Genre :
Romance, Drama, Semi-horror, Fantasy
Cast :
Chelsea – Bagas – Karel – Bella
Setting Time : When
they are in the senior high school until university.
This story isn’t pure of my creativity. I adapted this story
from the original film with the same title, HAPPILY EVER AFTER. It’s an Hongkong Movie directed by Azrael Chung and Ivy Kong with writer Phillip Lui. The movie was produced in 2009 with
the cast Ken Hung and Michelle Wai. For more info, you can read in here(HAPPILY EVER AFTER).
Happy reading! ^^
PROLOGUE
Ini adalah kisah ku
dengan cinta sejatiku, Bagas. Bagas, adalah siswa pindahan yang baru masuk
kesekolahku waktu kami ditingkat dua. Dan waktu itu, aku menjabat sebagai ketua
OSIS disekolah tersebut. Aku tidak mengenalnya dari awal, karena kami bukan
teman satu kelas. Kami bertemu disaat lomba fotografi yang diadakan dalam
rangka ulangtahun sekolah kami. Kami mempunyai hobi yang sama, fotografi.
Kami sempat terpisah
dengan kenangan akhir yang menyakitkan. Dan setelah 4 tahun, aku bertemu
dengannya kembali. Namun, ayahku menyuruhku untuk melupakannya.
“Sudahlah, lupakan dia. Kamu tidak akan bisa bersamanya.
Saat ini, kamu hanya harus mengikhlaskannya,” ujar Ayahku.
“Tidak Ayah, aku sangat mencintainya. Aku ingin bersamanya,”
elakku.
“Sayang, ayah tahu bagaimana perasaanmu. Hal ini juga pernah
ayah alami ketika ayah kehilangan Ibu kamu,” jelasnya.
“Tapi aku belum kehilangan dia Ayah. Apa Ayah juga akan
tetap meninggalkan Ibu bila Ibu bisa kembali?” tanyaku dengan menahan sesak
didada. Ayahpun hanya terdiam tak menjawab pertanyaanku perihal Ibu yang
sebenarnya telah meninggalkan kami sewaktu aku masih SD karena penyakit
Leukimianya.
Sekarang, aku hanya
tinggal berdua dengan Ayahku yang merupakan seorang pengusaha. Terkadang,
Karel, sahabatku dari kecil, mampir kerumah untuk meramaikan suasana rumahku
ini. Karel yang sangat dekat dengan ayahku. Ayahku pun mengamanatkan kepada
Karel, untuk menjagaku.
Chapter 1
Pagi ini, suasana hangat dari
sinar matahari menyambut ku yang membuatku merasa lebih bersemangat untuk
jalani hari. Mulai hari ini, aku menjabat sebagai ketua Osis disekolahku
setelah waktu liburan kemarin, serah terima jabatan dilangsungkan. Dan tugas
awalku sebagai ketua OSIS adalah menjaring siswa-siswa baru untuk bergabung di
Organisasi sekolah ini. Maka, aku pun sering tampil untuk membari sambutan
ketika ada acara disekolah. Terutama ketika usai upacara bendera pada hari
Senin pagi. Dan dalam sebulan, tugas tersebut sudah kulaksanakan, maka tugas
keduaku sudah menunggu.
2 bulan lagi, ulang tahun sekolah
akan digelar. Dewan Guru telah memerintahkan OSIS untuk mengadakan beberapa
lomba untuk meramaikan acara ulangtahun tersebut. Maka, sebagai ketua OSIS, aku
pun bertindak sebagai ketua panitia. Aku mulai mengumpulkan ekskul (exstra
Kurikuler) yanga da disekolahku. Kemudian, aku mengumpulkan anggota ekskul
tersebut untuk meminta mereka menjadi panitia dalam tiap lompa sesuai ekskul
yang mereka ikuti. Dan aku pun mengeluarkan sebuah peraturan yang sudah
disepakati bersama, bahwa panitia umum (yang terdiri dari anggota OSIS) dan
panitia khusus (yang berasal dari tiap ekskul) boleh mengikuti lomba yang
diadakan, asal panitia tersebut tidak terlibat langsung untuk mengurus jalannya
lomba tersebut. Jadi, aku bisa mengikuti lomba fotografi yang diadakan.
