Wednesday 26 November 2014

Falling in Love at a Coffee Shop #KFTS (Oneshoot)


Hi guys...
This is the first fantasy genre that i made. Don't disappointed if it's not like your expected. :D
Masih aneh mungkin ya, ya baru belajar buat genre baru kayak gini juga. Padahal kalau drama series, genre paling gak ku suka adalah genre fantasy yang gak ada dasarnya. Lebih mending genre horror kalau aku.

Tapi bila genre fantasy'nya ada dasar'nya, setidaknya ada mitos'nya, suka juga sih. Kaya' tentang alien, karna ada yang percaya, ada yang tidak. Ya yang pasti kalau fantasy'nya masih masuk akal, suka-suka aja sih. Namun kebanyakan fantasy drama series saat ini, pada lebay. Jadi ya gitu, gak suka.

Udah lah, langsung aja, terlalu banyak omong nih aku. :D
Ini FF terinspirasi dari KFTS series juga lagu "Falling in Love at a Coffe Shop"nya Landon Pigg ya. Ahh, lagu itu romantis juga lama-lama setelah liat MV'nya. :D

Langsung aja,
Happy reading guys... ^^

****



Terjadi kehebohan kecil didepan sebuah gerai kopi ternama disebuah pusat perbelanjaan di pusat kota. Gerai kopi tersebut terletak dijajaran toko-toko yang yang terletak dipinggiran jalan yang merupakan kawasan bebas kendaraan. Dan kehebohan yang terjadi di depan gerai kopi tersebut disebabkan oleh seorang nenek yang entah kenapa tiba-tiba kehilangan keseimbangannya. Sehingga nenek tersebut akan jatuh. Terjadi sedikit kehebohan karena beberapa pejalan kaki yang melintas disitu, kaget dan berteriak melihat sang nenek jatuh tapi beruntungnya seorang gadis bermata sipit yang melintas didekatnya, berhasil memegang sang nenek hingga sang nenek tak jadi terjatuh. Kemudian sang gadis pun memapah sang nenek untuk duduk dikursi yang ada didepan gerai kopi tersebut. Dengan telaten sang gadis pun menemani sang nenek hingga kondisi sang nenek membaik. Setelah keadaan sang nenek membaik, sang gadis pun mengantar sang nenek hingga mendapatkan taksi.

Setelah berpisah dari sang nenek, gadis itu kembali ke gerai kopi tersebut. Ia kemudian memesan 3 cup kopi untuk ia bawa. Sambil menunggu kopinya disiapkan, sang gadis duduk didalam gerai didekat jendela kaca sambil memainkan samrtphone’nya. Tiba-tiba sang gadis terdiam sejenak. Ia melihat keluar kaca dan melihat seorang gadis kecil yang terlihat bingung sambil berjalan didepan gerai toko tersebut. Sang gadis kecil pun berhenti dan menghadap melihat sang gadis yang berada digerai kopi tersebut. Sang gadis pun tersenyum, namun sang gadis kecil malah seperti akan menangis. Merasa bersalah, sang gadis keluar menghampiri gadis kecil.

“Hey, kamu kenapa? Kamu bersama siapa disini?” tanya ramah sang gadis sambil berlutut didepan sang gadis kecil.

“Aku mencari mamaku kak, apa kakak melihatnya?” tanya sang gadis kecil dengan muka sedih.

“Jadi, apa kamu terpisah dari mama kamu?” tanya sang gadis lagi sambil membelai pipi sang gadis cilik.

“Aku gak tahu dimana mama, tadi aku kesini sama mama,” ujar sang gadis cilik akan menangis.

“Yaudah, nanti kakak bantu cari ya. Oh ya, nama kamu siapa? Aku Chelsea,” ujar sang gadis yang ternyata bernama Chelsea.

“Roma,” ujar sang gadis cilik menjawab dengan singkat.

“Roma, apa kamu lapar? Kakak beliin waffle dulu yuk,” ajak Chelsea sambil menggandeng tangan mungil Roma. Roma yang digandeng pun ikut saja.

Chelsea memesankan Roma sebuah waffle yang ada di gerai kopi tersebut. Roma yang lapar pun dengan lahap menghabiskan wafflenya sambil bercerita bahwa ia berpisah dari mamanya ketika mamanya sibuk memilih baju disebuah toko yang ramai. Kemudian ia tidak melihat mamanya lagi karena terlalu banyak orang disana. Dan Roma pun berjalan sendiri hingga keluar dari toko tersebut. Setelah Roma selesai memakan waffle’nya, Chelsea pun menemani Roma mencari mamanya.

Chelsea mengantar Roma kesebuah mall yang tentu saja menjual baju. Dan dari cerita Roma tadi, walau Roma tidak mengatakan secara detail bahwa ia berpisah dari sang mama di mall, namun Chelsea menebak Roma berpisah dengan mamanya disebuah mall yang sedang mengadakan obral pakaian. Seperti yang Roma ceritakan, mamanya sibuk memilih baju ditengah banyak orang. Bila itu dibahasakan oleh orang dewasa maka mama Roma sedang berebut baju obral dengan para-ibu-ibu lain yang berdesakan disitu. Maka, Chelsea pun mengantarkan Roma kepusat informasi sebuah mall yang sedang dilangsungkan obral pakaian. Benar saja, disana mama Roma telah menantinya dengan cemas. Mama Roma pun berterimakasih pada Chelsea karena telah mengantarkan Roma dengan selamat.

