Wednesday 18 February 2015

Menunggumu

Inspired: a song of Seribu Tahun Lamanya by Tulus

"Chels, lunch bareng yuk" ujar seorang lelaki diujung telpon.

"Maaf, kak. Aku mau makan dirumah aja," suara wanita menjawabnya diujung telponnya.

"Oh, yaudah. Aku temenin ya. Aku kerumah kamu sekarang," ujar sang pria.

"Eh, kak, gak... (tut-tut-tut)" ucap sang gadis terputus  mengetahui lawan bicaranya sudah memutuskan teleponnya.

*

"Kan aku tadi bilang gak usah kak," ucap sang gadis.

"Gak papa, kamu kalau gak ada temen makan juga cuma makan dikit kan. Ato bahkan malah gak makan..." celoteh sang pria.

"Ini, aku beliin empek-empek kesukaanmu," lanjut sang pria sambil menyodorkan bungkusan plastik berisi empek-empek. Dengan lemah sang gadis menerima bungkusan itu. Dengan perlahan ia membukanya.

Tiba-tiba, air mata sang gadis mengalir melewati pipinya. Sang pria menjadi khawatir. Sedangkan sang gadis, masih terpatung diam dengan derai air matanya dan tak bersuara.

"Chels, kenapa? Aduh Chels, maaf kalau aku melakukan kesalahan," ujar sang pria panik.

"Enggak kok kak, aku hanya teringat aja sama Karel," ujar sang gadis sambil menyeka air matanya.

"Ka-rel?" ujar sang pria dengan terbata.

"Siang itu, aku janjian dengan Karel untuk mekan empek-empek ditempat favorite kami. Namun dia tak kunjung datang hingga aku tahu kabar kecelakaanya," cerita sang gadis dengan tatapan mengambangnya. Maka Bagas, pria yang sedari tadi dipanggil 'Kak' itu, hanya terpatung mendengarkan. Keadaan menjadi hening sejenak.

"Kamu belum bisa melupakan kepergian Karel ya?" tanya Bagas dengan lirih kemudian. Dan pertanyaan itu hanya terjawab dengan senyuman kecut dari bibir manis sang gadis yang bernama Chelsea itu.

"Gak papa Chels, aku masih mau menunggumu walau itu 1000 tahun lamanya. Aku gak mau memaksamu untuk segera menerimaku. Aku ingin kamu juga bisa menerimaku dengan tulus, dan terjadi wajar apa adanya," balas Bagas dengan tersenyum sambil membantu membuka dan menuangkan bungkusan empek-empek tersebut kesebuah mangkuk.

---


Flash Fiction ini ditulis untuk mengikuti program #FF2in1 dari Tiket.com dan nulisbuku.com #TiketBaliGratis.

Tak Mau Kehilangan Kamu

Inspired: a song by Sam Smith, I'm Not The Only One

Hanya hujan yang menemaniku malam ini. Dengan suara air hujan sebagai kamuflase, tangiskupun dapat kuurai tanpa ada yang mendengar. Saat ini, aku hanya butuh kesendirian. Kesendirian untuk merenungkan apa kekuranganku.

Dikesendirianku malam ini, aku mulai teringat apa yang kulihat siang tadi. Disebuah cafe yang rame, seorang pria sedang menyuapi sepotong cake kepada wanitanya yang duduk dihadapannya. Seharusnya itu menajdi pemandangan adegan yang romantis. Tapi tidak untukku. Seketika, aku terpatung melihatnya. Melihat renyah senyum mereka, hatiku sakit. Aku berharap itu sebuah mimpi. Namun itu bukan.

Cindai sahabatku yang mengajakku ketempat itu, menyadarkanku. Dia ingin menyeretku untuk menghadap dua insan yang sedang bermesraan itu. Namun aku tak bisa. Hatiku dibuat kalut duluan. Aku memilih menghindar dari mereka.

Tiba-tiba, smartphoneku berdering membuyarkan semua lamunanku. Dengan mudah aku melihat siapa yang menelponku, tertera dengan jelas "My Lovely". Tak segera kuangkat telepon itu.

"Kak Bagas, apa yang kurang dariku?" batinku dalam tangisku.
"Apa benar, wanita itu lebih baik dariku? Tapi aku mencintimu dengan tulus..."

Hingga telpon itu berdering untuk ketiga kalinya, logikaku kalah dari hatiku.

"Halo... Sayang? Kok lama sih ngangkatnya?"

"Chels? Kok diem aja? Lagi apa sayang?" ucap laki-laki itu dengan nada manjanya.

Aku masih sedikit terisak.  Sakit namun senang juga dia memanggilku dengan sayang.

"Kak, aku gak mau kehilangan kamu," ujarku menjawab semua ucapan laki-laki itu, Bagas, kekasihku.


---


Flash Fiction ini ditulis untuk mengikuti program #FF2in1 dari Tiket.com dan nulisbuku.com #TiketBaliGratis.

Short Story "Dekat Di Hati" part 5

Juni

Juni. Setiap kulirik kalendar kamar, mataku langsung mendarat ke kolom bulan keenam dalam kurun waktu setahun. Ada yang istimewa di bulan Juni nanti. Ada rencana dan janji jumpa di bulan setelah Mei berlalu. Mataku berseri-seri setiap melihat kolom bulan Juni. Harapanku teramat besar terpatri di bulan Juni. Kau, yang berjanji datang setelah Mei bergulir, berganti bulan Juni. Kau, yang katanya akan seberangi Selat Sunda dan merambah tanah Jawa demi bertemu kekasih hati. Aku! Ya, kekasih hatimu, aku.