2 minggu sebelum D-day,
pendaftaran untuk setiap lomba telah dibuka. Dan untuk lomba fotografi, foto
yang diserahkan paling lambat seminggu sebelum D-day. Maka, aku hanya mempunyai
waktu seminggu untuk memotret objek yang akan ku jadikan materi.
Hari itu hari Jumat, dimana besok
adalah hari Sabtu yang berarti sekolah libur. Karena sekolahku memang hanya
menerapkan 5 hari aktif. Selesai jam sekolah, aku memutuskan untuk tinggal
disekolah. Aku mempunyai ide untuk menjadikan sunset sebagai objek fotoku. Dan
aku berniat untuk mengambil gambar tersebut di rooftop sekolah yang memang
mempunyai tinggi yang lebih daripada gedung disekitar lokasi tersebut.
Sore itu, sekolah telah
sepikarena semua anak sudah pulang. Pukul 5pm, aku memutuskan untuk naik ke rooftop
sekolah. Aku mulai mempersiapkan kameraku dan mencoba untuk memotret
objek-objek menarik yang ada disana. Hingga sebuah suara pintu rooftop
terdengar seperti ada yang membukanya. Aku melihat kearah pintu.
Krreeeekkkkk~ *pintu terbuka*
Aku mulai melihat seorang cowok
dibalik pintu.
“Eh,” ucapnya kaget melihatku.
“Apa yang kamu lakukan disini?”
tanyaku padanya.
“Apa yang kamu lakukan juga
disini? Itu bukan urusanmu apa yang kulakukan disini,” elaknya sambil berjalan
menuju arahku yang memang tempat paling bagus untuk melihat sunset.
“Ishh, jadi yang kulakukan disini
juga bukan urusanmu,” belaku.
“Bukankah kamu ketua OSIS?”
tananya kepadaku ketika sudah berada didekatku.
“Kamu siapa? Sepertinya aku belum
pernah melihatmu,” tanyaku balik tanpa menjawab pertanyaannya.
“Lho, kamu juga membawa kamera?”
tanyanya ketika mengeluarkan kameranya dari tasnya.
Aku mulai mengira-ira apa yang
akan ia lakukan. Aku diam tak menjawabnya. Dia pun diam melihatku seperti
berpikir sesuatu. Keheningan menyergap kami untuk sementara.
“Apa kamu juga mengikuti lomba
fotografi?” tanyaku menghapus keheningan.
“Jadi, apa kita memiliki objek
yang sama untuk lomba tersebut?” Ia bertanya yang sepertinya pikiran kami sama.
Saling menebak mengikuti lomba fotografi dengan objek sunset.
“Kamu juga? Sebaiknya kamu ganti
karena aku duluan ayng berada disini,” ujarku kesal.
“Apa?” ujarnya terpotong karena
tiba-tiba hujan gerimis turun walau matahari masih bersinar. Kami pun berlari
mencari tempat berteduh. Kami masuk kembali ke area sekolah.
“Aku tidak akan mengganti
objekku, walau objek kita sama. Biarkan panitia yang menentukan siapa yang
menang,” ungkapnya dengan marah.
“Apa katamu? Baiklah, aku juga
tidak akan mengganti objekku,” ujarku dengan kesal juga.
Setelah itu, kami pun duduk terdiam
saling membelakangi. Namun cuaca tidak bersahabat. Setelah gerimis turun,
mendung baru menyusul. Akhirnya dia pergi dulu setelah waktunya matahari
terbenam, cuaca belum juga mendukung kami untuk mengabadikan terbenamnya
matahari sore itu.
Dirumah, aku menggerutu kesal
terhadap cowok tadi yang juga belum kutahu namanya.
“Nyebelin banget sih cowok tadi.
Huft. Aku juga belum pernah liat dia. Siapa ya dia? Ah, gak penting,” gerutuku
ketika mau tidur.
“Baikalah, bukannya aku mau
mengalah. Besok pagi mungkin aku perlu pergi kebukit. Untuk jaga-jaga saja.
Karena akhir-akhir ini cuaca juga tidak menentu. Pokoknya, hari Senin besok,
aku harus sudah mengumpulkan hasil fotoku,” tekadku menguat.
