya. Ada hint kesungguhan hati di matanya.

            Chelsea pun tak ragu lagi menjawab ajakan kencan itu, "Un."
            "BAHASA INDONESIA, PLEASE!" seruan Chindai dan Marsha menggemparkan kedai, meruntuhkan suasana Chelsea dan Bagas. Tapi keduanya hanya tertawa renyah dan menolak menjelaskan.

            "No replay," kata Bagas final.
***

(Oleh: Alva Septiantya)

Jaa, genki desu ka? = Jadi, apa kabar?
Un, genki desu = Iya (bahasa gaul/biasa), kabar baik
Napolitan-kun ga suki? = Kamu suka Napolitan-kun?
Hai, suki desu = Iya (bahasa sopan/formal), suka
Jaa, ore to tsukiatte kureru? = Kalau begitu, jadian sama aku yuk?
Deatta toki kara, ore wa kimi ga mou daisuki datta. Ima mo mada kimi ga suki. = Aku sudah suka kamu sejak pertama kali kita ketemu. Sekarang juga aku masih suka sama kamu.
Un = Iya (bahasa gaul/biasa)

NB:
Masih dari kawankumagz yang kali ini karyanya Alva Septiantya.
Suka percakapannya.  Walau untuk ceritanya kurang sreg sih. Y iya gtu, masih under 10thn udah Love at First Sight. Masih inget namanya pulak. Tapi setting tempat juga percakapannya, awsome. :D

Oh ya, kalo kalian tinggal di Jogja dan sering hangout didaerah D*mangan, pasti tw dong ya, kedai Ice Cream yg aku maksud :D Itu nama kedai'nya ada beneran (sedikit disensor sih) dan salah satu tempat hangout fav. XD