“Ma, tadi Roma dibeliin waffle sama kak Chelsea,” cerita Roma yang berusia 5tahun ini.

“Benarkah? Terimakasih ya, saya berjanji gak akan lengah ninggalin Roma lagi,” janji mama Roma pada Chelsea yang tadi sudah menceritakan bagaimana Roma bisa bertemu dengannya.

*Bagas' POV

Sejak hari itu, aku sudah mengamati gadis ini. Sejak pertama aku melihatnya menolong nenek yang hampir terjatuh dan menemaninya sampai sang nenenk membaik. Yang membuatku tertarik adalah ketika ia sudah pergi bersama sang nenek, namun ia kembali kedalam gerai kopi ini. Jadi, sebelum ia menolong sang nenek, ia berniat akan masuk gerai ini untuk memesan kopi. Namun ia mengurungkan niatnya untuk memesan kopi dan lebih mengutamakan menolong sang nenek. Sejak itu aku kagum padanya.

Tidak sampai disitu, tak berapa lama ketika ia duduk untuk menunggu pesanan kopinya, ia kembali membuatku kagum. Ia mengajak seorang gadis kecil yang terlihat bingung dan tak dikenalnya tersebut untuk makan waffle di gerai kopi ini. Hal itu terlihat aneh untukku. Menolong orang yang tak kita kenal.

Ketika sang gadis bersama gadis kecil tersebut hendak pergi dari kedai kopi tersebut, aku yang waktu itu sudah berada didalam gerai kopi sejak awal bersama Ajil, juga hendak keluar. Rasa penasaranku pada gadis ini pun membuncah muncul. Aku pun berpisah dengan Ajil, lalu secara diam-diam mengikuti gadis ini.

Gadis ini benar-benar mebuatku kagum dengan sikapnya. Dikota yang serba modern dan masyarakatnya cenderung individualis seperti kebanyakan, masih ada gadis baik sepertinya. Gadis itu mengantarkan sang gadis kecil kepada ibunya. Dan dari percakapan mereka, aku tahu nama gadis ini. Chelsea, terdengar sangat pas untuknya.

Ya, sejak hari itu, aku rajin mengunjungi kedai kopi tersebut sekedar untuk tahu lebih jauh tentang gadis ini. Setiap hari Senin hingga Jumat, pada pukul 5pm gadis ini selalu berada di gerai kopi ini. Ia akan memesan 3 cup kopi dengan rasa yang berbeda-beda, namun satu rasa yang akan selalu ia pesan adalah rasa mocca dengan toping extra cream. Sembari menunggu temannnya yang bekerja digedung kantor blok sebelah, ia akan menghabiskan kopi mocca extra creamnya. Lalu temannya akan melambaikan tangan dari luar gerai, dan Chelsea akan segera menghampirinya dengan sisa 2 cup kopi yang ia bawa.

Chelsea bersama temannya yang kuketahui setelah mencari tahu dari kantornya, ia bernama Tissa. Chelsea dan Tissa tinggal bersama dengan menyewa sebuah apartemen dekat kawasan perbelanjaan ini. Ketika mereka akan masuk apartemennya, mereka akan menyisihkan 1 cup kopi yang ia beli tadi, untuk ia berikan kepada security yang berada diapartemenya.

Mereka selalu berangkat dan pulang kantor bersama karena memang kantor mereka juga berdekatan. Hanya terpisah oleh blok kawasan pusat perbelanjaan tersebut. Chelsea bekerja disebuah kantor majalah fashion ternama sebagai editor, dan Tissa sahabatnya bekerja disebuah kantor pengacara sebagai sekertaris. Mereka akan keluar dari apartemen tepat pukul 8.15am, dan Chelsea akan menunggu Tissa saat pulang kantor tepat pukul 5pm di gerai kopi ini. Chelsea akan berada digerai kopi ini kurang lebih selama 15menit.
Setiap Sabtu dan Minggu pagi pukul 6am, Chelsea sendirian tanpa Tissa akan joging disekitar apartemennya. Setelah olahraga pada Sabtu pagi, tepat pukul 7am ia akan sampai di minimarket dekat apartemennya. 
Disana ia akan membeli sayuran organik.

Jangan tanya aku tahu semua itu darimana. Karena sudah 2bulan sejak pertama aku melihatnya, hampir selama itu aku mencari tahu tentangnya. Tidak itu saja, setiap minggu saat berolahraga dikawasan car free day, dia akan selalu bergabung dengan sukarelawan yang mengadakan acara amal yang rutin setiap minggu diadakan dikawasan itu. Dan hal itu semakin membuatku kagum, yang kemudian berubah menjadi suka, mungkin.

#Day 1

Hari ini aku ingin menampakan diri kepada Chelsea. Aku tidak ingin hanya menjadi secret admire’nya. Tapi tiba-tiba keberanian itu hilang ketika aku melihatnya masuk kedalam gerai kopi ini.

“Seperti biasa ya,” ujar Chelsea kepada kasir sambil berjalan menuju kursi favoritnya, dekat jendela.

Aku hanya berani curi pandang kepadanya. Aku ingin menghampirinya, namun pikiran dan hatiku sedang tidak sinkron. Jam sudah menunjukkan pukul 5.14pm yang berarti 1 menit lagi ia akan meninggalkan gerai ini karena Tissa akan menghampirinya.