Maka,aku set alarmku pukul
3.30am. Aku tidak mau kesiangan. Aku ingin memotret sunrise dari bukit dekat
rumah. Aku bangun pagi agar tidak tertinggal moment munculnya sunrise tersebut.
Maka, pukul 4.30am aku sudah
berada dibukit yang kumaksud. Lagi-lagi, aku melihat sesosok cowok yang sudah
bersiap dengan kameranya menghadap kearah sunrise. Aku tidak dapat melihat
siapa cowok tersebut, karena kabut masih menyelimuti bukit tersebut. Aku
mendekatinya dengan perlahan. Namun mungkin karena gesekan suara sepatu yang
kupakai dengan rerumputan, dia menyadari kehadiranku. Dia pun menoleh kepadaku.
“Kamu?” ujarnya ketika melihatku.
Aku pun berhenti sejenak.
“Kamu? Apa yang kamu lakukan
disini? Jangan bilang kamu juga akan memotret sunrise,” sindirku setelah
melihat siapa cowok tersebut.
“Baiklah, kita main fair saja.
Aku tidak peduli bila objek kita sama. Toh, yang menentukan siapa yang menang
juga panitia kalo tidak ada nepotisme,” ujarny serasa menyindirku karena aku
ketua umum panitia lomba.
“Baiklah. Tenang saja, aku bukan
tipe orang yang suka curang,” ungkapku yang sudah berdiri disampingnya sambil
mempersiapkan kameraku.
Namun lagi-lagi, butiran air
kembali turun dengan pelan dari atas.
“Ahh, jangan lagi-lagi,” teriakku
sambil kembali merapikan kamera.
“Ayo, cepat berteduh,” ajaknya
sambil menarik tanganku.
Kami pun berlari dengan
bergandeng tangan mencari tempat berteduh. Namun karena berada diatas bukit,
kami tidak menemukan tempat permanen untuk berteduh. Hanya ada sebuah gazebo
yang berada dibawah sebuah pohon besar. Kami pun memutuskan untuk berteduh digazebo
tersebut, karena memang hanya itu satu-satunya tempat untu k berteduh yang
berada diatas bukit tersebut.
“Kamu tidak apa-apakan?” tanyanya
setelah kami berhenti berlari dan telah berada digazebo yang berada dibawah
pohon tersebut.
“A, tidak. Hanya basah saja,”
jawabku asal, sambil merapikan rambutku yang basah terkena guyuran air hujan
ketika berlari tadi.
“Aku Bagas,” katanya sambil
mengulurkan tangan kanannya. Aku hanya terdiam sejenak.
“Bahkan kita belum sempat
berkenalan, bukan?” lanjutnya.
“Chelsea,” jawabku sambil
membalas uluran tangannya.
“Iya, aku sudah tahu. Kamukan
ketua OSIS disekolah,” ungkapnya dengan bercanda.
“Tentu saja kamu harus sudah tahu
akau, aku kan populer,” balasku yang dibalasnya dengan tertawa.
Sejak itu, kami tidak kaku berbicara
lagi.
“Btw, kenapa aku sepertinya baru
kemarin melihatmu? Apa kamu anak baru? Kamu kelas apa?” tanyaku.
“Benar, aku anak baru. Baru tahun
ajaran ini aku pindah kesekolahmu. Aku kelas XI IPA 1,” ujarnya.
“Lha, aku IPA 2. Bukankah kelas
kita berdekatan? Tapi kenapa aku tidak pernah melihatmu ya?” heranku.
“Tentu saja kamu tidak pernah
melihatku. Kamu terlalu sibuk dengan OSIS, makanya tidak memperhatikan
sekitarmu,” timpalnya.
“Oh, mungkin saja,” jawabku
sambil tersenyum.
“Ngomong-ngomong, apa rumahmu dekat
sini? Pagi sekali kamu sudah sampai sini,” tanyanya.
“Tentu saja, sekitar 10 menit
dengan mobil aku sampai sini. Lalu, apa rumahmu juga daerah sini?” tanyaku
balik.
“Iya, sekitar 20 menit dengan
sepeda aku sampai sini,” jawabnya.
Hujan mulai reda, matahari juga
sudah terbit namun terlalu tinggi bila disebut sunrise. Maka, kami pun
memutuskan untuk pulang.