Entah bagaimana kisah kita bermulai. Kisah seorang lelaki Sumatera dan perempuan Sunda. Dari awalnya hanya saling sapa di dunia maya, kini mendaki ke arah yang lebih serius, ikatan hati. Bukan mudah melebur segala beda menjadi suatu kesatuan, yang pada akhirnya menanamkan rasa yang sama di hati masing-masing. Adat. Budaya. Keseharian. Pandangan. Cara berbahasa. Kau dan aku sungguh berbeda. Awal-awal pun ada ragu yang merambah bagaimana jika kelak kita terjerembab dalam sebuah rasa, padahal kita tak sama? Tapi katamu, semua manusia sama saja di mata Tuhan. Apa salahnya apabila dua orang beda pulau, adat, budaya, keseharian, pandangan, cara berbahasa, jatuh cinta? Sekalipun dua orang itu belum pernah berjumpa di dunia nyata. Cinta tak pandang itu semua, bukan?

"Tunggu Kakak di bulan Juni. Kakak akan menetap di kotamu untuk waktu yang lama. Bersabarlah. Kelak, jarak tak lagi jadi penghalang kita, Dik."

Air mataku menitik. Padahal, yang kutatap saat ini bukan kau, melainkan layar ponselku sendiri. Rupanya, ada yang lebih tabah dari hujan bulan Juni. Penantianku. Rinduku. Cintaku. Kepada kau di pulau seberang...

---

Rindu

Dalam sebuah hubungan antara dua manusia, selalu ada jarak yang memisahkan antara keduanya. Entah itu jarak antara letak yang begitu jauh. Ataupun jarak antara dua hati, yang tak bisa saling memiliki.

“Menikah?” tanyaku tak yakin.

Seseorang dari seberang telepon hanya terkekeh mendengar aku tak begitu yakin. Pasti ia sedang menebak-nebak ekspresi wajahku saat ini.

“Apa kamu nggak bisa menunda sampai kamu benar-benar terbebas dari pekerjaanmu itu?” tanyaku lagi.

Aku mendengar ada sedikit kekecewaan dari caranya mengatur napas. Sebenarnya aku mau acara pernikahan ini dipercepat, tapi bagaimana dengan kehidupanku dengan Kak Bagas nantinya?

“Apa kamu nggak yakin kalau kita bisa menjalani kehidupan baru meski kita terpisah jarak yang begitu jauh?” ucapnya lirih.

“Bukannya begitu, tapi…”

“Percayalah, kita akan tetap baik-baik saja meski terpisah jarak yang begitu jauh. Karena jarak selalu mengajarkan kita akan banyak hal. Jarak mengajarkan kita untuk menghargai waktu….”

“Karena saat kita telah berhasil melipat jarak, kita mampu menghargai bahwa setiap detik waktu yang kita punya untuk bertemu sangat berharga. Jarak juga mengajarkan kita untuk melawan musuh yang paling nyata, yaitu ego. Dan jarak mengajarkan kita untuk saling menemukan. Kita bertemu pasti ada alasan, dan alasan paling nyata adalah kamu.”

Aku tersenyum mendengar penjelasannya. Tidak salah lagi, aku benar-benar bersyukur telah memilikinya. Karena berkat jarak, aku mampu melihat. Melihat ketulusan cintanya sampai saat ini.
---

Short Story "Dekat Di Hati" part 4 (Family)

Jarak Satu Senti

"Apalagi anak ini," Bagas berdesis. Antara kesal dan sebal.
"Ya, halo?!" Sengaja berteriak agar orang di seberang telepon sana sadar kalau dia sedang tak ingin berbaik hati.

"Aku tidak bisa tidur!"

"Kau pikir aku mamamu? Aku tidak bisa bernyanyi kalau maumu itu."

"Bukan itu. Di sini mati lampu, bisa tolong ke sini?"

"Kau bukan anak kecil."

"Iya, sih. Tapi apa salahnya datang untuk adikmu sendiri?"

"Tidak, terima kasih."

Suara berdebum keras terdengar seperti tangan menonjok dinding. Bagas kaget setengah mati. Suara selanjutnya berteriak nyaring dari ponsel dan kamar sebelah. "Kak Bagas! Datang ke sini dan bawakan aku lilin, cepat!" teriak Chelsea.


---

Senyum itu Kamu

Hai Pagi ini aku tersenyum lagi karena kamu lagi. Ada sela-sela yang menjalar dalam tubuhku ketika mengingat senyum itu di pagi ini. Hanya jarak yang memisahkan kita, namun rasanya tak dapat aku pungkiri bahwa kitalah yang bersatu, iya hati kita ini bersatu dengan senyawa-senyawa yang sama.

"Halo, kamu sudah sarapan?"

"Iya, aku sudah sarapan?"

"Malam disini, dan aku telah makan malam, dengan dia."

"Ah, so sweet sekali."

Ada jeda.

"Kondisinya bagaimana?" Aku mencoba tersenyum sekali lagi.

"Dia tengah melamun di balkon. Dia masih tetap sama, hanya memandangi fotomu. Tak banyak bicara."

Aku tersenyum sekaligus memendam luka. Tapi sekali lagi aku hanya ingin tersenyum saja.

"Dia hanya menyebut Jakarta dan Chelndai."

