Thursday 30 January 2014

Happily Ever After (part 2 - Ending)



Chapter 2

Setelah kejadian Sabtu itu, aku ingin sekali menemui Bagas hanya untuk sekedar minta maaf dan tanpa memikirkan Bella. Namun Bagas selalu menghindar dariku. Hingga akhir tahun ajaran ini pun tiba. Dan akhirnya Bagas benar-benar pergi ke Prancis tanpa berpamitan kepadaku.

#4 TAHUN KEMUDIAN

4 tahun telah berlalu semenjak kepindahan Bagas ke Perancis. Sekarang, aku tengah disalalah satu universitas elite di Jogja. Dan sekalipun, aku belum pernah berhubungan lagi dengan Bagas yang kabarnya juga tengah berkuliag di Prancis. Hingga teman-teman sekolah dulu mengusulkan untuk mengadakan reunian satu angkatan pada masa libur akhir tahun. Reuni akan diadakan pada awal tahun. Tanggal 5 Januari bertempat disekolah kami dulu.

Hari reunian pun tiba. Aku berangkat dengan Karel. Disana, kami duduk ditempat duduk yang berdekatan dengan kelas IPA 1, kelas Bagas. Dan mereka sedang ngomongin Bagas.

"Ini Bagas gak dateng ya?" tanya salah seorang dari mereka.

"sepertinya iya, sayang sekali ya... Setidaknya walau cuma 1 tahun, dia pernah jadi ikon kelas kita bukan..." ujar yang lain.

"Benar banget, bukankah kalian dulu fans fanatiknya... haha..." celoteh yang lain membuat suasana menjadi semakin riuh.

Aku yang sedari tadi mencuri dengar percakapan mereka, ikut tersenyum kecut. Karel yang duduk disampingnya hanya terlihat menyimak gerak-gerik ku. Aku yang tiba-tiba seperti teringat sesuatu, memutuskan untuk meninggalkan venue reunian. Karel yang ingin mengikutiku, ditahan oleh temannya yang masih saja mengajaknya mengobrol.

Aku telah berada diatas bukit sendiri. Aku tengah melamun menghadap matahari. Aku mengingat kebersamaanku bersama Bagas diatas bukit tersebut. Tiba-tiba suara cowok memanggil namaku dari belakang.

"Chels, Chelsea??" suara itu memanggil namaku dengan sedikit ragu. Aku menoleh dan mendapati wujud cowok itu adalah Bagas.

"Bagas?" teriakku tidak bisa menyembunyikan kebahagian.Bagas yang dipanggil pun mendekatinya.

"Akhirnya kita bertemu lagi ya..." ujar Bagas ketika sudah berada didepan ku. Aku yang tak bisa menahan perasaan pun memeluk Bagas. Bagas yang dipeluk, sedikit terkejut. Namun Bagas yang juga terlihat bahagia bertemu dengan ku, membalas pelukan ku.

Aku dan Bagas melanjutkan perjumpaan kami dengan mengobrol diatas bukit tersebut.

"Sebenarnya, siapa gadis yang bernama Bella itu?" tanya ku yang sudah bisa menata hatinya.

"Maafkan aku, sebenarnya Bella adalah adik tiriku. Dia adalah anak dari ayah tiriku. Ayah kandungku sudah meninggal semenjak aku kecil. Dan Ibuku menikah dengan Ayah Bella yang juga ditinggal meninggal oleh istrinya. Sejak kecil, dia selalu mengikutiku. Katanya, ia ingin menikah denganku. Maafkan aku," jelas Bagas yang membuat hatiku lebih tenang.

"Seharusnya aku yang meminta maaf. Sudah memaki dan menamparmu didepan banyak anak," ujarku bersalah dengan menundukan kepalaku.

"Sudahlah, lupakan saja. Ayo kita memulai yang baru..." ajaknya padaku. Aku ahnay mengangguk dan menunduk.

"Oh ya Chels, bisakah kita sering bertemu? Berikan nomor teleponmu kepadaku, juga jadwalmu," pintanya.

Aku pun memberikan nomor telepon dan jadwal kuliahku kepada Bagas. Setelah itu, terjadi keheningan.Aku kembali menunduk. Bagas melihatku menunduk. Perlahan tapi pasti, Bagas mendekatkan tangannya seperti ingin menyentuh pipiku. Aku, hanya diam. Entah perasaan apa yang berkecamuk dihatiku. Selanjutnya, Bagas telah berhasil menghadapkan mukaku menghadap kemukanya. Dia menciumku.