Satu hal yang belum kalian tahu, aku mempunyai sebuah jam waktu yang bisa menghentikan waktu. Jam waktu berbentuk kecil seperti liontin, aku selalu menyimpannya disakuku. Aku pun mengambil jam itu, dan menggunakannya untuk menghentikan waktu sejenak.

Waktu mulai berhenti. Segala aktifitas didunia ini sudah berhenti selain aktifitasku karena aku yang mengaktifkan jam waktu ini. Semua aktifitas umat manusia sudah terhenti, mereka semua mematung, tidak hanya manusia yang mematung, tetapi juga hewan dan kendaraan sudah mematung sejak aku mengaktifkan jam waktu ini untuk berhenti, dan mereka baru akan tersadar dan melakukan aktifitasnya lagi tanpa sadar waktu telah terhenti, ketika aku mengaktifkan jam waktu ini lagi.

Ketika semua sudah terhenti, semua sudah mematung, Chelsea duduk dikursinya sambil melihat keluar. Bibirnya sedikit belepotan dengan extra cream’nya. Dengan lembut akupun menghapuskan cream yang ada dibibirnya. Lalu aku pun mengambil bunga mawar pajangan yang berada dimeja kosong belakangnya. Aku letakkan mawar itu tepat dimeja hadapannya.  Dan ternyata hari ini ia membawa puzzle yang sedang ia susun. Mungkin ia memainkannya untuk mengusir rasa bosannya menunggu Tissa. Puzzle itu masih berantakan, aku pun membantunya untuk menyusunnya hingga sudah jadi.  Beberapa saat akupun duduk dihadapannya sambil memandangi wajahnya. Mungkin sudah ada 10menit aku menghentikan waktu, dan bila terlalu lama itupun tak baik karena luar angkasa tak terpengaruh dengan penghentian waktu ini. Yang berpengaruh hanya yang ada didalam bumi saja. Maka aku buru-buru kembali ketempat dudukku dan kembali mengaktifkan waktu. Aku tepat berada ditempat duduk pojok belakangnya. Sehingga kemungkinan dia menyadari keberadaanku pun semakin sedikit karena posisiku yang dibelakangnya.

Setelah waktu kukembalikan menjadi normal, Chelsea terlihat bingung. Ada setangkai mawar tepat dihadapannya. Padahal sebelum waktu kuhentikan tadi, mawar itu tak ada. Dan puzzle’nya yang sudah menjadi rapi. Dia pun celingukan melihat kiri-kanannya, namun tak mendapat jawaban karena yang lain bertingkah biasa saja. Tak berapa lama, Tissa pun sudah menunggunya diluar gerai kopi.

Ini hari pertama aku berani berada didekatnya walau dengan menghentikan waktu. Dan ternyata keberanianku belum muncul sempurna. Namun aku tidak akan menyerah begitu saja.

#Day 2

Tepat pukul 5pm Chelsea seperti biasa masuk gerai kopi ini dan memesan 3 cup kopinya. Sambil menunggu pesanannya, ia duduk didekat jendela seperti biasa. Seperti kemarin, pukul 5.14pm, akupun menghentikan waktu kembali.

Dari kursi pojok belakangnya, aku perlahan menghampirinya. Seperti biasanya, bibirnya masih belepotan dengan cream kopinya. Aku pun mengusapnya untuk menghapusnya. Dan aku letakkan se- bouquet mawar merah yang kali ini sudah aku siapkan. Hari ini ia tak membawa puzzle’nya, namun terdapat kertas note kecil yang setiap lembarnya sudah ada tulisan kata acak. Ada beberapa kata seperti “wander” “i’ve” “fallen for” “maybe” “you” dan beberapa lagi. Aku pun berpikir sejenak, kemudian ku susun kertas kecil itu dihadapannya menjadi sebuah kata, “maybe i’ve fallen for you”. Aku pun sejenak memandangi wajahnya dari dekat. Setelah 15menit waktu ku hentikan, aku pun mengembalikannya menjadi normal kembali setelah aku kembali ketempat dudukku.

Chelsea pun sama seperti kemarin, ia kebingungan dengan adanya mawar dihadapannya. Ditambah lagi dengan note yang telah disusun rapi bertuliskan; “maybe i’ve fallen for you”. Dia celingukan melihat kiri-kanannya, dan aku yakin dia belum menemukan aku sebagai dalangnya.

#Day 3

Aku yang bekerja sebagai dosen, hari ini mendapat kelas dadakan karena menggantikan mengajar kelas seniorku yang sedang ada seminar diluar. Akupun hanya mengajar sebentar kelasnya hingga membuatku terlambat ke gerai kopi sore ini. Aku baru keluar dari kelas pukul 5pm tepat.

“Pasti Chelsea sudah berada disana nih,” batinku cemas karena tak mungkin sampai gerai tersebut dalam 10 menit.

Kampus tempatku mengajar tidak terlalu jauh dari kawasan perbelanjaan tersebut, namun untuk berjalan kaki dalam waktu 10menit menuju gerai kopi tersebut tidak mungkin. Mau naik mobil atau motor pun tak mungkin, karena gerai kopi tersebut berada dikawasan bebas kendaraan. Aku pun melihat sekitar, aku melihat seorang mahasiswaku sedang menuntun sepedanya. Tanpa berpikir panjang, akupun meminjam sepedanya. Aku dengan sepeda berkecepatan penuh tersebut, menuju gerai kopi tersebut.