Aku terdiam. Lintasan ingatan itu menyambar pikiranku. Aku kemudian kembali lagi pada masa itu. Ketika Mama masih yang dulu, masih bisa tersenyum dan mengajakku jalan-jalan. Dan, ah, sebuah truk itu meyerempet kami, hingga kemudian Mama tak sadarkan diri. Koma. Lalu tak seperti dulu.

Aku masih menyimpan foto senyumnya. Iya karena senyum itu kamu, Ma. senyum itu yang membuatku bertahan di Hongkong dan mencari sesuap nasi dan pengobatanmu Ma.

Senyum itu kamu , Ma. Tak hanya pendorong semangat, namun juga aliran positif yang selalu memberkahi langkahku disini. Senyum itu, senyum Mama.

Short Story "Dekat Di Hati" part 3

Melipat Jarak


Kita adalah sepasang mega, angin menciptakan jarak yang selalu kita rasa percuma. Pagi tak pernah sepi, atau bahkan sendiri, sebab pelukmu tak pernah tak terasa lewat doa-doa sederhana. Juga sua yang teryakini bukan sekadar mimpi-mimpi.

"aku adalah kau yang hilang, dan kau adalah pengelana yang telah menemukan arah pulang. Karena bahagia adalah sebuah kepulangan, mari berjalan beriringan." sahutmu pada pagi yang tak pernah asing juga tak pernah usang.

Bahagia kita bukan lagi perihal bagaimana kita menemukan, tapi bagaimana kita melipat jarak dan tetap dekat.
---

Meskipun Tidak Saling Memandang

Entah sudah berapa banyak cerita, kisah cinta yang terjadi di dunia ini. Kenapa semuanya musti tentang cinta, kenapa semuanya harus tentang rasa yang katanya pasti dimiliki oleh seluruh makhluk di alam ini ?. aku percaya akan kekuatan cinta, kekuatan yang sudah di tunjukkan, telah dibuktikan dalam mengubah dunia. Dan aku percaya dengan ikatan hati yang, sekali lagi katanya, terjalin pada sepasang orang yang memang saling mencintai. Meskipun sepasang makhluk ini tidak sedang bersama dalam satu tempat dan waktu.
Dan seperti itulah aku saat ini, menyendiri di kamarku yang sepi. Malam semakin larut. Entah mengapa malam ini aku menjadi mellow. Aku hanya ingat pada kak Bagas, mantan kekasihku yang masih saja aku cintai sampai saat ini. Tiba – tiba saja malam ini aku sangat merindukannya. Entahlah. Akupun tidak mengerti alasannya. Kangen saja. That’s it.
Airmataku meleleh tanpa bisa aku menahannya. Aku tidak tahu juga mengapa airmata ini mengalir. Sumpah, aku tidak bisa menjelaskan mengapa aku selalu menangis ketika aku merasakan rindu yang luar biasa kepadanya. Rindu, rindu dan rindu.
“Kalau kamu juga merasakan rindu yang sama denganku, tolong telpon aku, please...”, aku bergumam sendiri, tidak kepada siapapun. Jelas kepada mas Bagas yang dalam imajinasiku ada di hadapanku. Aku sangat menginginkan suaranya terdengar malam ini.

Kamu apa kabar?”,
Aku menatap layar ponselku yang menunjukkan kalimat yang sangat aku kenal jenisnya. Is it really?, benarkah ikatan hati itu memang ada. Meskipun kedua individu itu tidak saling memandang secara langsung?, meskipun mereka saling berjauhan?
---

Janji Hati

Aku kembali memandang bayanganku di cermin, mungkin sudah untuk yang ketiga kalinya, kembali merapikan kerah kemejaku, juga memeriksa kancing-kancingnya. Aku memandang cermin, sekali lagi, dan kali ini berusaha tersenyum.

Aku harus tersenyum, iyakan ?

Aku punya janji untuk tersenyum. Dan aku tidak suka ingkar janji.


Tangan panjang Kak Bagas tiba-tiba saja mengalung dileherku sebelum akhirnya menarik tubuhku untuk jatuh ke pelukannya. Dan aku memutuskan untuk bersandar sejenak, beberapa detik saja, agar aku mampu berjalan tegak setelah ini.

Aku harus kuat, iyakan ?


“Sudah siap ?”


Aku hanya mengangguk, namun Kak Bagas tak melepaskan tangannya, membuat kami berjalan berdempetan, dan untuk kali ini aku tidak keberatan. Melihat semua mata yang memandang ke arahku saat kakiku beranjak keluar, tiba-tiba membuat aku ciut, membuat perlindungan Kak Bagas terasa tepat.


Aku tidak begitu paham setelah itu. Setelah mobil dan jalanan yang sepi. Setelah suara doa dan tangisan yang bercampur. Setelah ramai dan kemudian hanya ada aku.


Berlutut di depan gundukan tanah yang baru saja menutupi tubuhmu. Yang kini penuh bunga, walau kamu pernah bilang, kamu tidak suka bunga. Tidak ada laki-laki yang suka bunga katamu.


Dan dalam sekejap, tiba-tiba saja semua kalimat-kalimat yang pernah kamu ucapkan berputar-putar di kepalaku.