Bulan sudah berganti. Pagi ini, adalah awal bulan dibulan Februari. Semenjak hari itu, aku dan Bagas sering bertemu kembali. Masih dengan kebiasaan lama, kami sering hunting foto bersama.

Siang itu, hari Minggu. Aku dan Bagas telah menghabiskan waktu /4 hari kami dengan hunting foto dikebun binatang Ragunan. Selepas dari sana, Bagas ingin melihat kampusku. Maka aku mengejaknya kesana. Air minum yang kami bawa telah habis, aku dan Bagas memasuki sebuah mini market yang letaknya berada didekat kampusku. Saat didepan kasir, kasir menawari kami sebuah produk baru karena baru ada diskon. Aku bertanya pada Bagas, apa ia ingin membelinya. Ia hanay menggelengkan kepala dan ku katakan tidak kepada kasir. Kasir melihat pada akmi dengan sedikit pandangan aneh.

Kampus terlihat lengang. Tentu saja karena hari ini adalah hari libur. Hanya sedikit mahasiswa yang datang. Hanya sedikit mahasiswa yang datang karena ambil kelas dihari minggu. Aku dan Bagas pun berkeliling kampus tanpa bertemu orang yang aku kenal. Aku pun mengajak Bagas untuk menguniungi Karel yang tengah bekerja part-time di cafe yang ia dirikan sendiri. Memang Karel baru belajar berbisnis, dan dia baru beberapa bulan ini mendirikan cafe yang lokasinya tidak jauh dari kamapus dan ia sering turun tanagn jadi waiter di cafenya.

Aku dan Bagas telah sampai di Cafe Karel. Aku memanggil Karel yang kebetulan ia juga melihatku masuk. Karel menghampiriku sebelum Bagas juga ikut masuk.

"Hei, apa kamu sedang sibuk?" tanyaku kepada Karel

"Kenapa?" tanyanya dengan bersemangat.

"Aku ingin mempertemukanmu dengan seseorang," jawabku dengan riang.

"Siapa?" tanyanya penasaran.

Akupun melihat belakang, dan ternyata Bagas baru membuka pintu cafe milik Karel. Sebelum sempat secara resmi aku mempertemukan mereka, Karel sudah dipanggil oleh seorang pelanggannya.

"Waiter..." panggil sang pelanggan.

"Iya tuan, sebentar," jawab Karel sembari melambaikan tangannya ke pelanggan yang memanggilnya.

"Chels, bentar ya aku kesanan dulu," pamitnya kepadaku dengan seperti melihat pintu masuk sambil berlalu menuju pelanggannya.

"Eh, tapi Rel.." larangku yang terpotong.

"Sudah, sepertinya dia sibuk. Ayo kita pergi, lain kali saja aku bertemu dengannya," ajak Bagas.

Aku pun mengiyakan dan memberikan isyarat pamitan kepada Karel. Dia pun mengiyakan dengan memberi tanda oke namun tetap dengan pandangan herannya kepadaku.

Bagas pun mengantarku pulang, dan hanya sampai depan pintu seperti biasa. Aku masuk kerumah. Dan ternyata Ayah yang walau sebagai pengusaha yang cukup sibuk, namun selalu berusaha menyempatkan waktunya untukku sudah menungguku untuk makan malam. Namun malam itu, peringai Ayah sangat aneh kepadaku. Terlihat sedikit kaku.

"Sudah pulang? Dari mana Chels?" tanyanay mencoba santai.

"Iya, Ayah juga? Tadi habis jalan-jalan," jawabku riang.

"Sama Bagas ya?" tanyanya lagi.

"Iya Ayah..." jawabku manja. Memang ayahku ini sudah tahu tentang Bagas, beberapa kali aku telah menceritakan Bagas kepada orangtua tunggalku ini.

Malam-malam selanjutnya pun Ayah terlihat aneh. Dia selalu pulang lebih awal dengan menungguku untuk makan malam bersama. Walau memang terlihat aneh, anmun aku masih cuek saja.

"Chels, besok weekend, kamu ajak Bagas makan malam bareng kita deh. Sudah lama sekali Ayah tidak bertemu dengannya," ujar Ayah ketika tengah menikmati makan malamnya.