Sampai digerai kopi tersebut, aku parkirkan sepeda mahasiswaku ini didepan gerai kopi. Aku buru-buru masuk dan melihat meja Chelsea. Disana telah kosong. Aku melihat jam tanganku, dan jam telah menunjukkan pukul 5.17pm. Dengan kecewa aku berjalan menuju kursi biasanya aku menunggunya. Masih sambil berjalan dengan kecewa, aku mengeluarkan jam waktuku dan terus memandanginya. Aku pun duduk dikursiku masih dengan lamunan dan pandangan pada jam waktuku.

Tiba-tiba, semua terasa aneh.

*Chelsea’s POV

#Day 3

Ini adalah hariku memastikan siapa yang dua hari ini telah memberiku kejutan. Aku datang lebih awal kegerai kopi hari ini. Pukul 4.30pm aku telah sampai. Dan aku hanya memesan 1 mug kopi yang aku minum disini. Aku juga pindah tempat duduk, aku pindah kepojok belakang didalam gerai tersebut, jadi sulit untuk ditemukan. Ditambah dengan koran yang pura-pura aku baca sehingga menutupi wajahku. Ketika aku sampai, aku melihat sekitar. Aku menaruh curiga kepada seorang pria yang telah memberiku kejutan. Namun ketika aku sampai, pria ini belum muncul juga. Aku pun masih bertahan dengan sembunyiku.

Jam pada gerai kopi tersebut telah menunjukkan pukul 5.14pm, tepat pada jam-jam aku merasa waktu telah dihentikan. Namun hari ini tidak, hingga menitan pada jam itu terus bertambah hingga jam menunjukkan pukul 5.17pm. Tepat pada jam tersebut, aku melihat seorang pria dengan buru-buru, diluar gerai sedang memarkir sepedanya. Kemudian masuk kedalam gerai dengan tergesa-gesa, lalu melihat sekeliling seperti mencari seseorang. Setelah selesai melihat sekeliling, sepertinya sang pria tak menemukan orang yang ia cari hingga merubah raut mukanya menjadi kecewa.

Sang pria yang bagiku terlihat familiar ini, kemudian berjalan menuju kursi pojok belakang didalam gerai kopi. Masih berjalan, sang pria mengeluarkan sesuatu yang terlihat seperti liontin namun terlihat familiar bagiku. Aku mulai berjalan mendekatinya. Hingga ketika ia duduk, ia masih memegang benda itu.

Aku masih berjalan mendekati pria ini, hingga aku memastikan, benda yang pria pegang ini adalah jam waktu seperti yang aku miliki. Dan memang benar seperti dugaan Tissa, pria ini memiliki jam waktu.

Segera, aku tekan tombol aktif jam waktu yang aku bawa.

Ya, kalian belum tahu, bahwa aku juga memiliki benda yang di sebut jam waktu berbentuk liontin ini.
~Flashback~

#Day 1

Tiba-tiba setangkai mawar sudah ada dihadapanku.

“Apa yang terjadi?” batinku penuh tanda tanya.

“Puzzle’nya, kenapa ini sudah jadi? Siapa yang menyelesaikannya?” pikirku dengan bingung.

Aku pun celingukan memandang sekitarku. Namun tak ada yang aneh. Orang-orang disekitarku bertingkah seperti biasa saja. Lalu, siapa yang menaruh mawar dan menyelesaikan puzzle’ku dengan sekejap? Rasanya tidak mungkin hanya dalam sekedip mata mawar itu tiba-tiba muncul. Padahal tadi tidak ada. Dan puzzle’nya belum aku selesaikan, namun, kenapa ini sudah jadi?

“Chels...” terdengar suara Tissa memanggil ku sambil melambaikan tangannya kepadaku diluar gerai sambil mengetuk kaca gerai tepat disamping aku duduk.

Masih penuh tanda tanya, aku membereskan barang bawaanku dan segera menghampiri Tissa.

“Tis, ini aneh deh. Gue baru aja ngalamin hal aneh. Semua seperti terjadi dalam satu kedipan mata. Tadi dimejaku, tidak ada apa-apanya, juga puzzleku belum selesai. Tapi tiba-tiba ada setangkai mawar ini, dan puzzle-ku sudah terselesaikan. Gue ngerasa kaya’ ada sesuatu yang telah terjadi,” ceritaku pada Tissa sambil berjalan pulang.

“Kamu ngomong apa sih Chels?” tanya Tissa yang tak paham.

“Ah elo, jadi ni tadi waktu gue nunggu elo, dimeja gue bersih gak ada apa-apa. Entah bagaiman datangnya, tiba-tiba dimeja gue udah ada setangkai mawar, juga puzzle gue udah kelar aja, padahal gue yakin tadi belum kelar,” ujarku masih dengan heran.

“Hah? Yang bener loe? Jangan-jangan ada yang gunain jam waktu??” ujar Tissa kaget.

“Maksudmu, jam yang bisa hentiin waktu itu? Gak munkin, gak mungkin,” ucapku tak percaya.

“Kenapa gak mungkin? Kita bukan satu-satunya yang bukan berasal dari sini kan?” ujar Tissa dengan enteng.