“Kamu minta aku jangan nangis, kamu minta aku untuk kuat, kamu minta aku untuk tersenyum. Dan aku tepatin janjiku, iyakan ? Jadi mulai saat ini, walaupun kita ada di dua tempat yang berbeda, aku mau kamu tepatin janji kamu juga untuk selalu ada di hatiku, sampai nanti, sampai jiwa kita bisa berdekatan kembali.”
---

Kau Ada Diantara Jemari
by Julta Anugerah

Aku mulai menikmati meluruskan kakiku di sofa beranda ini. Teh panas dan keripik tempe telah 2 jam menemaniku.

'Sayur makan dong. Harus adil sama tubuh, penuhi haknya.' begitu bunyi pesan pendek perempuan di sana, yang terpisah beribu mil dari kotaku, tapi berasa sesentimeter di sela jari-jari yang sedang menekan tombol ponsel.

Aku menjawab singkat 'iya, mau kau temaniku?'

Begitulah cara kita berkomunikasi. Mengandalkan ponsel yang kini lebih akrab dibilang gadget atau smartphone oleh kebanyakan. Menjadikan alat ini sahabat bagai orang terdekat yang tak bisa ditinggalkan, bahkan hanya semenit saja. Yang kadang kalau kita lupa sebentar saja menyentuhnya, bagai kehilangan dunia.

'Pagi sayuur, sudah bangun?' begitu sapaan pagi perempuanku yang selalu aku tunggu.

Dan aku dengan mata yang baru terbuka membalasnya 'morning cintaa'

Aahh..sepertinya dunia hanya segenggaman saja. Aku menikmati semua ini. Tak ingin aku mengeluh dengan jarak, ruang, waktu. Kita belajar menghargai apapun yang kita punya saat ini.

Beberapa kali aku baca Display Picture teman-teman di kontak messenger ku 'Tuhan, jaga dia saat ku tak di sampingnya. Karena hanya penjagaanMulah yang selalu sampai padanya'

Itu juga yang selalu menguatkanku, untuk tak lelah mencinta. Aku yakin Tuhan pasti mengerti, bila kita menganggap jarak tak berarti.

---

Short Story "Dekat Di Hati" part 2


Hanya Berjumpa via Suara

Sudah pukul sembilan malam, seperti biasa, aku duduk di jendela sembari menjuntaikan kaki. Kupandangi langit yang bertaburan bintang. Angin yang berhembus mesra mengelus wajahku seolah semakin memperkuat rinduku pada Bagas, kekasihku.

Aku meneleponnya. ‘Halo, sayang’ sahut dia setelah teleponnya diangkat.

Itu adalah suara yang paling kutunggu. Suara yang melegakkan hatiku. Suara yang memecahkan lamunan ketika memikirkannya. ‘Kamu apa kabar sayang?’ tanyaku sambil tersenyum menengadah melihat bintang yang berkedip.

‘Aku baik sayang. Kamu apa kabar? Aku rindu sama kamu’.

Ia semakin membuatku tersipu. ‘Aku juga baik. Aku rindu kamu juga sayang’.

Kami sudah satu tahun tidak pernah bertemu. Kami terpisah oleh bentang jarak yang terlalu melampaui batas. Meski begitu, kami selalu bertemu via suara. Ya, suara kerinduan yang berhasil mengetuk pintu hatiku. Mengetuk rasa rindu yang bergejolak di dada.

Aku jadi teringat dengan perkataannya kala itu. Ia bilang, suatu saat aku akan kembali padamu dengan cinta yang sama. Ia tahu bagaimana cara melelehkan hatiku. Bahkan, sampai sekarang.

Sudah belasan menit kami bercakap melemparkan rindu. Malam ini benar-benar terang, meski terbalut gelap. Warna hitam bukan berarti kelam. Warna hitam bukan berarti malam. Aku selalu percaya, cinta itu dapat menerangi: sesuatu yang gelap.

‘Bulan depan kita ketemu ya sayang’ ucapnya.

‘Benar kamu akan datang kemari?’ tanyaku, memastikan ia tak memaksakan diri datang ke negeriku yang jaraknya amat jauh dari negerinya.

‘Iya sayang. Aku sudah rindu. Rasanya aku berdosa selalu mengulur waktu tak jadi bertemu denganmu’.

‘Ya sudah sayang. Aku tunggu kedatanganmu ya’ balasku. Lagi-lagi aku tersipu. Malam ini terasa semakin hangat bila ku ingat terakhir kali ia memelukku sebelum ia terbang pergi jauh.


Aku mengerti mengapa bintang yang menggantung di semesta alam berkedip indah ke arahku. Mereka hanya ingin memberitahuku bahwa cinta akan tetap bersinar meski dibaluti ruang gelap.

---


Sunset Hari Ini

Warna lebih gelap kini bertemu dengan langit biru yang cerah. Menggantikannya menjadi sebuah warna Jingga yang menghiasi langit kota Palembang. Hari ini cerah, lebih dari cerah untuk melihat Matahari yang dalam hitungan menit lagi akan tenggelam dan berganti oleh sang rembulan.

Pria yang kini tengah menatap layar komputernya kini beralih menatap sisi kiri ruangannya. Jendela besar dengan pantulan cahaya orange yang menyilaukan matanya. Matahari terbenam. Dia tersenyum dan mengarahkan duduknya menatap Sunset yang menjadi background langit Kota Palembang diatas gedung kantornya yang berada di lantai 7. Dia menutup matanya, merasakan cahayanya perlahan lalu tersenyum kembali ketika dia membuka matanya.

Pria itu kini beralih menatap ponselnya. Tidak butuh waktu lama ponsel itu kini telah berada ditangannya. Mengetikkan beberapa kata singkat yang selalu membuatnya tersenyum ketika dia melakukan hal yang sama seperti ini setiap harinya.