"Benarkah Ayah? Baiklah, aku akan mengajaknya," jawabku dengan senang.

Selesai makan, aku segera menghubungi Bagas untuk mengajaknya makan malam besok malam dirumah. Ya karena besok weekend yang diamksud Ayah adalah besok malam yang memang hari berikutnya sudah hari Minggu. Bagas pun mengiyakan dengan antusias.

Hari yang dijanjikan telah tiba. Aku dan Ayah sudah menunggu kedatangan Bagas. Sudah pukul 19.00 tepat, jam janjian kami, namun Bagas belum juga  datang. Aku masih mencoba untuk tenang namun Ayah semakin terlihat aneh. Pukul 19.30 aku mulai bingung kenapa Bagas belum sampai juga. Aku menghubungi handphone'nya. Teelephone'ku diangkat, namun tidak ada suara yang menjawab. Aku sudah mulai panik dan berniat keluar mencari Bagas.

"Mau kemana kamu?" tanya Ayah yang ikut berdiri ketika aku sudah berdiri akan keluar mencari Bagas.

"Aku akan mencari Bagas, Ayah. Mungkin sesuatu terjadi padanya," ucapku.

"Sudahlah Chels, walau kamu mencarinya, kamu tidak akan menemukannya," ujar Ayah lagi.

"Apa maksud Ayah?" tanyaku mendengar ucapan ayah.

Ayah menghampiriku dengan memberikanku sebuah koran internasional berbahasa Inggris. Dari highline berita tersebut, ada sebuah judul, "3 mahasiswa Indonesia terperosok kesebuah bukit ketika bermain ski". Dari judul saja, berita tersebut sudah semakin membawa perasaan tidak enak.

"Ini, apa maksudnya ayah?" tanyaku dengan mencoba menenangkan diri.

"Bacalah. Hari minggu kemari, Karel meneleponku dan memberikan koran tersebut," ujarnya singkat.

"Lalu?" lanjutku belum paham apa yang dimaksud oleh ayah.

"Satu bulan yang lalu, 3 mahasiswa yang berasal di Indonesia bermain ski di disebuah resort di Prancis. Namun malang, arena ski yang mereka datangi mengalami longsor ketika mereka sedang bermain. Ketiga mahasiswa tersebut terperosk kedalam bukit. 2 diantaranya dapat diselamatkan. Namun sampai sekarang, satu diantara mereka masih mengalami koma," terang ayah panjang lebar.

"Bacalah, siapa nama mahasiswa tersebut," lanjutnya.

Aku pun membaca koran tersebut. Dan aku menemukan nama mahasiswa yang sampai sekarang belum bangun dari koma tersebut. Nama Bagasrds yang disebut dalam koran tersebut. Aku tidak percaya dan aku menolaknya.

"Karel mengatakan, minggu kemarin kamu membawa Bagas ke cafe'nya. Namun Karel pun tidak melihatnya," ujar Ayah.

"Bukan ayah, ini bukan Bagas yang dimaksud. Kemarin aku amsih bertemu dengannya Ayah," ucapku dengan bingung. Ayah hanya diam dan terlihat sedih. Dan aku pun berniat keluar untuk tetap mencarinya. Namun Ayah melarangku.

"Sudahlah, lupakan dia. Kamu tidak akan bisa bersamanya. Saat ini, kamu hanya harus mengikhlaskannya," ujar Ayah dengan keras.

"Tidak Ayah, aku sangat mencintainya. Aku ingin bersamanya," elakku.

"Sayang, ayah tahu bagaimana perasaanmu. Hal ini juga pernah ayah alami ketika ayah kehilangan Ibu kamu," jelasnya.

"Tapi aku belum kehilangan dia Ayah. Apa Ayah juga akan tetap meninggalkan Ibu bila Ibu bisa kembali?" tanyaku dengan menahan sesak didada. Ayahpun hanya terdiam tak menjawab pertanyaanku perihal Ibu yang sebenarnya telah meninggalkan kami sewaktu aku masih SD karena penyakit Leukimianya.

Malam itu, ayah memanggil Karel untuk menemaniku. Dan aku masih saja mencoba menghubungi handphone Bagas. Tidak ada lagi telephone yang tersambung. Namun tiba-tiba ada telephone masuk ke handphoneku.

"Halo, apa benar ini Chelsea?" tanya orang diseberang telepone.

"Iya, benar. Siapa ini?" tanyaku dengan kalut.