“Tapi tetap saja...” ucapku terpotong. Aku tak punya ide juga untuk melawan argumen Tissa yang kalau dipikir-pikir ada benarnya juga. Aku pun mulai memikirkan kemungkinan yang Tissa duga.

#Day 2

Dari kemarin sore, aku masih penasaran dengan kejadian yang aku alamin sore itu. Dan berulang kali Tissa mengingatkan tentang kemungkinan yang ia duga. Hal ini membuatku memikirkan kemungkinan tersebut juga. Maka sore ini, sesuai saran Tissa, aku menambah kewaspadaanku ketika berada didalam gerai kopi.

Tepat pukul 5pm aku memasuki gerai tersebut. Secara diam-diam, aku memandangi segala sudut didalam gerai tersebut. Kalau-kalau ada hal mencurigakan. Namun semuanya biasa saja, tak ada hal mencolok yang ku lihat. Pengunjung yang ada pun semua bersikap biasa saja. Hanya saja, ada seseorang yang membuatku tertarik.

Aku pun tak memperhatikan dengan khusus, namun kurasa, setiap sore aku berkunjung ke gerai kopi tersebut, pria itu selalu sudah duduk dikursi yang sama setiap harinya. Terkadang aku merasa, dia sedang memperhatikanku. Dia membuatku tertarik, namun tidak membuatku menaruh curiga padanya. Karena dia sudah selalu berada dilokasi itu bahkan sebelum kejadian kemarin sore terjadi. Hal ini membuatku tak berpikir, bahwa pria ini lah yang menghentikan waktu. Dan...

Dan aku sudah memperhatikan pria ini mungkin sudah ada 2 bulan ini. Dia lah yang menjadi alasanku setiap hari selalu datang ke gerai kopi ini tepat pukul 5pm. Kenapa pukul 5pm? Sebenarnya suatu hari aku pernah mencoba mengunjungi gerai ini lebih pagi hanya untuk melihatnya lebih awal, yaitu pukul 4.30pm. Namun pria ini belum datang. Dia selalu datang 2 hingga 1 menit sebelum aku datang. Aku tertarik pada pria ini, namun tak ada keberanianku untuk menunjukaannya. Kenapa? Karena aku sadar kami berbeda.

“Bila dia, kenapa baru mulai kemarin?” pikirku saat itu.

“Kira-kira, ada gak ya orang yang sama kaya’ kemarin sore disini sekarang? Selain pria itu dan para pegawai tentu saja,” ujarku dalam hati tetap sambil melihat kiri-kananku. Tapi orang yang sama tersebut tak kujumpai selain pria itu. Dan seperti kemarin, tiba-tiba semua terasa aneh.

Ketika semua terasa tak aneh, namun kembali lagi se-bouquet mawar merah dan note dihadapanku membuatku tambah aneh. Aku celingukan kekiri-kananku. Tak ada yang aneh selain mawar dan note dimejaku yang sudah tersusun menjadi sebuah kata. Semua orang yang berada disekitarku bertingkah biasa saja.

Tissa pun datang, dan menungguku diluar seperti biasa. Aku pun segera menghampirinya. Kuceritakan apa yang baru terjadi masih dengan ekspresi heranku.

“Tis, tadi terjadi lagi,” ceritaku sambil memperlihatkan bouquet bunga yang ku bawa.

“Apa saja tadi yang berubah?” tanya Tissa sambil memulai menyeruput kopinya.

“Nih, seiket bunga sama note yang udah bentuk kalimat “Maybe i’ve fallen for you.””critaku.

“Aih, kalimatnya. Haha... Beneran deh, tuh pasti pake jam waktu,” yakin Tissa masih sedikit tertawa.

“Terus, dah ada orang yang elo curigai?” tanyanya kemudian.

“Gak ada sih, tapi kaya katamu tadi pagi, gue waktu dateng tadi liat semua pengunjung dulu, kyanya gak ada yang sama kecuali satu orang, tapi gak mungkin dia deh,” ujarku kemudian.

“Kok gak mungkin?” tanya Tissa penasaran.

“Ya gak mungkin aja, karna ni orang kyanya udah lama barengan ma gue kalo gue ke gerai itu. Tapi dia selalu duduk dikursi itu mlulu kalo gue kesana, gue pun begitu, slalu duduk dikursi deket jendela itu,”

“Nah tuh, mencurigakan banget tuh. Pasti orang itu deh Chel,” simpul Tissa,

“Tapi kayanya gak mungkin deh Tis. Masak dia kaya’ kita, kaya’nya dia manusia kok,” kekeh’ku.

“Tapi dia mencurigakan gitu, gak ada yang gak mungkin Chel. Btw, dia cewek ato cowok?” tanya Tissa kemudian.

“Yakali, cewek. Cowok sih,” jawabku lirih.

“Nah tuh, fix maksimal gue mencurigai tuh orang. Masak iya cewek yang ngasih elo bunga juga tulisan falling-fallingan gitu...” celoteh Tissa yang membuat keyakinanku mulai luntur.

“Tapi dia udah lama, gak cuma kemarin  barengan guenya. Masak ya baru kemarin kejadiaannya dia dicurigai?” aku masih belum percaya orang yang diam-diam kukagumi, adalah bukan manusia.

“Itu malah semakin mencurigakan Chels,” timpal Tissa.

Tissa pun memberiku saran, agar besok datang lebih awal ke gerai itu dan memata-i secara khusus pria itu.