“Kau melihatnya? Sore ini sangat indah.”

Dan tidak menunggu lama pesan itu langsung dia kirimkan. Menit itu juga ponselnya kembali berdering dan ukiran senyum pria itu kembali terpatri di wajahnya.

“Aku melihatnya. Aku sangat menikmati sore ini. Cepatlah kesini. Kita nikmati kembali Sunset ini bersama.”

Dengan cepat kembali Pria itu membalasnya.

“Malam ini aku akan berangkat. Dan besok kita akan melihat Sunset bersama. bukan hanya Matahari terbenam tapi Matahari terbit. kita juga akan melihatnya.”

Bagas. Pria itu tersenyum senang. Untuk beberapa bulan ini dia tidak bisa menemui seseorang yang dicintainya yang tidak tinggal di Palembang. Dia tinggal di Bandung. Tetapi besok dia pasti akan bertemu dan kembali bersama menikmati setiap Matahari terbenam yang mereka tidak bisa lewatkan bersama.

Mereka menikmatinya berjauhan. Berbeda tempat, berbeda Pulau. Tapi itu tidak menyurutkan semua cinta-nya kepada Chelsea ; Gadis yang dicintainya. Mereka masih berada di langit yang sama.Dan dia beruntung. Meskipun dia hanya menikmati setiap sorenya seorang diri karena Chelsea jauh tidak berada di sisinya. Dia percaya, Chelsea selalu ada dihatinya begitu juga sebaliknya. Mereka merasa dekat karena hati mereka telah terisi oleh cinta yang diciptakan mereka berdua.

---

LDR
by Chintya Tjoa

"Loe kok mau sih LDR-an?"

"Loe ga takut dia selingkuh?"

"Belum nikah aja uda jadi Bang Toyib apalagi nanti."
Sering sekali teman-temanku mengucapkan hal-hal seperti itu di depan mukaku. Aku agak muak sebenarnya saat mereka dengan terang-terangannya berbicara seperti itu. Jujur, aku memang sedikit iri dengan mereka yang dapat bermalam minggu bersama si dia.
Sedangkan aku?
Malam minggu dilewati dengan menatap layar komputer ataupun berbicara lewat sambungan telepon.

"Aku rindu." Ungkapku suatu malam.
"Keluarlah, lihatlah ke atas. Apa langit yang kau lihat penuh bintang?"
"Iya." Jawabku bingung.
"Langit di sini juga begitu."

Teman-temanku tak akan pernah mengerti seberapa pentingnya pertemuan kami.
Mereka tak akan mengerti perjalanan cinta kami, di mana kami akan menunggu suatu hari bersama. Menunggu-nunggu saatnya bertemu, saat melepas rindu.
Justru karena inilah, kita akan lebih menikmati momen kebersamaan kami.
Setiap hembusan nafasnya, naik turunnya suaranya.... Perubahan suaranya.
Bagaimana aku akan setiap malam membayangkan rupanya sekarang.
Justru karena kejarangannya kami bertemu akan mendekatkan hubungan kami lebih lebih.

---


Short Story "Dekat Di Hati" part 1

From Germany With Love
By Rani



Laki-laki itu berlutut di depan seorang perempuan muda yang berumur sekitar 19 tahun. Setangkai mawar berada di genggamannya. Tangan laki-laki itu mulai menyentuh jemari Sang perempuan. Di tengah kerumunan orang, laki-laki itu berkata,

"Aku sudah lama menunggu momen ini. Hari ini aku ingin kau selalu ada di sampingku, menemaniku di saat senang maupun sedih. Mungkin aku tak pintar untuk merayu, tapi dari hati yang terdalam, maukah kau menjadi pacarku?"

Ucapan itu sontak membuat Sang perempuan terperangah tak percaya. Laki-laki yang selama ini dicintainya diam-diam ternyata juga membalas cintanya. Tanpa berpikir panjang, jawaban yang ditunggu-tunggu pun keluar dari mulut Sang perempuan.

"Tak perlu aku berpikir panjang, aku pun punya rasa yang sama denganmu. Aku mau jadi pacarmu, Bagas RDS."

Jawaban itu disambut tepuk tangan meriah dari semua orang yang telah diundang oleh Bagas untuk menjadi saksi momen bersejarah itu. Tak dapat menahan rasa senang, Bagas langsung memeluk dan mendaratkan sebuah kecupan manis di kening Chelsea.

"Agatha Chelsea kini kau menjadi pacarku." Bagas berteriak kegeringan.

Hari itu semua berbahagia. Sepasang kekasih telah dipertemukan.

"Bagas aku akan selalu merindukanmu. Meski kau kini jauh di sana, aku akan selalu menunggu saat kita akan berjumpa. Aku berjanji akan pulang untuk kembali bersamamu." Chelsea mematikan video kenangan itu. Hari ini tepat satu tahun kepergian Chelsea ke Jerman untuk meraih cita-citanya.

---

Dekat di Hati
by Evelynn Ellma

Rona matahari pagi menelisipi jemariku dari celah- celah tirai yang setengah terbuka. Digenggami lena semacam itu, aku mengerjapkan mata perlahan. Di saat aku mengalah pada kehangatan yang nyaman itu, sebuah nada mengalun lembut. Seolah belum cukup indah saja pagi- pagiku, lagi- lagi namamu tertera pada layar ponselku.