"Syukurlah kalau benar. Aku tidak tahu, apa aku perlu memberitahumu atau tidak. Aku mendapatkan nomor kamu dari kertas yang dipegang Bagas," ucap suara seorang wanita seperti sedang menahan tangisnya.

"Apa? Bagas? Dimana ia sekarang? Dan, siapa anda?" tanyaku dengan antusias namun khawatir.

"oh, saya Mama'nya Bagas. Sekitar satu jam yang lalu, Bagas telah meninggalkan kita untuk selamanya," ucap wanita yang mengaku sebagai Mama'nya Bagas dengan tangisannya yang pecah.
Ketidak percayaanku pun semakin menjadi. Aku menajtuhkan handphoneku. Aku menangis sekuatku. Aku tidak peduli ada Karel yang sedang menenangkanku.

Pagi-pagi aku pergi ketempat-tempat yang biasa aku kunjungi bersama Bagas. Aku bertanya beberapa orang yang sempat kami temui dijalan. Aku bertanya pada mereka, namun mereka hanya diam dan menolakku dengan alasan lupa. Aku ingat, kami sempat pergi kemini market dekat kampusku. Aku pun pergi disana.

Setibanya disana, sedang ramai-ramainya pengunjung antri didepan kasir untuk membayar belanjaannya. Saat itu aku sedang kacau, aku memotong antrian dan segera menghadap ke kasir. Dengan tanpa sabar, aku bertanya kepada kasir.

"Maaf, apa akmu ingat denganku?" tanyaku menggebu-gebu kepada kasir.

"Maaf kakak, sebaiknya anda antri dulu," ucapnya dengan masih ramah.

"Tidak, aku hanya ingin bertanya, apa kamu ingat denganku?" tanyaku lagi semakin memaksa.

"Kakak, sebaiknya Anda pergi saja. Aku tidak ingat kamu," ucapnya dengan keras. Pengunjung yang lainpun melihatku dengan amrah karena menghambat antrean mereka.

"Tidak, kamu mengingatku bukan? Minggu kemarin aku kesini denagn kekasihku. Kamu ingat bukan? Namun banyak yang mengatakan bahwa dia sudah meninggal," emosiku pecah, aku menangis ditengah banyak orang. Aku tak peduli. Sekarang, yang tadinya mereka melihatku dengan marah, menjadi melihatku dengan takut.

Kasirpun semakin acuh kepadaku. Dia memanggil security. Security pun memegangku dan menyeretku untuk keluar. Namun aku bertahan. Tiba-tiba, Karel datng.

"Maaf, aku mengenalnya. Dia temanku," Karel datang manyelamatkanku dari sang security. Karel mencoba menenangkanku denagn memelukku, namun aku tetap meronta. Aku melihat ada cctv.

"Dimana control room, aku ingin melihat rekaman satu minggu lalu," teriakku kepada security dengan tetap meronta dari pelukan Karel.

"Hei, apa kamu mengingat wanita ini? Katakan saja..." ucap security kepada pegawai kasir dengan meluapkan emosinya.

"Baiklah, baiklah. Jelas saja aku meningat anda. Minggu kemarin kamu datang dengan aneh. Kamu selalu berbicara sendiri," ujar Kasir dengan acuh.

Aku bingung dengan apa yang diucapkan oleh pegawai kasir. Aku tidak percaya. Aku benar-benar bingung apa yang sebenarnya terjadi padaku. Aku berlari keluar dari minimarket tanpa arah.
3 hari aku hanay berdiam dirumah. Saat itu, aku tengah berada dirumah dengan ditemani Ayah dan Karel. Karel menjelasakn kecelakan yang dialami Bagas adalah dihari yang sama dengan hari reunian kami tanggal 5 Januari kemarin. Jadi bagi Karel, tidak mungkin Bagas menemuiku. Karena hari itu Bagas ada di Prancis dan mengalami koma. Aku hanya menyimak apa yang dikatakan Karel namun aku acuhkan. Aku lebih sibuk untuk memikirkan Bagas.

Tiba-tiba bel rumahku berbunyi. Aku segera berlari membukakannya. Aku berharap itu adalah Bagas. Dan benar saja, itulah adalah Bagas. Aku menyambutnya dengan riang. Dia pun menyapaku dengan senyuman.

"Siapa?" tanya Karel yang menyusulku, begitu juga denagn ayah yang berada dibelakang Karel.