“Baiklah, kita main fair bukan?
Aku akan menghadapimu dengan fair,” janjiku kepadanya.
“Oke,” jawabnya singkat sambil
berlalu dengan meng-gowes sepedanya.
Entah, perasaan seperti apa yang
melandaku saat itu. Rasanya tentram dan senang saja. Dan rasa sebel terhadap
cowok yang bernama Bagas tersebut pun mulai lenyap.
Maka, pagi harinya aku memutuskan
untuk kembali kebukit karena sore kemarin juga hujan, jadi sunset pun tak dapat
kuabadikan lagi. Dan semalaman tadi, aku sudah berdoa, semoga pagi ini tidak
hujan dan Tuhan pun mengabulkan doaku.
Aku keluar rumah lebih pagi. Jam
4am kurang aku sudah pergi dengan diiringi bintang yang masih berkelip dilangit.
Namun kali ini, aku memakai sepeda bukan mobil lagi untuk menuju bukit
tersebut.
“Kamu datang kesini lagi?” suara
seorang pria menyambutku ketika tiba diatas bukit.
“Bagas?” tanyaku memastikan suara
siapa yang bertanya kepadaku. Setelah dekat dengan posisi dimana pria tadi
berdiari, aku pun memastiakns endiri bahwa benar dia Bagas.
“tentu saja, bukankah aku bilang
kita akan bermain fair. Aku tidak peduli walau objek kita sama, tetap saja yang
menentukan pemenangnya adalah panitia
fotografi,” jelasku.
“Baiklah, kita lihat siapa yang
menang,” ujarnya sambil tersenyum yang kubelas dengan senyuman juga.
Cuaca pagi ini benar-benar
bersahabat. Tak ada kabut bahkan hujan yang datang menghampiri kami. Dan
kamipun sibuk mengabadikan kehadiran matahari yang baru muncul dari
persembunyiannya.
Selesai memotret, kamipun
bersantai sejenak diatas bukit. Aku dan Bagas tiduran diatas rerumputaan hijau
dipadang yang luas tersebut. Pagi itu, kami benar-benar menikmati keindahan
yang disajiakan oleh alam. Burung-burung berterbanagn mulai meninggalkan
sarangnya untuk mencari makan, kupu-kupu pun mulai bekerja mengumpulkan madu
dari bunga-bunga yang tumbuh dibukit tersebut. Benar-benar alam telah
memanjakan kami.
Setalah dirasa senagatn matahari
yang mulai panas dan perut yang mulai keronconagan, aku dan Bagas pun
memutuskan untuk pulang. Dan Bagas pun terkejut ketika kami telah sampai dibawah
bukit, dia melihat aku dengan sepedakau.
“Kamu, pake sepeda kesininya?”
tanay nay padaku dengan terkejut.
“Iya, memang kenapa?” tanayku dengan
polos.
“Oh, tidak apa-apa,” jawabnya
sambil tersenyum.
Kami pun menggayuh sepeda
bebarengan. Dan ternyata rumahku lebih dekat daripada rumah Bagas. Untuk
kesopanan, aku menagjak Bagas untuk mampir sarapan dirumahku. Namun ia
menolaknya. Ia hanya mengantarku sampai depan rumahku. Dan dia pun segera
berlalu.
Hari Senin pun tiba kembali,
waktunya kembali bersekolah. Dan bel sekolah pun telah berbunyi dua kali,
menandakan waktu istirahat baru dimulai. Setealah guru membubarkan siswa untuk
beristirahat, aku langsung berlari menuju stand pendaftaran lomba fotografi
yang berada di depan ruang OSIS.
“Ini aku daftar ya. Oh ya, jangan
mentang-mentang aku ketua OSIS’nya kalian memengkanku ya...” candaku kepada
panitia yang sedang menajaga stand pendaftaran tersebut.
“Haha... Tentu dong bu ketu...”
balas mereka yang memang biasa memanggilku ibu ketu(a) sesuai jabatanku sebagai
Ketua OSIS.
“Harus dong, jangan
mentang-mentang panitianya terus dimenangin,” suara cowok yang baru saja berada
disampingku sambil membawa amplop besar yang kemungkinan berisi foto dan
formulir pendaftaran lomba foto juga.