“Hei.”

“Halo,” balasmu singkat. Aku menangkap getaran senyuman yang kentara di ujung sana.

Sesederhana itu, sayang. Sesederhana itu kita hangatkan dingin jarak di antara kita. Semudah itu kehadiran tak kasat matamu membuat aku kembali jatuh cinta disetiap kalinya.

 ---

Cinta Itu Dekat
by Andriansah

Cinta itu apa?

Kamu selalu bilang, cinta itu bukan sekedar ucapan..
Kamu bilang, cinta itu perbuatan.

Pukul. 06.00 am.
"Hai selamat pagi sayang, jangan lupa sarapan dan semangat untuk aktivitas  hari ini, Love you" sms kukirimkan padamu.

Setiap pagi aku harus sms kamu, memberikan kabar dan memeberikan ucapan selamat pagi. Rutinitas ini bukan sekedar sms yang tak berarti. Seolah rutinitas ini menjadi bagian penting dalam aktifitas, berusaha untuk tidak kesiangan mengabarkan maupun memberi salam. Rutinitas yang kulakukan pertama saat ku hendak pergi beraktifitas, atau memulai aktifitas. Ya rutinitas yang kamu anggap membosankan karena sms ku isinya sama, padahal banyak hal yang ku usahakan untuk rutinitas ini.


Pukul. 12.30 pm

"Hai, selamat siang... jangan lupa makan ya. Hmmm kok ngga ada kabarnya dari pagi" tanyaku.

selang beberapa saat kemudian...

"Iya, sama-sama. Hmm abis bosen, gitu-gitu mulu smsnya. Telpon kek" balasmu.


Aku selalu bilang, aku paling malas telponan, entahlah tidak suka aja. Namun, aku lebih suka sms.. kenapa? karena dengan begitu ada sesuatu yang selalu bisa kulihat dan baca berulang-ulang.

Kamu mungkin ngga akan tau berapa kali aku membaca pesan yang sama darimu, membayangkan wajahmu..senyumnya.. renyah tawamu.

Ah kamu ngga tau kalau tulisan itu abadi.

Kamu selalu merasa kita serasa jauh meski dekat, sedangkan buatku... bahkan lima kata dari sms yang kamu kirim  membuatku merasa kamu dekat hingga bisa kubayangkan wajahmu diantara langit siang atau malam.

---

Itulah yang Kusebut Cinta
by Sekar Setyaningrum

“Kau tahu apa yang mengagumkan dari senja dan pagi, Chels?” Bagas menghapus dua bening Kristal dari sudut mataku.
 
“Mereka saling merindukan, tapi tak pernah memaksa untuk bisa disatukan.”
“Itulah kenapa aku memilihnya.”
 
“Jangan bandingkan aku denganya.”
 
“Tentu tidak, aku tidak sedang membandingkan siapapun. Bukankah kau tadi meminta jawaban?"
“Katakan padaku.”
“Dia tak pernah meminta apapun dariku, bahkan ketika jarak menjadi caranya mencintaiku.”
 
“Ya. Gadis itu sangat berbeda denganku.”
 
“Bukan itu, Chels. Kau tahu ? cinta tak pernah menuntut dua raga untuk tetap saling berpagut mesra. Cinta tak pernah mengukur dirinya dari seberapa sering kau dapat berjumpa denganya. Tapi seberapa dekat jiwamu dengan cinta itu sendiri.”
 
“Sedekat itu dia kini bagimu?”
 
“Tentu, Chels. Aku tak pernah berharap lebih bahkan jika dia menodai rasa percayaku padanya. Aku hanya meletakanya disini. Dihatiku.”
 
Aku menatap dalam matanya. Aku tahu Bagas tak sedang bercanda seperti biasanya. Aku tahu Bagas benar-benar telah memilih siapa cintanya. Cinta yang hanya dia temui lewat suara. Lewat telepon dan pesan singkat untuk gadisnya.
---

Dekat di Hati

“Bagaimana pun juga, dia dekat di hatiku. Jadi, berhentilah kamu mengejarku,” kataku acuh tak acuh kepada lelaki yang dengan lancangnya berdiri di sisiku itu, sambil ikut-ikut bersandar pada balkon lantai kedua sekolah.
 
Samar-samar kudapati senyuman sinis di wajahnya, selanjutnya kudengar suara bass-nya menyahut. “Dia sudah mati, Chels. Sudah di tanah.”
 
Kulirik ia malas mengandung sarkas. “Katamu saja, dia mati.”
 
“Memang begitu, kan?”
“Tidak, kok. Dia tetap di sisiku. Dia tetap dekat dengan hatiku.” Aku menarik napas dalam-dalam. Kupegang dada kiriku.
“Jantung ini adalah jantungnya. Sampai kapan pun, keberadaanmu akan selalu lebih jauh dari hatiku. Dia justru memberikan yang sangat berharga baginya kepadaku....”Ucapanku menggantung. Air mata menetes ketika bayang wajahnya melintas di benakku. Angin berhembus. Dapat kudengar pekikkan kaget seseorang di sebelahku pelan.
 
"Hidupnya," kataku sambil berbalik, lalu melenggang di koridor menuju ke kelas.

---

Short Story "Dekat Dihati" part 0

Jarak Hati
By Benedikta Sekar

                                 
“Sayang, ingat ya, jarak London sama Indonesia itu cuman 18 sentimeter.”

“Kalau jarak hati kita gimana?”