"Apa ada Bagas disini?" tanyanya lagi karena jawabannya atdi tidak kubalas namun aku hanay tetap tersenyum malihat Bagas yang ada didepan pintu. Diamku seperti mengiyakan jawaban Karel.

"Benar ada Bagas? Gas, kalau elo ada disini, pergilah. Sadarlah bahwa kamu sudah meninggal," ucap Karel dengan keras.

"Apa? Aku sudah meninggal?" tanya Bagas yang mulai kehialngan senyumannya.

"Kamu sudah meninggal Gas. Kalau belum, lalu apa kamu ingat naik kendaraan apa kamu sampai sini dari Parancis?" lanjut Karel.

Bagas yang masih didepan pintupun terlihat kebingungan. Kemudian dia berlari pergi dengan kesedihan dan kebingungan yang dapat kulihat. Aku ingin lari mengejarnya, namun Ayah juga Karel menahanku.
Sudah dua minggu aku tidak bertemu dengan Bagas lagi. Hampir tiap hari aku pergi kebukit untuk mencarinya, namun dia tak ada disana. Hingga suatu sore, tangisku pecah diatas bukit tersebut. Tiba-tiba ada orang yang membelai lembut rambutku. Aku menoleh, dan aku mendapati Bagas ada dibelakangku. Aku memeluknya. Aku tidak mau Bagas pergi lagi.

"Gas, kamu jangan pergi lagi. Aku gak mau kamu pergi ninggalin aku lagi," kataku padanya dengan terisak. Dia pun hanya tersenyum dan memelukku dengan erat.

Sudah seminggu aku menghabiskan waktuku dengan Bagas. Aku tidak peduli dengan pandangan aneh mereka yang tidak melihat kehadiran Bagas. Begitu pula dengan ayah yang melihatku terpuruk selama 2 minggu tanpa bertemu Bagas kemarin, ayah mulai mengijinkanku untuk menemui Bagas agar aku tidak sedih lagi.

Sore itu, aku baru sampai rumah setelah pergi bersama Bagas. Ayah sudah ada dirumah. Ayah menyambutku dengan hangat ketika melihatku denagn muka riang tiba dirumah.

"Sudah pulang? Dia ada disini?" tanya Ayah dengan ramah.

"Tidak Ayah, dia sudah pergi," jawabku dengan tenang.

"Oh. Oh ya, besok malam undang lah dia untuk makan dirumah," ajak Ayah.

"Benarkah, Yah?" tanyaku dengan antusias.

"Tentu saja," jawab Ayah sembari tersenyum. Aku pun memeluknay dengan gembira.

"Makasih, yah," ujarku.

Malam itu, Bagas sudah berada dirumahku. Aku, Ayah dan Bagas sudah duduk dimeja makan. Aku dan Ayah sedang menyantap makanan yang terhidang, namun Bagas tidak.

"Sayur yang dimasak bibi ini enaka ya..." ujar Ayah memecah keheningan. Memang sejak tadi terjadi keheningan karena hanya aku yang dapat melihat Bagas.

"Iya ya, yah. Ah sayang kamu Gas, kamu tidak bisa makan ya..." celotehku. Dan aku tersadar, Ayah hanya melihatku dengan pandangan anehnya. Memang, walau Ayah sudah mengijinkanku tetap menemui Bagas, tapi tetap saja aneh melihatku berbicara dengan Bagas namun Bagas tak terlihat oleh Ayah.

"A~a~, sudah, kalain abaikan saja aku," ucap Ayah buru-buru ketika ia menyadari aku memperhatikan ekspresi Ayah yang terlihat terkejut melihatku berbicara denagn Bagas. Suasana pun kembali hening.

"Besuk Minggu, kita pergi jalan-jalan yuk," ajakku kepada Bagas.

"Oh ya-ya, ayah akan mengosongkan jadwal Ayah Minggu besok," ujar Ayah dengan spontan.

"Ayah... aku berbicara kepada Bagas," jelasku melihat tingkah Ayah yang sedikit kaku.

"oh, ya. Maafkan ayah," pintanya yang hanya kusambut dengan senyum.

Setelah selesai makan, aku dan bagas mengobrol berdua diteras.

"Chels, sepertinya sebaiknya kita tidak bertemu lagi deh," ucap Bagas dengan lemah.