“Eh, kamu juga daftar hari ini?”
tanyaku secara spontan kepada cowok tersebut yang ternyata Bagas.
“Ya iyalah, lebih cepat lebih
baik bukan,” jawabnya singkat.
Kami menunggu sejenak didepan
stand pendaftaran sembari menunggu panitia selesai mengecheck berkas
pendaftaran kami.
“Ini, objek kalian mirip,”
komentar Difa yang merupakan ketua ekskul Fotografi yang juga sedang menjaga
stand pendaftaran.
“Iya, makanya, jangan pandang aku
sebagai ketua langsung aku dimenangkan ya. Kalian bisa fair kan?” tegasku
sambil melihat Bagas yang hanya tersenyum.
“Oke-oke. Ya udah, berkas kalian
juga udah lengkap kok,” timpal Difa.
“Pengumuman pemenangnya udah tahu
kapan kan?” canda Difa.
Aku dan Bagaspun meninggalkan
stand tersebut.
“Pengumuman pemenang, diumumin
waktu puncak ultah sekolah kan?” tanya Bagas kepadaku.
“Iya, besuk Sabtu. Jadi Sabtu
besuk kita tetap berangkat sekolah untuk menikmati pesta yang telah kami
persiapkan,” jelasku.
Kemudian aku dan Bagas pun
berpisah. Karel, sahabat dari kecilku yang sekarang menjabat sebagai wakil
ketua OSIS, sudah menungguku diujung lorong. Aku dan Karel segera harus menuju
ruang Dewan Guru untuk rapat mengenai detail acara Sabtu besuk. Sedangkan
Bagas, katanya dia ingin balik kekelas saja.
“Siapa itu tadi Chels?” tanay
Karel ketika aku sudah didekatnya.
“Cowok tadi? Itu anak baru kelas
IPA 1,” jawabku seadanya.
“Kok udah keliatan deket aja sama
kamu Chels?” tanyanya layaknya seorang detektif.
“Apa’an sih kamu? Enggak juga
kok,” jawabku sekenanya.
Karel pun mulai diam tak bertanya
setelah mendengar jawaban males-malesanku tadi. Aku mulai mengingat Bagas. Sejenak
berjalan dengan Bagas tadi, adalah kali pertama aku bertemu dengannya
dikeramaian sekolah. Dan aku perhatikan, dia anak baru yang cukup populer.
Semenjak berjalan atdi, aku perhatikan banyak anak cewek disekolahku yang
diam-diam dengan malu-malu memperhatikan Bagas. Secara fisik, Bagas memang
cowok ideal. Tubuhnya tinggi beasar ditambah kharisma yang muncul. Tidak
mengherankan bila dia banayk dikagumi.
Hari-hari berikutnya, aku hanya
bertemu sekilas dengan Bagas ketika berjalan disekolah. Ternyata setelah kenal,
sering juga kami bertemu walau hanya sekilas. Dan biasanya sapaan kami hanay
saling tersenyum, tanpa berbincang panjang lebar lagi. Aku pun tersibukkan
dengan persiapan acara ulang tahun sekolah Sabtu besuk.
Hari Sabtu pun tiba. Acara pesta
ulang tahun sekolah dibuka dengan doa bersama, kemudian potong tumpeng oleh
kepala sekolah dilanjutkan perlombaan seru-seruan yang telah disiapakan. Dan
pengumuman pemeng lomba baru akan diumumkan diakhir acara tersebut. Kira-kira
sore nanti. Aku benar-benar sibuk saat itu. Dan baru bisa bersantai setelah
tinggal acara pengumuman dan penyerahan hadiah lomba yang dimulai siang hari.
Padahal acara telah dimulai sejak pukul 8 tadi pagi.
