Tuesday 28 October 2014

Alternating Current versi IC



Chelsea berpikir kalau Bagas enggak tahu, kalau Chelsea tahu. Chelsea tahu jam berapa Bagas biasanya keluar rumahnya dan berangkat ke sekolah, naik sepeda putih kesayangan Bagas, yaitu jam enam lewat dua puluh menit. Dan Chelsea akan membuka jendela kamarnya dan melihat Bagas dari jendelanya. Chelsea kemudian akan keluar, menghabiskan sarapannya, dan baru berangkat ke sekolah sekitar sepuluh menit setelah Bagas berangkat.

Bagas, cowok tinggi dengan kulit putih, rambut hitam lurus yang ditata mohawk, mata yang tajam, dan  senyum manis kesukaan Chelsea. Oh dan mungkin kesukaan cewek-cewek lain juga. Bukan hanya Chelsea yang sadar betapa manisnya senyum Bagas. Suara Bagas yang ngebass, matanya yang akan menyipit saat tertawa, dan pipi tembemnya yang menambah daya tarik Bagas.

Chelsea berpikir kalau Bagas enggak tahu, kalau Chelsea bahkan tahu berapa jumlah tas yang Bagas punya. Tas biru tua yang dipakainya hari ini, tas hitam selempang yang biasanya dia pakai hari Jumat, tas abu-abu yang sudah dia coret-coret dan biasa dipakai saat hari santai, tas hitam kecil yang dia pakai saat main, dan tas merah-biru Barcelona-klub bola kesukaan Bagas-yang hanya dia pakai saat Barcelona menang, yang artinya lumayan sering dipakai, karena Barcelona masih lebih banyak menangnya.

Chelsea berjalan santai menuju sekolah, sambil menikmati udara segar pagi memenuhi paru-parunya. Rumah dia dan Bagas memang dekat, hanya beberapa meter dari sekolah. Sebenarnya ada alasan kenapa Chelsea selalu berangkat setelah Bagas berangkat.

"Chelsea!" panggil suara yang familiar dari belakangnya. Chelsea menoleh, mendapati Kak Shilla, kakak Bagas, berdiri enggak jauh di belakang Chelsea dengan seragam sekolah lain. Sekolah Kak Shilla itu sekolah swasta yang harus ditempuh dengan angkot, dan sekolah Chelsea dan Bagas itu sekolah negeri yang dekat rumah.

Chelsea berhenti dan menunggu Kak Shilla mencapai dirinya. Kak Shilla menenteng sebuah buku gambar A3 di tangannya.

"Lagi, Kak?" Tanya Chelsea sambil tersenyum. Kak Shilla membalas senyum Chelsea dengan senyum yang meminta maklum.

Kak Shilla lalu memberikan buku gambar di tangannya pada Chelsea, "Kebiasaan memang dia. Buku gambar udah ditenteng-tenteng ke bawah, ketinggalan di meja makan. Tolong, ya, Chels."

Chelsea menerima buku gambar Bagas, dan mengucapkan sampai jumpa pada Kak Shilla yang mengambil jalan lain ke sekolahnya. Chelsea melanjutkan jalannya ke sekolah. Sambil jalan, dia membuka buku gambar Bagas. Kelas X-D ada pelajaran menggambar hari ini kayaknya, pikir Chelsea.

Kalau dilihat dari depan, buku gambar Bagas penuh dengan tugas gambar perspektif dari guru. Tapi kalau dibuka dari belakang, akan terlihat coretan Bagas yang penuh seni, dengan warna-warni yang beragam. Chelsea tersenyum melihatnya. Bagas suka seni menggambar. Bahkan coretan Bagas enggak bisa dibilang coretan, karena hasilnya bagus banget. Chelsea baru sempet lihat sampai halaman kedua dari belakang, saat dia sudah sampai depan gerbang sekolah.