"Apa maksud'mu?" tanyaku terkejut.

"Kamu lihat ekspresi Ayahmu tadi? Kasihan beliau. Dan harusnya aku segera sadar bahwa tempatku bukan disini. Sebaiknya aku pergi saja," ucap Bagas yang mulai berjalan menjauh dariku.

"Tapi Gas, aku gak mau..." ucapku tak rela.

"Chels, sebaiknya kamu mulai mencoba mengikhlaskanku. Carilah orang yang tulus mencintaimu, orang yang bisa menjagamu. Karena aku juga pasti masih akan menjagamu.  Hiduplah dengan bahagia," ucap Bagas yang kemudian berjalan pergi meninggalkanku.

Entah kenapa, aku ingin mengejar Bagas. Aku ingin melarangnya untuk pergi. Namun, entah, tubuhku terasa berat. Terasa sulit untuk digerakkan. Aku hanya bisa diam melihat Bagas yang mulai berjalan jauh. Air mataku pun tak terbendung lagi. Aku menangis sejadinya ketika Bagas sudah tak bisa kulihat lagi.

EPILOGUE

Semenjak kepergian Bagas malam itu, aku tidak melihat Bagas lagi. Hingga hari ulangtahunku tiba. Karel dan Ayah memberiku kejutan ulangtahun. Walau aku masih merasa kehilangan dirinya, namun aku ingat apa yang diucapkannya, untuk mengikhlaskannya. Mungkin dengan aku mengikhlaskannya, dia pun akan tenang dialamnya.

Aku sedang makan malam dengan Ayah dan juga Karel dirumahku saat bel pintu berbunyi. Aku membuka pintu dan terkejut siapa gerangan yang datang.

"Hai Chels, kamu masih ingat aku bukan? Aku Bella, adik tiri Bagas. Maafkan aku waktu itu," ucap gadis yang ada didepanku yang bersama dengan seorang anak lelaki disampingnya.

"Oh, iya Bel. Aku masih ingat kamu," ucapku mencoba untuk tersenyum walau aku penasaran kenapa dia datang kesini.

"Pasti kamu penasaran kenapa aku kemari bukan? Ini, ibu Bagas menyuruhku untuk menemuimu dan menyerahkan ini padamu," jelas Bella tanpa ku tanya sambil menyerahkan sebuah kotak kecil kepadaku.

"Apa ini?" tanyaku penasaran sambil menerima kotak tersebut.

"Entahlah, ibu Bagas yang memberinya. Oh ya Chels, anak ini adalah penerima donor jantung Bagas. Ibu mengatakan, mungkin kamu ingin mengetahui anak ini," jelas Bella dengan ramah.
Bella hanya sebentar, setelah itu dia berpamitan pulang. Aku melanjutkan makanku. Aku belum mau peduli dengan apa isi kotak tersebut. Setelah selesai makan, Karel meyurhku berfoto dengan Ayah. Karel pun memotret kami.

Setelah Karel pulang, baru aku pun menyendiri dikamar dan membuka kotak yang di bawa oleh Bella tadi. Didalamnya, ada dua buah foto dan juga secarik kertas. Foto itu adalah fotoku yang diambil Bagas secara diam-diam dulu,dan yang satunya adalah foto matahari yang terlihat sangat terik. Kemudian aku membaca tulisan pada secarik kertas tersebut.

"Maafkan tante baru mengirimkan foto ini padamu sekarang, Chels. Setelah beberapa minggu, tante baru kuat untuk merapikan barang-barang peninggalan Bagas. Dua foto yang tante kirim, adalah foto-foto yang tante temukan di saku celana yang Bagas gunakan saat ia jatuh. Foto kamu selalu ia bawa kemana ia pergi, Chels. Dan foto matahari adalah foto yang ia ambil ketika hari itu dengan kamera polaroid'nya. Foto matahari tersebut terlihat indah bukan? Pasti ketika Bagas mengambil foto tersebut, ia mengingat kamu Chels. Kamu ingat malam itu waktu tante menelepon'mu Chels? Tante mendapatkan nomor kamu dari secarik kertas yang dipegang Bagas ketika dia masih koma. Namun tante pun tidak tahu dari mana ia mendapatkan kertas tersebut. Sebelum Bagas meninggal, ia sempat tersadr dari komanya. Namun ia hanya selalu menyebutkan nama kamu Chelsea. Dan kamu sudah melihat anak kecil yang menerima donor jantung Bagas bukan? Saat itu, tante pikir anak itu lebih mebutuhkan. Hingga akhirnya, atnte donorkan jantung Bagas untuk anak tersebut. Terimakasih Chelsea, telah sempat menjadi hari-hari untuk anak tante dan maafkan kesalahan Bagas." Tulisan dalam kertas tersebut.
Aku pun menangis ketika melihat 2 foto itu dan tulisan ibu Bagas. Dan tiba-tiba, handphone ku berbunyi. Karel menelponku. Dia mengatakan dia telah berada didepan pagar rumahku. Aku pun buru-buru turun untuk menemuinya kerena ada hal penting yang akan dikatakannya tentang Bagas, katanya.