Maka, pengumuman pemenang lomba
fotografi pun akan segera terungkap. Difa sebagai ketua panitia lomba, telah
mengumumkan pemenang ke-2 dan ke-3 lomba fotografi. Dan diantara dua pemenang
tersebut, namaku dan nama Bagas belum tersebut. Dan ini membuatku semakin
tegang hingga Difa mengumumkan,
“Untuk juara satu ini, kami
sebagai panitia sangat bingung untuk memutuskan. Ada dua foto yang menari
perhatian dengan objek yang menarik dan hasil foto yang bagus. Terlebih lagi,
objek foto dari keduanya adalah sama,” ungkap Difa. Aku yang sudah berdiri
didepan panggung secara reflek mengarah kearah Bagas yang sedari tadi berada
disamping panggung. Bagas pun sedang memandangiku. Mungkin akrena juga
mendengar ucapan Difa yang menyebutkan objek kedua foto sma. Maka, akmi pun
was-was menunggu kealnjutan apa yang akan diomongin oleh Difa.
“Ya, kedua foto ini memiliki
objek yang sama. Dan hebatnya, hasil keduannya pun memuaskan. Maka kami juri
memutuskan, akan ada dua pemenang untuk juara pertaam. Dan keputusan juru ini
tidak bisa diganggu gugat,” ungkap Difa yang membuatku semakin gugup.
“Dan pemanangnya adalah.....”
lama Difa tidak menyebutkan.
“Pemenangnya adalah Chelsea dan
Bagas...” teriak Difa yang disambut sorak-sorai penonton lain.
Aku pun dengan riangnya naik
kepanggung untuk menerima pialaku. Ya, pialaku. Namun aku kemudian ingat ada
dua orang pemenang, aku dan Bagas. Maka panitia pun hanya memberikan satu piala
untuk kami, aku dan Bagas. Untuk piagam, masing-masing dari kami, mendapat satu
tentunya.
Aku dan Bagas pun sempat adu
mulut dengan suara pelan diatas panggung setelah piala kami terima. Kami
merebutkan, siapa yang akan membawa piala tersebut. Setelah turun panggung,
kami pun bersepakat, minggu pertama piala akan ku bawa, minggu kedua piala
tersebut akan disimpan Bagas dan berlanjut bergilir untuk minggu selanjutnya.
Dan bukit dekat rumah, adalah tempat pertemuan kami untuk menyerahkan piala tiap
Sabtunya.
Sudah satu bulan semenjak
pengumuman pemenang lomba fotografi berlangsung, aku semakin dekat dengan
Bagas. Tentunya karena setiap Sabtu aku bertemu dengannya dibukit dan kami
menghabiskan pagi bersama disana. Dan Sabtu ke-5 ini, Bagas mengajakku untuk
hunting foto ke Bogor. Kami akan pergi pagi sekali dengan kereta, dan pualang
pada sore harinya.
Hari ini, Sabtu ke-5 piala kami,
aku bersamanya. Pukul 6 pagi, Bagas menjemputku dengan sepeda motor sport’nya.
Kami menuju stasiun kereta api Manggarai karena kami memang akan menggunakan
KomuterLine untuk menuju Bogor. Didalam kereta, kami semakin akrab. Kami sudah
mulai menjepret objek menarik selama perjalanan.
Setelah satu jam’an, pukul 9 pagi
kami sampai di stasiun Bogor. Karena Bagas sudah mulai lapar lagi, maka kami
menuju taman Topi dimana disana banyak penjual makanan. Selain itu, kami juga
bisa hunting foto di taman tersebut. Sekitar 2 jam kami tinggal ditaman
tersebut. Selanjutnya, kami menuju Istana Bogor dan juga Kebun Raya Bogor. Disana,
banyak sekali objek hunting yang bisa kami ambil. Aku lebih suka memoteret
alam, sedangkan Bagas, selalu memintaku untuk dijadikan modelnya. Karena pada
dasarnya aku juga suka difoto, maka akupun mengiyakan.
Pukul 5 sore, kami baru sampai
stasiun Bogor kembali. Padal tiket yang kami beli baru jam 7 malam kereta
datang. Maka, waktu dua jam itu kami masih saja menghabiskan dengan mengambil
gambar disekitaran stasiun. Walau tubuh ini sudah terasa capek benar.
Kereta telah meninggalkan stasiun
Bogor, aku dan Bagas sudah berada didalamnya. Sore itu, kereta tidak terlalu
padat. Karena kami saling merasa capek dan ingin istirahat dengan area yang
luas, maka Bagas duduk dikursi belakangku. Saat dikereta, aku pun lelap
tertidur dan baru bangun setelah sampai di stasiun Manggarai kembali dengan
Bagas yang telah duduk disampingku membangunkanku.