Di sekolah, ketika Chelsea baru sampai lapangan, Chelsea bertemu teman sebangkunya, Chindai. Keduanya jalan bareng menuju lantai tiga, tempat ruang kelas sepuluh berjejer.

"Gue ke kelas D bentar, Ndai," kata Chelsea, dan Chindai mengikuti di belakangnya.

Sampai di depan pintu kelas D, Chelsea memanggil Bagas.

"Lo ada urusan sama cowok gue?" tanya Chindai. Chelsea tersenyum seadanya.
Saat Bagas menghampiri keduanya, dia memandang Chelsea dengan tatapan penuh terima kasih. "Chelsea, lo emang keren banget, deh. Bisa pas terus, yah, kalau gue ketinggalan barang pas elo berangkat," kata Bagas, dan ia lalu menyapa Chindai dengan kata-kata manis. Chelsea pamit duluan dan meninggalkan keduanya melakukan obrolan pagi penuh cinta.

Chelsea dan Bagas sudah berteman dari SD. Mereka selalu satu sekolah, dan beberapa kali sekelas. Dekatnya mereka sudah enggak ada yang bisa ngalahin. Orangtua mereka kadang suka berfantasi buat menjodohkan mereka, tapi keduanya selalu menanggapi itu sebagai candaan.

Chelsea suka Bagas. Dari SD malahan. Hanya Bagas yang bisa Chelsea suka. Tapi Chelsea pikir, jadi teman dari kecil sama sekali enggak membuat Chelsea jadi spesial buat Bagas. Enggak peduli seberapa terobsesinya Chelsea pada Bagas. Terbukti, selama mereka berteman, bukan sekali ini Bagas jadian. Dan biasanya, Bagas memang jadian dengan teman Chelsea. Polanya adalah, Chelsea punya teman baru, kemudian saat main ke rumah, temannya itu akan ketemu Bagas, temannya akan tertarik, dan Bagas juga. Sisanya, mengalir sampai jadian. Begitu terus dengan pola yang sama. Lima kali sudah kejadian seperti itu.

Jadi bagi Chelsea, melihat teman sebangkunya jadian sama cowok pujaannya, bukanlah hal baru.

Padahal baginya, Chindai enggak tahu apa pun tentang Bagas. Chelsea tahu semuanya. Chelsea yakin, enggak ada yang perhatian ke Bagas, lebih dari perhatiannya selama bertahun-tahun.

Kalau ditanya, apa dia ingin Bagas tahu perasaannya, mungkin jawabannya iya. Tapi hal yang penting seperti ini, biasanya yang paling susah dikatakan. Permasalahannya, selama ini fakta bahwa Chelsea suka sama Bagas hanya jadi urusan Chelsea dan dirinya sendiri. Chelsea enggak cerita ke siapa pun. Jadi memang enggak ada pilihan lain selain keluar dari mulut Chelsea sendiri.

Cewek nembak cowok memang hal yang biasa sekarang. Bukannya Chelsea enggak berani, tapi hanya Bagas yang beda. Dia pernah pura-pura nembak teman sekelasnya, hanya buat lucu-lucuan. Dia enggak masalah. Tapi ngomong suka ke Bagas sama sekali bukan sesuatu yang bisa djadiin lucu-lucuan. Buat Chelsea, perasaannya buat Bagas terlalu berharga, sampai susah rasanya kalau harus dibagi bahkan ke Bagas sendiri.

Mungkin ini susahnya jadi cewek dengan pola pikir kolot, pikir Chelsea. Enggak peduli sebesar apa perasaan dia ke Bagas, dia enggak bisa melakukan apa pun selain memberikan sinyal semampunya. Semua keputusan akhir ada di tangan Bagas. Chelsea hanya bisa nunggu Bagas akhirnya sadar, that the girl next his door, has already fallen over the heels for him, from the very first day.
***

Bagas melambaikan tangan ke Chindai, yang berjalan menuju kelas X-E saat bel tanda masuk akhirnya berbunyi. Bagas membuka buku gambar yang tadi dibawakan Chelsea. Di tengah halamannya, coretan tentang apa yang dia rasakan terlukis dengan indah. Bagas menghela napas. Jantungnya mulai berdegup kencang, dari saat dia akhirnya ingat dia meninggalkan buku gambar di meja makan, sampai sekarang.