Wednesday 29 October 2014

Kisah 30 Menit versi IC



          Suasana Brown Coffe Shop sore itu sepi. Hanya ada empat meja yang terisi. Aku meletakkan tas di atas meja bundar dari kayu yang ada di hadapanku dan duduk di sofa berwarna krem. Pramusaji menghampiri, menanyakan pesananku, tak lama kemudian membawakan sepotong tiramisu dan caramel latte. Setelah mengucapkan terima kasih, aku menarik keluar sebuah novel dari dalam tas dan membuka halaman yang telah kutandai lalu membacanya.
          Jam-jam ini adalah saat-saat yang paling kunikmati. Pulang ngajar, jalan-jalan ke toko buku, nunggu Karel pulang kerja, sambil nongkrong di Brown Coffee Shop. Rutinitas ini baru berjalan dua minggu, berkat promo credit card yang membuatku berani mengeluarkan duit untuk membeli kopi dari gerai super mahal ini.
          Saat aku membalik halaman ke-45 dari bukuku, pintu toko terbuka, seorang cowo bermata tajam masuk, ia mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan. Lalu ia rnenemukan apa yang dicarinya dia tersenyum sambil melambaikan tangan. Yang membuatku sedikit terpana adalah karena dia berjalan menuju ke sini. Ke arahku! Dengan santai cowok itu berjalan ke deretan meja aku dan... menghempaskan dirinya di meja sebelahku.
          Aku menegakkan diri dan memperbaiki posisi duduk. Rasanya agak tidak nyaman kalau ada yang duduk sedekat itu dengan kita. Tapi aku enggak bisa pindah, rasanya enggak sopan sekali.
          Keduanya kedengaran berbasa-basi lalu mngobrol sedikit dan memanggil pramusaji. Konsentrasiku jadi buyar, entah mengapa halaman ke-45 ini tidak bisa kutuntaskan. Memang begitulah sifatku sering rnengamati sesuatu yang tidak penting. Aku senang mendengar percakapan orang-orang di kendaraan umum, di toko buku, di tempat tunggu praktek dokter, café... Aku mencoba beristirahat sebentar, sambil menikmati tiramisu yang tadi kupesan.
          "Wah, keren! Kapan-kapan gue main yak e kantor lo!" aku menoleh sedikit, cowok tadi yang sedang berbicara.
          "Biasa saja, kali! Lo gimana, Gas? Balik-balik, sudah S2, hebat...hebat...Kenapa enggak cari kerjaan di sana saja, Gas?" Tanya temannya tadi.
          Si "Gas" itu tertawa, "Kangen rumah, lah! Enggak betah di sana, susah cari makan, biaya hidup tinggi."
          "Ah, menuh-menuhin Indonesia saja, lo!" seloroh temannya.
          Mereka terdiam bebarapa saat, waktu pramusaji datang mengantarkan pesanan. Aku tersadar dari kegaiatan sia-sia yang baru saja kulakoni. Ah, aku kembali menunduk pada novelku dan berusaha menyelesaikan halaman ke-45.
          Satu paragraph, dua paragraph, tiga...
          "Haha, anak kampus gue. Junior... Nanti deh, lo gue kenalin." Kata suara temannya. "Lo gimana? Cewek lo bule, ya? Kok enggak dibawa?"
          "Ngarang lo, gue enggak punya cewek...." Kata si cowok.
           "Ah, enggak mungkin! Jangan-jangan lo putus sebelum balik!"
          "Enggak! Sok tahu. Lo! Gue di sana beneran belajar, enggak ada tuh kepikiran nyari cewek."
          "Kata si Josia, cowok-cowok Asia di sana laris manis..."
          "Yah enggak semuanya, kali..."
          Mereka tertawa kecil. Percakapan itu kembali menarik perhatianku. Aah, kenapa sih aku ini? Entah kenapa, kupingku senang mendengar suara si cowok bernama "Gas" itu dan temannya. Mendengarkan mereka bercakap-cakap. Kenapa ya?
          "Eh..." celetuk si cowok. "Gimana kabara...dia?"
          "Dia?" temannya tampak ragu-ragu. "Mm... maksudnya C...?"
          Tidak ada jawaban, hanya desahan napas.
          "Apa lo bener-bener putus kontak sama dia?" Tanya temannya itu.
          "Iya...enam tahun, enggak kerasa, ya?" gumam cowok itu.
          "Lo masih mikirin dia, ya?"
          Mereka terdiam.
          "Lo tahu sesuatu tentang dia?" Tanya si cowok berinisial "Gas" itu.
          "Err..Setahu gue dia sudah punya cowok sekarang," jawab temannya.
          "Hmmm. Telat ya, gue? Segalanya sudah berubah sekarang."
          "Yaa, sayang banget. Padahal kalian cocok, lho..."
           "Itu memang kesalahan terbesar dalam hidup gue..."
          "Kenapa?"
          "Karena gue enggak pernah bisa memilih..."
          Percakapan terhenti sejenak. Ada merasakan cowok tadi akan mulai bercerita, memulai sebuah kisah.
          "Semua berawal karena gue tidak sebaik kakak gue. Enggak pinter, enggak rajin...Orangtua gue merasan aneh, karena seharusnya gue punya kesamaan dalam dua hal itu sama kakak gue. Kami sama-sama dikasih nasi, didik dengan cara yang sama... Puncaknya, pas gue gagal dapet beasiswa ke Inggris. Seperti yang lo tau, bokap gue orang yayasan sekolah, katanya gue ini malu-maluin dia banget dengan gagal dapet beasiswa..." terdengar bunyi dentingan gelas dan sendok yang beradu, salah satu dari mereka mengaduk kopinya. "Gue ditekan terus...Enggak boleh main-main, pokoknya gue harus menyamai kakak gue."
          "Apa bedanya? Dia juga pintar, tapi dia tetap punya perasaan ke elo..."sanggah si teman.
          "Buat gue, dia berpengaruh banyak. Dia adalah penyemangat, pemotivasi, dan pengatur mood gue. Kalau gue lihat dia dekat sama cowok lain, atau denger gosip tentang dia, mood gue gampang banget turun. Gue jadi sering bête dan enggak bisa konsen. Ditambah kalau gue lihat kakak gue, selama bertahun-tahun enggak pulang. Pasti orangtua gue juga penginnya gue begitu, tamatin sekolah dulu, baru pulang. Artinya bakal lama banget gue enggak bisa ketmu dia. Gue makin engga semangat belajar."
          "Ho...Jadi lo punya dua pilihan? Mau serius sama dia atau ngelupain dia?"