Bagas tidak alngsung menagntarku
pulang. Dia mengajakku untuk makan disekitaran stasiun dulu. Disebuah warung
makan kecil dengan duduk lesehan. Lagi-lagi, Bagas menjadikanku objek fotonya.
Pukul 09.30 malam, aku baru
sampai rumah dengan diantar oleh Bagas. Bagas hanya mengantarku sampai depan
rumah saja, dia tidak enak bial ahrus mampir karena sudah larut malam. Dari
rumah deapn rumahku, aku merasa seperti diawasi ketika Bagas tengah berpamitan
kepadaku. Dan setelah bagas pergi, si penguntit muncul yang bukan lain adalah
Karel, sahabatku dari kecil yang memang rumahnya depan rumahku.
“Baru pulang? Itu tadi Bagas ya?”
tanya Karel sambil keluar dari pintu gerbang rumahnya.
“Kamu Rel, mau kemana malam-malam
gini keluar?” basa-basiku.
“Mau cari makan di depan, orang
rumah dah pada tidur. Eh, kamu belum jawab, itu tadi Bagas ya?” tanyanya dengan
mendekatiku.
“Oh, iya. Tadi kita habis hunting
foto di Bogor,” jawabku.
“Di Bogor? Berdua aja?” tanyanya
tanpa sabaran.
“Iya, berdua. Kenapa sih Rel?
Khawatir gitu ekspresinya? Udah sana, cari makan, dah kelaparan tuh. Lagian aku
dah capek, aku masuk dulu ya,” pamitku sambil masuk gerbang rumah.
“Eh, tapi Chels....” tolaknya
yang terpotong karena aku sudah berlalu.
Setelah bersih-bersih, aku pun
segera menuju tempat tidur. Namun, aku penasaran juga dengan hasil jepretanku
tadi. Sambil melihat-lihat ulang hasil fotoku, aku menerima kabar bahwa Bagas
telah sampai dirumahnya dengan selamat. Aku pun tertidur dengan kameraku yang
masih ku pegang.
Sabtu-sabtu berikutnya pun aku
habiskan dengan Bagas. Namun bila disekolah, kami jarang terlihat bersama
memang, ya karena kesibukanku sebagai ketua OSIS tersebut. Sabtu-sabtu
selanjutnya, bila ku dan Bagas mempunyai waktu cukup luang, sering kami pergi hunting foto bersama.
Sekedar hunting disekitaran bukit, keliling Jakarta, hingga ke Bandung berdua.
Tibalah pada Sabtu pertama di
bulan Maret, Sabtu minggu depan adalah tanggal 12 dimana aku ulang tahun. Ya,
ulang tahunku adalah 12 Maret*. Sabtu itu, hanya kami habiskan dibukit
tersebut. Dan Bagas mengajakku untuk Sabtu depan, pukul 2 siang pergi
bersamanya. Sedikit mengherankan memang, apa dia tahu kapan ulangtahunku?
Sabtu, 12 Maret pun tiba. Pukul 1
siang Bagas sudah menjemputku. Kali ini, Bagas berpenampilan sangat rapi. Dia
memboncengkan aku, tanpa memberitahuku kemana kami akan pergi.
Kami telah sampai disebuah cafe
yang sepertinya telah didekor ulang. Bagas pun mengajakku masuk. Didalam, sudah
banyak teman sekolahku yang tengah menikmati hidangan yang tersedia. Seorang
gadis yang belum kukeanl menghampiri Bagas, namun Bagas cuekkin. Bagaspun pamit
kepadaku untuk naik kelantai atas sejenak. Ia meninggalkanku dikerumunan
teman-teman sekolahku.
Gadis itu mendekatiku, dan
menyapaku.
“Hai, kamu Chelsea ya? Bagas
sering sekali bercerita tentang kamu,” sapanya ramah.
“Hai, kamu siapa ya?” balas ku
dengan heran.
“Oh, aku Bella, pacarnya Bagas,”
jawabnya dengan tetap tersenyum dan mengulurkan tangannya.
Pengakuan gadis ini membuatku
speechless dan mematung. Entah perasaan apa ini. Memang benar selama ini tidak
ada kata jadian antara aku dan Bagas. Namun kedekatan kami, aku kira sudah
melebihi dari pertemanan biasa.