~Flashback end~

#Day 3

Aku pun menjalankan saran Tissa. Walau dengan perasaan setengah percaya, bahwa cowok yang kukagumi bukan manusia, aku tetap menjalankan sarannya. Aku datang ke gerai kopi itu pukul 4.30pm. Aku menunggu orang yang kucurigai itu, dengan tidak duduk ditempat biasa aku duduk. Aku memilih duduk dipojok belakang dalam ruang gerai kopi tersebut. Dengan tujuan, sudut pojok tersebut tidak mudah terlihat. Dan aku menutupi diriku dengan koran yang pura-pura aku baca agar menutupi wajahku. Kurasa penyamaran ini akan sulit terungkap bila tidak jeli untuk melihatku. Pukul 5.15pm, sang pria yang kuketahui bernama Bagas itu belum muncul juga.

Ya, Bagas. Aku tahu namanya karena aku sempat mencari informasi tentangnya. Dia adalah seorang dosen muda di kampus ternama, tentu saja dia menajdi idola bagi mahasiswanya. Bukan karena muda dan tampan dengan pawakan tubuhnya yang tinggi besar, kharismanya pun keluar bersamaan dengan kepandaiannya. Setiap sore setelah menyelesaikan urusan mengajarnya, ia akan mampir kekedai kopi ini sebelum pulang selama 5hari kerja, Senin-Jumat. Setiap Sabtu pagi, dia akan joging pagi hingga kawasan dekat apartemenku. Lalu mampir minimarket yang sama setiap pukul 7am hanya untuk membeli minuman isotonik. Setiap hari minggu pagi, dia tidak pernah terlewatkan ikut berolahraga pada car free day. Dan akan menjadi sukarelawan bersama mahasiswanya yang kebanyakan cewek, yang mungkin mereka sama denganku, pengagumnya. Dia akan menjadi sukarelawan dan mengadakan event secara random setiap minggunya. Dan aku pun akan ikut menjadi sukarelawan untuk event lain agar tidak terlalu mencurigakan. Walau kami sering bertemu, entah dia menyadari kehadiranku atau tidak, kami tak pernah bertegur sapa.

Tiba-tiba pintu gerai kopi dibuka dengan sedikit kasar. Fokusku pun kembali pada pintu. Terlihat disana, Bagas celingukan melihat seisi gerai seperti mencari seseorang. Kulihat jam sudah menunjukkan pukul 5.17pm. Aku segera bersembunyi dibalik koran yang kujabarkan agar menutupi wajahku. Terlihat dari ekspresinya, Bagas tak menemukan orang yang ia cari. Selesai memesan, masih dengan ekspresi kecewanya yang terlihat, ia berjalan dengan lesu menuju tempat duduknya seperti biasanya. Hal yang membuatku tertarik, dia mengeluarkan sesuatu dari saku celananya. Seperti sebuah kalung yang berliontin. Masih dengan berjalan, ia memandangi liontinnya. Walau belum jelas aku melihatnya, aku yakin bentuk liontin itu bulat seperti jam.

Kuberanikan berjalan mendekatinya. Aku ingin memastikan bahwa itu benar jam waktu yang bisa membuat waktu berhenti. Bagas sudah duduk dikursinya, aku semakin dekat kearahnya. Namun dia belum manyadari kehadiranku. Ya, dan aku sudah dapat melihat dengan jelas, bahwa itu adalah jam waktu. Aku shock dan speechless. Langsung tanpa berpikir panjang, aku menghentikan waktu. Aku tekan jam waktu yang juga aku punya. Aku terdiam sejenak menenangkan diri. Ketika aku sudah bisa mengendalikan diriku, aku pun maju mendekat kearah Bagas yang sedang mematung terkena efek jam waktu.

Aku duduk dikursi hadapannya. Aku memandangi wajahnya yang memang mempesona tersebut. Aku mulai tersenyum.

“Ini lucu,” batinku sambil tersenyum kecil.

Selama ini aku mengaguminya secara diam-diam hanya karena takut dia berbeda dariku. Namun ini lucu, sepertinya diapun bukan manusia biasa. Lalu untuk apa ketakutanku selama ini?

Aku pun mulai menyusun note yang telah kusiapkan sebelumnya. Ku susun sebuah kata, “it was You” yang kususun dimeja hadapannya. Lalu aku meninggalkannya dan akupun mengaktifkan kembali jam waktu.

Kulihat dia bangun dengan kebingungan. Dia melihat mejanya dengan note yang telah kususun menjadi sebuah kalimat. Dia celingukan melihat kiri-kanannya.

Aku telah duduk disampingnya, samping luarnya tepatnya. Aku tepat duduk disampingnya, hanya saja kami terpisah kaca. Aku duduk dikursi luar gerai kopi, tepat Bagas duduk didalam.

Bagas melihatku yang duduk disampingnya. Aku tersenyum padanya. Ekspresi mukanya masih terlihat kebingungan. Kemudian akupun melambaikan jam waktu yang kupunya kehadapannya. Ia mulai tersadar, dan melihat jam waktu yang ia pegang. Mukanya menjadi sedikit merah dan mulai tersenyum padaku. Dan Bagas mulai berdiri, mungkin dia akan menghapiri.