Bagas lalu menangkap sosok Chelsea keluar dari kelas sambil membawa sampah di tangannya. "Chelsea!" panggil Bagas. Chelsea menoleh, lalu mengangakat alisnya. Bagas menggerakkan tangannya, memanggil Chelsea untuk mendekat. Chelsea pun mendekat.

"Makasih, ya, udah nganterin buku gue," kata Bagas bingung mau mulai dari mana.

"Lo kenapa? Tumben amat, gue nganter buku gambar aja ngomong makasihnya sampe dobell," kata Chelsea secuek biasanya.

"Lo liat isinya?"

Chelsea lalu diam. Seolah berpikir sejenak.

"Iya."

Matilah gue. "Gambar lo kerenan yang di belakang daripada yang depan," kata Chelsea sambil tersenyum. Bagas mengerutkan kening. "Lo liat sampe mana?"

"Cuma dua halaman dari depan sama dua halaman dari belakang. Kenapa emang?"

Bagas merasa seolah darahnya mengalir lancar kembali. Sekarang gantian Chelsea yang menautkan kedua alisnya. "Kenapa emang?"

Bagas tersenyum jahil. "Rahasia."

"Halah, palingan tulisan nama cewek lo," kata Chelsea.

Bagas tersenyum makin lebar. "Tau aja lo," katanya, lalu Chelsea tertawa kecil dan berbalik.

Bagas kembali membuka halaman tengah buku gambarnya. Ya. Dia memang menulis dengan ornamen indah, nama cewek yang dia sayangi. Bukan suka lagi. Dia sayang cewek yang namanya tercantum di sini. Tapi bukan nama Chindai yang tercantum.

Bagas memandang Chelsea lagi, yang akhirnya menghilang di balik pintu kelasnya.
***

Bagas berpikir kalau Chelsea enggak tahu, kalau Bagas tahu. Bagas tahu jam berapa Chelsea biasanya keluar rumah dan berangkat ke sekolah, jalan kaki dengan santai sambil menghirup udara segar. Jam setengah tujuh pas. Dia sampai nyuruh Kak Shilla untuk memperhatikan jam berapa Chelsea berangkat. Lalu Bagas akan berdiri di balkon lantai tiga sekolah, melihat Chelsea berjalan menyeberangi lapangan sekolah. Dan saat Chelsea menghilang dari penglihatan, dia akan masuk lagi ke kelas, berpura-pura enggak melihat Chelsea datang.

Chelsea, cewek dengan tinggi standar cewek, kulit putih, rambut lurus yang ikal dibawah, mata yang tajam dan indah, serta senyum kesukaan Bagas. Oh dan mungkin kesukaan cowok-cowok lain juga yang diem-diem ngefans sama Chelsea. Bukan hanya Bagas yang sadar betapa manisnya senyum Chelsea. Suara Chelsea yang khas, matanya yang tajam saat menatap orang, dan kebiasaannya memandang lurus ke mata saat bicara sama siapa pun. Bikin siapa pun yang ngomong sama dia, sering akhirnya salah tingkah sendiri.

Bagas berpikir kalau Chelsea enggak tahu, kalau Bagas tahu berapa jumlah sweater yang Chelsea punya. Sweater biru rajut yang dipakainya hari ini, sweater merah yang dia pakai setiap Kamis, sweater hitam tebal yang dia pakai setiap udara dingin karena hujan, sweater putih yang dia pakai setiap Senin, dan sweater ChelseaFC-klub bola kesukaan Chelsea-yang dia pesan khusus ke abang sablon deket sekolah, dan dipakai setiap Chelsea menang, yang akhir-akhir ini jarang dipakai karena Chelsea lagi paceklik kemenangan.