“Emang sejak kapan hati kita terpisah?”

Aku tertawa, pun kamu turut tertawa. Bersetatap di depan layar datar seolah-olah ruang dan waktu tak pernah ada; di sini pukul 12 tengah malam dan kamu di sana tengah menikmati makan siang.

“Sayang, kalau nanti aku pulang kamu oleh-oleh apa?” Tanyamu lagu sembari menyesap Americano di sampingmu.

Aku merapatkan selimut. “Aku gak mau oleh-oleh.”

“Terus maunya apa?”

“Maunya kamu jangan pergi lagi.”

Seketika itu juga raut wajahmu mengkeruh. Well, tak sepantasnya aku mengungkit perkara ini. Tapi hati yang meradang karena rindu tak mungkin bisa kusangkali.

“Sayang, aku gak bisa…”

“Kenapa?”

Kamu menggigit bibir. “Aku… punya mimpi.”

Lagi. Ini semua tentangmu dan mimpimu untuk menerbitkan kata-kata di negeri orang.

“Di sini aja apa gak bisa?”

“Gak bisa, sayang, beda…” lirih kamu berucap, semakin hati ini teriris.

“Ya udah kalau itu mau kamu. Aku mau putus…”

“APA?!” kamu menjerit nyaring, orang-orang di belakangmu menoleh serempak ke arahmu. Wajahmu langsung panik. “SAYANG! Gak bisa gitu dong! Gak bisa! Aku gak mau putus, aku gak mau! Tolong dong ngertiin aku! Tolong dong pahami aku! Kamu tahu kan dari dulu…”

“SSSSSTTT! STTT! Chelsea! Tenang duluuu…. Orang belum selesai ngomong juga.”

“Eh?”

Aku terkekeh, lalu mengeluarkan sesuatu dari baki punggung. Passport.

“Aku mau putusin kalau aku yang bakal pergi nemuin kamu.”

“Ap-apa?”

“Aku dapat beasiswa S2 di London, minggu depan aku udah take off.”

Kamu terdiam, aku nyengir kuda. Kamu mulai menangis, dan aku tertawa bahagia.

Yah, kamu bener, sayang. Jarak London dan Indonesia hanya 18 senti dan hati kita tak pernah berjarak.

--- 

881,20 km
By. Khavita Mutiara (judul asli 885,15 km)

"Pagi sayang."

"Pagi sayang. Bagaimana tidurmu? Mimpi indah?" Sapa Bagas.

"Mm, sangat indah. Ada kamu di dalam sana."

"Aku tau, aku tau. Kau merindukanku, kan?" Tangannya mengusap ke samping kiri tubuhnya. Tempat perempuan itu.

"Baiklah, kamu benar. I miss you so much much much. Haha." Chelsea tersenyum. Bukan. Tertawa. Tawa renyah yang sangat disukai Bagas.

"No, no. I miss you so much much much much much." Keduanya larut dalam tawa. Tertawa bersama Chelsea, bagi Bagas sudah cukup. Membuatnya tertawa, bahkan mendengar tawanya saja sudah lebih dari cukup bagi Chelsea.

"Ga, sudah menyapa langit? Sudah menyapa matahari? Sudah menyapa Tuhan?"

"Belum. Aku nungguin kamu. Mari sama-sama." Keduanya lantas beranjak menuju jendela, membukanya dan menatap ke atas. Ya, begitulah cara mereka bersyukur atas kehidupan. Atas penghidupan. Dan, cara mereka menyatakan kalau mereka masih saling mencintai.

"Fa, bagaimana langitmu? Mendung? Cerah? Berkabut? Di sini mendung, ah mungkin hujan akan turun sebentar lagi. Kesukaanmu, kan? Halo? Chels? Halo?" Bagas menjauhkan ponsel yang menempel sedari tadi dari telinganya ketika sadar tak ada tanggapan. Tak lama, ponselnya berdering lagi. Dari orang yang sama. Chelsea.

"Halo, Gas? Maaf, sinyal disini tiba-tiba aja ngadat."

"Oh, ya Chels. Tak masalah. Hahaha." Bagas dan Chelsea kembali larut dalam tawa mereka. Menertawakan sinyal, keadaan, nasib mereka. Hubungannya dengan Chelsea mungkin terbatas sinyal, pulsa ataupun baterai yang lobet. Namun, tidak dengan cintanya. Cintanya tak memilik batas. Meski terpisah sejauh 881,20 km. Bandung-Palembang.

---

A Present

Bersamamu aku mengenal rindu. Justru karena kau jauh, hatimu terasa dekat..

“Nggak bisa Chels, aku ada kelas. Mau kuis.”

“Besok aja Chels ngurusnya, bareng aku.”

“Sorry Chels, aku nggak bisa.”

Oke, fix. Nikmati aja hidupmu Chels! Hari ini, harus ngurus semua urusan seminar. SENDIRIAN.

Sahabat? Punya tiga, tapi tiga-tiganya bahkan nggak bisa bantu aku mondar mandir ngurus pendaftaran seminar. Waktuku nggak banyak. Dosen pembimbing yang kuharap bisa membantuku nanti, hanya punya waktu minggu ini, karena minggu depan beliau ada urusan. Jadi, harus hari ini. Dan harus sendiri. Ah, kalau saja kamu ada di sini, Gas.