Rasa percaya diriku mulai surut lagi. Hatiku mulai deg-degan kembali ketika benar saja Bagas dengan mukanya yang memerah berjalan kearahku.  Aku masih mencoba tersenyum padanya ketika dia sudah berdiri tepat dihadapanku.

“Boleh aku duduk?” tanya nya dengan suara yang semakin menggetarkan hatiku.

“Tentu,” jawabku singkat mencoba tenang.

“Apakah benar itu kamu?” tanya ku kemudian mulai memberanikan diri.

“Apa?” tanyanya masih menyangkal. Akupun melambaikan jam waktuku yang bentuknya liontin sama yang ia miliki. Bagas mulai tersenyum.

“Jadi, apa aku sudah ketahuan?” ucapnya sambil tersenyum.

“Belum juga,” jawabku sekenanya.

“Lalu, darimana kamu dapat benda itu? Yang kutahu, benda ini hanya dimiliki oleh orang tertentu,” tanyaku penasaran.

“Dan kamu juga punya jam waktu itu? Apa kamu juga bukan berasal dari bumi?” Bagas bertanya dengan ekspresi kaget.

“Jadi kamu juga...” ujarku masih tak yakin dengan apa yang akan aku katakan selanjutnya.

“Apa kamu juga...” potongnya dengan ekspresi kaget.

“Jadi, darimana asalmu?” tanyaku kemudian.

“Aku berasal dari planet Merah (Mars=Male’s symbol), kamu?” tanyanya lagi.

“Aku dari planet Biru (Venus=Female’s symbol), apa kamu juga pasukan khusus?” tanyaku masih penasaran.

“Bagaimana kau tahu tentang pasukan khusus? Ya, aku pasukan khusus agent antar galaxy. Aku kesini untuk menjaga keseimbangan perdamaian antar galaxy, dan aku menyamar menjadi dosen untuk tahu lebih jauh karakter makhluk bumi,” jelasnya.

“Dan kamu, apakah kamu juga agent khusus? Lalu apa tugasmu dengan menyamar sebagai editor majalah ternama?” tanya Bagas yang membuatku kaget bagaimana dia tahu profesiku sebagai editor majalah.

“Bagaimana kau tahu profesiku?” tanyaku.

“Ah, maafkan aku. Seperti yang kau tahu, seperti note yang sudah kususun kemarin, aku telah mengikutimu selama 2bulan ini,” jawabnya pasrah.

*Bagas’ POV

“Bodohnya aku, kenapa aku mengatakan profesinya tadi,” gerutuku dalam hati.

“Ah, maafkan aku. Seperti yang kau tahu, seperti note yang sudah kususun kemarin, aku telah mengikutimu selama 2bulan ini,” jawabku pasrah karena sepertinya penyamaranku telah terungkap olehnya.

“Lalu, apa tugasmu?” tanyakukemudian memotong pembicaraan.

“O, sama sepertimu. Hanya saja, aku mengawasinya dengan melihat trend gaya perempuan manusia bumi,” jawab Chelsea yang terlihat tak nyaman dengan jawabanku tadi.

“Tapi, darimana kamu dapatkan jam waktu itu? Bukankah bahaya menggunakan secara sembrono seperti itu?” tanyanya dengan ekspresi cemas.

“Oh, ini. Aku sudah memilikinya hampir selama 5 tahun ini. Memang benar, kita hanya diperbolehkan menggunakannya ketika kita dalam keadaan bahaya. Tapi benda ini juga memiliki batas waktu penggunaanya selama 5 tahun bukan? Dan ini hampir kadaluarsa, sedangkan aku sama sekali belum pernah menggunakannya. Lalu, bagaimana dengan milikmu?” tanyaku kemudian.

“Sama sepertimu, masa berlaku jam waktu ini juga sudah mau habis. Ngomong-ngomong, sudah berapa lama kamu di bumi?” tanyanya kemudian menyeruput kopinya.

“Aku sudah 9 tahun ini. Apa kah kamu juga sama?” tanyaku.

“Wah, ternyata sudah lama juga,” ujarnya dengan ekspresi kagum. Dan hal itu membuatku tersenyum tersipu.

“Aku baru akan 5 tahun ini,” jawabnya kemudian.

Dan kemudian, kami seperti habis kata-kata. Terasa hening. Aku pun bingung mau berbicara apa.

“Oh ya, kenapa hari ini kamu tidak pulang bersama Tissa?” tanyaku memecah keheningan.

“Haduh, sepertinya salah ngomomg lagi,” batinku kesal.

“Tissa? Bagaimana kamu tahu nama sahabatku?” tanyanya dengan heran.

“Eh ya, bukankah tadi sudah kubilang aku sudah mengikutimu selama 2 bulan ini?” ujarku sok cool. Aku memandang kewajahnya, tersirat warna merah muda pada wajahnya.

“Oh, oh hari ini Tissa memang ada pekerjaan yang penting, jadi kami tidak pulang bersama,” jawabnya dengan canggung.

“Lalu, apa Tissa juga bukan berasal dari bumi?” tanya ku hati-hati.

“Ya, aku dan Tissa berasal dari planet yang sama,” jawabnya enteng. Lalu terlihat ia melihat jam tangannya.

“Sudah mau jam 6pm, sepertinya aku harus pulang,” ujarnya kemudian.

“Oh, emh, boleh kuantar?” tawarku ragu. Dia tersenyum padaku membuat jantungku berdegup lebih cepat.