"Ada apa sih Rel? Kok kaya' penting gitu," ucapku dengan tidak sabaran ketika baru membuka pintu gerbang rumahku.

"Chels, kamu lihat ini..." ucap Karel dengan tidak sabaran sambil menunjukkan sebuah foto.

"Apa ini Rel?" tanyaku sambil melihat foto tersebut.

"Ini foto yang aku ambil tadi Chels, foto kamu dan ayah kamu. Aku pulang tadi, alngsung mencetaknya dirumah. Kamu lihat hasil fotonya Chels, ada... Ada Bagas disana," ucap Karel dengan menggebu tak percaya.

Aku pun melihat foto tersebut. Dan benar saja. Ada foto Bagas difoto yang aslinya hanya foto aku dan Ayahku. Air mataku kembali mengalir keluar. Namun kali ini aku menangis bahagia. Bagas menepati janjinya. Janjinya untuk menjagaku ketika ia berpamitan meninggalkanku dulu. Ia masih berada disekitarku. Dan aku percaya itu.

Bulan pun berganti menjadi tahun. Aku masih berharap bisa melihat Bagas lagi. Namun harapan hanyalah harapan, tetap Tuhan yang menentukan. Hari itu adalah hari ulangtahunku dan juga Bagas seharusnya. Aku berharap, Bagas muncul kembali. Hanya sekedar lewat foto mungkin. Namun sayang, bahkan dalam foto, Bagas tidak pernah muncul. Namun aku tetap percaya, ia masih bersamaku.

Karel pun sempat mengutarakan perasaannya kepadaku, bahwa ia menyukaiku. Namun aku belum bisa menerimannya. Dan Karel berjanji akan tetap menungguku sampai aku bisa menerimanya.

Malam itu, setelah Karel mengutarakan perasaannya kepadaku, aku bermimpi. Ada Bagas dalam mimpiku. Namun aku tidak melihat wujud Bagas, hanya suaranya saja yang kudengar dalam mimpi.

"Chels, maafkan aku bila tak muncul lagi. Aku tak muncul bukan karena aku sudah tak menjagamu lagi. Namun, aku tahu sudah ada orang yang tepat untuk menggantikanku dalam menjagamu," suara Bagas dalam mimpiku. Tiba-tiba Karel muncul setelah suara Bagas menghilang.

Aku pun terbangun dari tidurku setelah Karel muncul. Aku kembali menangis. Apakah Bagas menginginkanku untuk bersama Karel? Kenapa dia bilang sudah ada yang tepat untuk menjagaku menggantikannya dan tiba-tiba karel muncul? Pertanyaan-pertanya itu pun seketika memenuhi pikiranku bersamaan dengan tangisanku.

~END~

Note:
Pasti banyak yang bertanya-tanya, kok gantung gitu endingnya??
Haha... Aku suka ending yang "sedikit gantung" seperti itu. Ending seperti itu lebih komunikatif untuk mengajak reader berpikir ending'nya.
Sebenernya udah dikasih tahu endingnya bagaimana, namun reader yang disuruh untuk lebih menjabarkan. Iya kan? :)
Dari judul sendiri, kalian udah tahu makna "Ever After" kan?
Pasti ada hubungan sama AfterLife lah. Jadi ya ada yang meninggal. Terus, happy'nya dimana?
Seenggaknya, happy'nya ada di Bagas yang bisa bersama Chelsea hingga kehidupan After'nya. :3

Kalau masih ada yang bingung, tanyain aja lewat twitter aku @bitaBee, chat room, atau comment di laman ini ya...
Komentar kalian juga ditunggu lho.
Makasih ^^

No comments:

Post a Comment