          "Akhirnya ngelupain dia adalah jalan paling baik, kan? Soalnya ini menyangkut masa depan, piker gue. Kalau dia, sih, cukup lah nyakitin perasaan dia, matiin harapan dia tentang gue. Kita sama-sama menjauh. Dan berhasil, gue lebih focus belajar, dia enggak pernah mampir di ingatan gue. Kecuali di hari kelulusan kita..."
          "Yang mana?"
          "Waktu dia nyatain perasaannya ke gue...saat dia ngasih sekotak penuh benda-benda tentang gue yang dia simpan."
          "Aah, gue ingat."
          "Gue nyaris batal pergi. Tapi gue juga sadar kalau semua yang sudah gue capai itu, enggak dibuang gitu saja. Kali terakhir gue bicara sampai saat gue mau masuk ke boarding room. Ngucap terima kasih dan selamat tinggal."
          "Kenapa harus bilang selamat tinggal? Kaya di film-film itu...lo janji bakal balik..long distance love..."
          "Gue enggak mau ngasih harapan yang muluk-muluk ke dia. Kita kan enggak pernah tahu kedepannya bakal gimana. Bisa saja gue suka sama cewek lain atau dia ketemu cowok lain. Tapi gue sadar kalau gue salah, lo kira gue enggak berusaha? Liburan dua tahun yang lalu, gue berusaha nelepon dia. Tapi dia sudah pindah rumah. Gue enggak pernah tahu nomor HP-nya, gue enggak pernah tahu email-nya. Saat itu gue piker, sudahlah."
          Si teman tidak menyanggah lagi. Keduanya diam cukup lama. Aku terdiam, kisah itu membuat mataku kosong, menatap lantai toko yang terbuat dari kayu. Teringat akan sesuatu...
          "Dan sekarang...lo berubah pikiran? Lo pengin ketemu sama dia?" Tanya temannya.
          "Hmmm.. Karena gue bakal menetap di sini, gue punya banyak waktu untuk cari dia," jawab si cowok tadi, sambil menyandar pada kursinya.
          "Lo masih berharap dia nyimpan perasaan ke lo?" Tanya temannya lagi.
          "Gue enggak mau egois, dan merusak tatanan hidup dia yang sekarang. Apakah dia happy, gimana perasaannya ke gue sekarang. Inginya sih dia bahagia sekarang...sama cowoknya. Tentang perasaannya ke gue...harapan itu selalu ada."
          Suara si cowok terasa sangat dekat denganku. Membuat bulu kudukku berdiri.
          "Jadi...kalau ketemu, lo mau apa?"
          "Berterima kasih...dan mengembalikan sesuatu..kalung nama ini..."
          "BagasRDS...bahkan nama lo dia ukir..."
          Aku tidak melanjutkan kegiatan mngupingku. Karena penggalan akhir percakapan mereka telah menulikanku.
          "Hey, baru datang?" setelah sekian lama dalam kesunyian, suara Karel merasuki indera pendengaranku. Ia telah duduk di seberangku sambil mengetuk-ngetukan jarinya di meja. Dengan wajah tersenyum lebar, membuat suasana jadi riang.
          Aku tersadar dari lamunanku dan mendongkrak. Sedikit salah tingkah, aku tersenyum kaku padanya.
          "Kata kamu ada buku bagus, ya? Kita ketoko buku sekarang, yuk!" Karel melanjutkan.
          Namun saat ia melanjutkan ocehannya, pikiranku malah melantur. Kembali kealam pikiranku sendiri. Sampai akhirnya tangan kanan Karel melambai-lambai di depan mataku.
          "Chelsea...kok ngelamun? Kamu enggak apa-apa?" Karel bertanya, sambil tetap tersenyum.
          Bersamaan dengan itu, kursi di sampingku berderit, saat orang yang menempatinya bergerak cepat.
          Untuk beberapa saat aku kehilangan control tubuhku. Cuman bisa megap-megap. Tidak menduga namaku akan terucap.
          Kubereskan segala barang-barang bawaanku dan kutinggalkan sepotong tiramisu serta seperempat minuman yang belum habis. Lalu berdiri tergesa-gesa, mengabaikan tatapan keheranan yang dilempar Karel.
          Sambil berdiri, sudut mataku menangkap tatapan terpana dua pasang mata. Dengan nekat aku menoleh pada dua orang tadi. Khususnya pada cowok bermata tajam yang duduk tepat disampingku. Yang menghabiskan percakapan 30 menit tentang seorang gadis. Is speechlees dan mematung.
          Aku tidak bisa berbuat apa-apa saat mata kami bertatapan. Jutaan tanya, berbagai jenis rasa, dan fakta yang ada menggebrakku tiba-tiba. Aku kepengin menjerit. Menjerit pada kebodohanku menguping percakapan orang lain, menjerit pada kedua cowok tadi, menjerit pada Karel yang sudah menyebut namaku.
          Setelah sepersekian detik yang tidak tertahan, aku mengalihkan tatapanku. Kembali menatap ke depan. Menghampiri Karel dan menggandengnya.
          "Ayo..." bisikku.
          Aku menyeret Karel keluar dari sana. Karel menurut saja, walau jelas ia dipenuhi rasa penasaran. Kami menyapa malam yang dingin, membuat otomatis mengigil. Masih tidak percaya pada 'kebetulan' ini. Pada segala hal yang terjadi dalam 30 menit yang baru kulewati. Bahwa aku lah gadis yang dikisahkan tadi.

***




Oleh: Rinella Chirilda Elgi

NB:  Masih dari web kawankumagz karya Rinella Chirilda Elgi. Unpredictable ceritanya. Berakhir dengan manis. Ya benar, HIDUP ADALAH PILIHAN. Maksudnya, kalau hidup itu emang penuh pilihan yang merupakan sebuah ujian. Yang lebih membuat hidup kita lebih berwarna. Memang untuk memilih kadang sulit, disitulah ujiannya. Karena pilihan itu akan berefek berlanjutan, dan pintar-pintar memilih aja. Memang PENYESALAN hanya hadir di akhir, makanya harus hati-hati dalam memilih. Supaya tidak menyesal diakhir. Tapi saranku, dalam memilih pun, harus dipikirin efek negatif-positif kedepannya.

Dalam kisah itu, setuju sih sama Bagas yang lebih memilih pendidikan. Hanya saja, mungkin bukan mengucapkan selamat tinggal ketika mereka berpisah. Bisa loh LDR walau masih kasih kebebasan untuk deket dengan yang lain. Daripada nyesel gitukan??!