Bagas masuk dengan santai ke kelas, lalu duduk di kursinya. Letak kursinya ada di pojok dekat jendela yang menghadap koridor, di tiga baris dari depan. Bagas suka duduk di samping jendela. Karena setiap dia bosan dengan pelajaran yang dia enggak mengerti, dia bisa melihat keluar, untuk menyegarkan diri. Sebenernya ada alasan lain kenapa Bagas selalu keukeuh mau duduk di deket jendela.

Tepat beberapa saat kemudian, Chelsea muncul lagi di depan kelas Bagas. Jendela ruang kelas sekolahnya dilapisi lapisan ray-ban, jadi dari dalam bisa lihat keluar, tapi tidak sebaliknya. Dan tepat di depan kelasnya, ada meja kecil tempat murid-murid sering mengisi tinta spidol papan tulis. Chelsea adalah sekretaris kelasnya, dan setiap hari, Chelsea yang bertugas bolak-balik mengisi spidol.

Bagas memangku wajahnya yang menatap Chelsea di luar kelas. Chelsea berdiri di depan meja sambil membawa empat buah spidol di tangannya. Dia mengisi spidol dengan telaten, saking seringnya dia mengisi.

"Heh, bro," panggil suara yang familiar dengan tepukan di pundak Bagas. Bagas menoleh dan mendapati Karel duduk di sampingnya. "Eh, itu barusan Chelsea, yah?" tanya Karel, Bagas menoleh, dan ternyata Chelsea sudah jalan balik ke kelasnya. Bagas mengangguk mengiyakan pertanyaan Karel.

"Yah, kurang cepet gue," gumam Karel. Dia kemudian menyerahkan sebuah buku kepada Bagas. "Gue mau minta tolong Gas. Nitip novelnya Chelsea yang kemaren gue pinjem. Gue mau dispen entar jam ketiga. Tolong, yah, bro," katanya lalu pergi dari bangku sebelah Bagas.

 Bagas memandangi cover novel di tangannya. Agatha Christie - Murder in Mesopotamia. Bagas menghela napas, selera bacaan Chelsea memang menyeramkan.

Bagas membaca sinopsis di belakangnya. Sama menyeramkannya dengan judulnya, menurut Bagas. Chelsea memang suka banget dengan sesuatu yang berbau misteri. Waktu SMP, pas ditanya siapa tokoh idola favoritnya, saat orang-orang menjawab Edward Cullen atau Harry Potter, Chelsea malah menyebut nama tokoh detektif yang sependengaran Bagas namanya Hercules...atau apalah. Setelah meneliti buku di tangannya dengan baik, dia ingat kalau nama yang disebut Chelsea itu Hercule Poirot. Novel di tangannya itu sepertinya novel dengan tokoh kesukaan Chelsea.

Akhir-akhir ini, teman sekelas Bagas, Karel, jadi dekat sama Chelsea. Awalnya, keduanya dekat karena Bagas. Dan ternyata mereka punya selera yang sama soal bacaan, dan jadi nyambung banget satu sama lain. Karel bahkan sempat mengaku kalau dia ngerasa Chelsea cewek yang manis. Karel pernah cerita ke Bagas, gimana dia suka banget dengan cara Chelsea memandang segala hal. Dia suka sudut pandang hidup Chelsea yang aneh dan lain  daripada yang lain, dan kecenderungan Chelsea untuk tetap jadi dirinya sendiri, dibandingkan mengikuti mode yang ada.

Bagas kesal banget sama omongan Karel waktu itu.