Aku melangkah cepat menuju ruang dosen. Satu tanda tangan lagi, dan aku harus menemui dosen penguji untuk memastikan jadwal. Setidaknya, aku bisa lebih langsing hari ini. Beginilah kalau tidak bisa naik motor. Padahal, dosen penguji juga mengajar di fakultas lain. Dan jalan kaki kesana sama dengan olahraga.

Langit mendung menemani langkahku menyebrangi gedung demi gedung. Butuh sedikit lagi untuk mencapai fakultas farmasi. Harap-harap cemas, semoga dosen yang kucari masih ada di sana. Setidaknya, usaha tidak harus terbuang sia-sia.

Beberapa langkah lagi, aku akan tiba di ujung gedung dan bersiap menyebrang ke fakultas farmasi. Tuhan, bantu aku!

Titik-titik hujan mulai terdengar. Hatiku sekali lagi berbisik lirih. Jangan hujan! Aku tak mau berjumpa dosen dengan tubuh basah kuyup. Sungguh, aku tak punya waktu. Dan sekali lagi, aku menyesali kebodohanku.

“Jangan lupa bawa payung Chels, musim hujan.”

Begitu pesan yang kuterima dari Bagas tadi pagi. Pesan yang begitu penting. Sayangnya, aku mengabaikannya. Kalau saja kamu ada di sini, Gas. Kamu pasti sudah seperti polisi patroli yang akan memeriksa barang bawaanku.

“Jangan lupa hp, payung dan laptop.”

Ah, manusia pelupa macam aku memang merepotkan. Begitulah Tuhan menggariskan pertemuanku dengan Bagas yang teliti, rapi dan sabar.

Lamunanku tentang Bagas tiba-tiba membuyar setelah mendengar rintik yang mulai berubah menjadi suara keras yang tak terbendung. seolah air dari langit tertumpah tanpa terkendali. Ya Tuhan, aku harus segera kesana. Aku tak yakin hujan akan segera reda, dan aku lebih tak yakin dosen yang kucari masih disana setengah atau satu jam dari sekarang.

Aku memejamkan mata sejenak, mendengar setiap nyanyian hujan yang membentur jalan dan atap bangunan. Nafasku kutarik perlahan… Apapun yang terjadi, ini kesempatanku.

Kuayunkan kakiku perlahan, dan kusiapkan tubuhku untuk terguyur derasnya hujan. Dan haappp!!! Aku tersentak. Apa yang terjadi? Kenapa tubuhku tidak terasa dingin?

“Sudah dibilang, jangan lupa bawa payung.”

Aku menoleh ke arah sumber suara.

“Bagas?!!? Sejak kapan…?”

Ia tersenyum sambil menggenggam payung lebar yang diarahkan menutupi tubuhku, sementara tubuhnya hanya tertutup sebagian.

“Pesawatku mendarat tepat waktu, setepat payung ini. Masih tetap mau mematung disini?” Ia tersenyum. Senyum yang hanya mampu kubalas dengan senyum terbaik yang kupunya. Tuhan, sungguh, terima kasih… :)

---

Bayangmu di Sana
  by Anisa Ae

Awan putih seolah bisa kugapai, ah, seandainya tangan ini bisa dikeluarkan lewat jecdela, pasti jemariku bisa menggapainya. Sayangnya pramugari tak akan membolehkanku menyentuh awan. Ah, perjalanan ke Palembang yang pertama, pasti akan terasa menyenangkan jika dia juga berada di sini, di sampingku.

Tapi tidak, dia di sana menungguku. Menunggu dengan cinta yang telah dijanjikannya untukku. Bagas, tunggu aku di sana, aku akan datang untuk memenui panggilanmu. Ah, panggilan keluargamu tepatnya. Mereka ingin mengenalku lebih dekat, tapi karena tugasmu yang tak bisa ditinggal, aku harus sendirian datang ke sana, menemuimu.

"Mbak, ada perlu apa ke Palembang?" tanya seorang wanita hamil yang duduk di sebelahku.

"Menemui kekasihku, ehm, tepatnya calon suamiku," jawabku tersipu.

"Ah, indahnya masa remaja, ya? Heheh."

"Ya, begitulah. Mbak mau apa ke sana?" tanyaku balik.

"Menemui suamiku, dia menikah lagi di sana," jawabnya pelan dengan mata menerawang.

Tenggorokanku tercekat. Wanita ini jauh-jauh ke Palembang dengan perut besar untuk menemui suaminya? Padahal sudah jelas bahwa suaminya menikah lagi di seberang pulau. Ah, cinta seperti apa yang dia jalani dan pertahankan?

"Seperti inilah cinta, tapi Mbak pasti tak salah memilih suami. Semoga." katanya sambil tersenyum.

Duduk sediri diruang tunggu lagi, karena pesawat ayng akan kunaiki gagal take off karena delay bermasalah dengan mesin. Lagu "RAN" mengalun dengan lembut dari handphoneku. Ada nama Bagas di layarnya.

"Pagi, sudah memegang awan?" tanya suara di seberang.

"Hemh, kamu  bisa aja!" jawabku pelan sambil memandang awan.

"Kau tahu? Aku di sini menunggumu di bandara, melihat awan yang sama denganmu."

"Tunggulah! Aku akan datang. Mengenalkan diri pada orangtuamu," bisikku pelan sambil membayangkan wajah Bagas di sana, di antara awan-awan itu.

---

NB: Makna ceritanya bagus, tp versi aslinya rada ganjel. Jadi aku coba untuk ngerubah sedikit. Masih rada ganjel ya tp. :3