“Sepertinya tanpa kupersilahkan kamu juga akan mengantarku,” jawabnya mulai menggodaku. Aku pun tertawa bersamanya.

Sore itu aku mengantarnya pulang dengan berjalan kaki walau aku sambil menuntun sepeda salah satu mahasiswaku. Kami menghabiskan waktu berjalan dengan sambil mengobrol. Aku mulai mengaku padanya, bahwa aku tertarik padanya. Dan betapa senangnya aku, ketika dia pun mengaku hal yang sama.

Dan kami pun tertawa bersama menyadari tingkah konyol kami. Selama ini kami saling menjaga jarak karena takut bahwa kami berbeda, berbeda asal. Karena memang kami sebagai agent perdamaian antar galaxy, dilarang jatuh cinta dengan makhluk asli dimana kami ditugaskan. Larangan itu muncul berdasarkan perjanjian identitas asal kami harus dirahasiakan kepada makhluk asli dimana kami ditugaskan. Karena memang organisasi perdamaian antar galaxy ini adalah organisasi TOP SECRET yang hanya diketahui oleh para petinggi disetiap planet yang berada di galaxy yang bekerjasama.

Selain itu, juga ketakutan bila kami memiliki hubungan dengan makhluk asli dimana kami ditugaskan, rahasia organisasi akan terbongkar. Namun setelah mengetahui asal-usul Chelsea, aku menjadi lega. Kami sama-sama agent rahasia organisasi antar galaxy, itu berarti kami sama-sama mempunyai kepentingan yang sama di planet bumi ini. Dan secara otomatis perjanjian kerahasiaan identitas kami gugur, karena kami sama-sama agent rahasia. Dan semenjak sore itu, aku semakin dekat dengan Chelsea. Akupun mengenalkan Tissa pada sahabatku yang juga merupakan seorang agent rahasia sama sepertinya, Ajil. Namun ternyata mereka juga sama-sama sudah saling kenal karena satu profesi pekerjaan, berhubungan dengan hukum. Namun mereka juga belum mengetahui identitas asli sebelum kuberi tahu. Ajil pun juga menjadi dekat dengan Tissa.

***

Sore itu, Bagas sudah berada didalam gerai kopi tersebut. Ia tengah menikmati kopinya sambil memainkan smartphone’nya, hingga seseorag telah berdiri disamping Bagas. Mengetahui siapa yang telah berdiri disampingnya, Bagas pun berdiri dan menyiapkan serta mempersilahkan nya duduk.

“Tepat pukul 5 seperti biasa,” ujar Bagas sambil tersenyum.

“Apa kamu berharap aku datang lebih cepat?” goda sang lawan bicara yang telah duduk dihadapannya yang tak lain adalah Chelsea.

“Bisa jadi,” jawab Bagas dengan tersenyum. Tiba-tiba mereka terdiam mendengarkan lagu yang diputar di gerai kopi tersebut. Dan pipi mereka pun menjadi memerah karena lagu tersebut. 

I think that possibly, maybe I'm falling for you
Yes there's a chance that I've fallen quite hard over you.
I've seen the paths that your eyes wander down
I want to come too

I think that possibly, maybe I'm falling for you
No one understands me quite like you do
Through all of the shadowy corners of me

I never knew just what it was about this old coffee shop
I love so much
All of the while I never knew
I never knew just what it was about this old coffee shop
I love so much
All of the while I never knew

I think that possibly, maybe I'm falling for you
Yes there's a chance that I've fallen quite hard over you.
I've seen the waters that make your eyes shine
Now I'm shining too
Because oh because
I've fallen quite hard over you
If I didn't know you, I'd rather not know
If I couldn't have you, I'd rather be alone

I never knew just what it was about this old coffee shop
I love so much
All of the while I never knew
I never knew just what it was about this old coffee shop
I love so much
All of the while, I never knew

All of the while, all of the while,
it was you.

“Aku gak suka lagu ini,” gerutu Chelsea kemudian.

“Kenapa?” tanya Bagas yang pipinya masih memerah.

“Lagu itu kayak menyindir kita,” jawab Chelsea dengan cemberut. Bagas yang mendengarnya malah tertawa.

“Kenapa kamu malah tertawa?” tanya Chelsea heran.

“Tentu saja, bukan kayak lagi, tapi lagu itu memang menyindir kita,” ujar Bagas yang masih tertawa sambil mengusap rambut Chelsea.

“Serasa kita sedang disindir makhluk bumi, sepasang makhluk luar angkasa yang sedang jatuh cinta di bumi ya, jatuh cinta digerai kopi,” lanjut Bagas dengan senyuman hangatnya, membuat hati Chelsea tersentak kaget. Chelsea pun hanya tersenyum tanda mengiyakan. Mereka pun saling bartukar senyum dengan saling menatap yang penuh arti. Dan hanya kebahagiaan yang tergambar diraut wajah mereka.

-END-

NB:
Coment, comment... Waiting Your Commments Guys!
Gimana? Endingnya garing gak? Genre Fantasy pertama nih, bingung juga :D
Comments ya...

2 comments:

  1. Hai ka bita. Salken ya, whoaa bagus bget ini. Makin lope sm chelgas da

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hai +Magema Punya Karya, salam kenal juga ya :))
      Makasih dah sempetin baca, dukung terus ChelGas yuk....

      Delete