Bagas sayang sama Chelsea. Dari SD malahan. Hanya Chelsea yang bisa Bagas sayang. Tapi Bagas sama sekali enggak bisa membuat Chelsea luluh, bahkan dengan segala perhatian kecil Bagas. Enggak peduli Bagas jadi sebaik apa, Chelsea akan menganggapnya sebagai sesuatu yang wajar, karena mereka teman sejak kecil. Chelsea enggak peduli seberapa terobsesinya Bagas sama Chelsea. Terbukti, selama mereka berteman, berkali-kali Bagas jadian dengan cewek, untuk membuat setidaknya Chelsea cemburu sedikit saja, tapi Chelsea sekeras baja. Dia sama sekali enggak menunjukkan tanda apa pun soal kecemburuan. Dan justru Bagas yang bakalan cemburu, melihat Chelsea dekat dengan teman dekatnya. Ini bukan sekali.

Padahal baginya, Karel enggak tahu apa-apa tentang Chelsea. Bagas tahu semuanya. Bagas yakin, enggak ada yang perhatian ke Chelsea, lebih dari perhatiannya selama bertahun-tahun.

Bagas mau nembak Chelsea. Kalau dihitung-hitung, ada kali dua belas kali dia merencanakan mau nembak Chelsea. Tapi selalu gagal. Entah kenapa dia akan jadi sangat pengecut untuk ngomong, dia akan terlihat sangat menyedihkan dan penakut. Hanya ke Chelsea sikapnya bisa jadi sejauh ini. Dia merasa, Chelsea enggak pernah menaruh perhatian sedikit pun ke Bagas. Enggak peduli dia sudah memacari hampir semua teman Chelsea untuk membuat setidaknya Chelsea menengok ke Bagas dengan tatapan yang Bagas harapkan. Chelsea tetap secuek biasanya.

Dia pikir, perasaannya berjalan searah, bahkan sebelum menyatakan.

Chelsea akan memandang Bagas dengan tatapan polosnya, memperlakukan Bagas dengan perlakuan layaknya teman sepermainan. Enggak peduli seberapa besar rasa yang sudah Bagas pendam sejak lama ini. Padahal kalau dengan cewek selain Chelsea, bahkan kata sayang pun bisa dengan mudah keluar.

Tapi Chelsea berbeda.

Hal paling penting selalu jadi yang paling sulit dikatakan.

Chelsea sama sekali enggak tahu, that the boy next her door, has already fallen over the heels for her, from the very first day.
***

Shilla duduk di depan teras rumah Chelsea dan kakaknya, Ify. Shilla dan Ify seumuran. Keduanya kelas tiga sekarang, meskipun beda sekolah. Tapi mereka sahabatan sejauh ini. Shilla lagi sibuk membersihkan kukunya, dan Ify duduk di sampingnya sambil membaca majalah.

            "Gue gregetan, deh, liat adek-adek kita," gumam Shilla. "Si Bagas tuh beneran suka sama adek lo, tapi terlalu cupu buat ngaku."

            "Yah elo enggak tau aja," kata Ify, "Adek gue itu tergila-gila sama adek lo. Adek lo aja tuh bloon, bukannya nembak adek gue, malah nembak temennya."

            "Cupu emang dia. Dia bilang, Chelsea tuh beda Kak. Aku tuh susah jujur sama dia. Kakak enggak ngerasain sih jadi aku," kata Shilla sambil pura-pura menirukan suara Bagas. "Orang satu komplek tau kali mereka saling suka. Yang enggak tau mereka berdua doang. Aneh. Gitu yah orang kalo lagi jatuh cinta. Spekulasinya jelek terus."

            Ify lalu mengesampingkan majalahnya, dan duduk menghadap Shilla. "Shil, kita jodohin mereka aja gimana?"
***

(Oleh: Diah Deir Zahrani)
*alternating current: aliran listrik yang berganti arah beberapa kali selama satu detik dengan interval yang teratur.

 NB: Baca story ini dari kawankumagz karya Diah Deir Zahrani. Pure cerita dari beliau, aku hanya ganti cast'nya aja yah. Gimana? Gak mainstream kan ceritanya? Greget ih...

No comments:

Post a Comment