“Oh ya, kamu sudah tahukan ini
pesta untuk apa? Hari ini Bagas ulangtahun. Ini pesta ulangtahunnya sekaligus
pesta perpisahan untuknya. Karena dia akan pergi ke Prancis untuk melanjutkan
sekolahnya mengikuti tugas ayahnya. Tentunya aku akan ikut bersamannya,”
lanjutnya yang semakin membuatku speechless.
Kalimat pengakuan gadis yang
berada didepanku ini, membuat duniaku seakan berhenti sejenak. Aku tidak bisa
menggerakkan tubuhku hanya untuk sekedar membalas senyumnya saja. Hingga sosok
Bagas kulihat sedang turun dari tangga.
Aku pun segera membalikkan
tubuhku dengan butiran asin telah keluar dari pelupuk mataku. Sayangnya, tanpa
sengaja ketika aku berbalik, aku menyenggol gelas seseorang yang menyebabkan
air minum didalamnya tumpah kebaju ku dan juga baju orang yang membawa gelas
tersebut. Kulihat siapa orang yang membawa gelas tersebut yang ternayta adalah
Karel.
Karel melihatku menangis. Dia
mencoba menenangkanku. Aku pun memeluk sahabat sedari kecilku ini. Bagas yang
sudah turun pun mendekatiku dan mencoba untuk menyentuh lenganku. Tanpa berpikir
panjang lagi, aku berbalik dan segera menampar pipi Bagas. Bagas terkejut. Ia
menjatuhkan kotak yang sepertinya ia ambil dari lantai atas tadi. Bagas masih
mencoba dengan tenagn bertanya padaku,
“ada apa?” tanyanya.
“Ada apa kamu bilang? Apa kamu
sengaja mempermainkanku? Kamu akan pergi ke Prancis bukan? Dengan gadis itu?”
ucapku menggebu-gebu sambil menunjuk gadis yang memperkenalkan namanya tadi,
Bella.
Bagas hanya diam saja dan masih
memegang pipinya yang kena tamparanku tadi. Raut mukanya telah berubah mejadi
merah. Sepertinya ia mulai marah atas tuduhan-tuduhanku tadi. Bagas pun mulai
menginjak-injak kotak yang terbuat dari kardus yang ia jatuhkan tadi.
“Benar, aku akan segera berangkat
ke Kanada. Dan aku akan pergi dengan Bella,” ucapnya kemudian menarik tanagn
Bella keluar dari Cafe tersebut.
Aku hanya bisa terdiam melihat
kepergiannya. Karel mencoba menenangkanku kembali. Namun emosi yang memuncak
ini tidak bisa kutahan lagi. Aku pun keluar dari Cafe tersebut dengan air mata
yang semakin deras keluar.
Aku tiba dirumah dengan air mata
yang masih keluar. Ayah telah menungguku sedari tadi. Ia mencegatku ketika aku
akan masuk kamar. Ayah terlihat khawatir. Ia menyuruhku untuk meniup lilin kue
ulangtahunku yang telah ia siapkan sedari tadi. Namun aku cuek. Aku sudah tidak
kuat untuk berpikir logis lagi. Aku masuk kamarku dengan membanting pintunya.
Ayah hanya terhenyak melihatnya.
Ku tengah berada dikamarku ketika
Karel mengetuk pintu kamarku.Mataku masih lebam karena sedari tadi aku
menangis. Aku pun membukakan pintu untuk Karel.
“Ini sepertinya untuk kamu,”
ujarnya sembari mengulurkan kotak yang yang diinjak-injak oleh Bagas tadi.
“Baiklah, sepertinya aku harus
cepat pulang. Istirahatlah,” lanjut Karel yang menyadari keheningan yang
kuciptakan.
Setelah aku menutup pintu, aku
pun membuang kotak tersebut ketempat sampah dekat meja belajarku. Tanpa kubuka,
aku membuangnya begitu saja dan beranjak ketempat tidur. Namun, aku penasaran
juga dengan apa isinya. Maka, aku bangun kembali dan mengambil kotak tersebut
dari kotak sampah.
Aku mulai membuka kotak tersebut
yang ternyata terisi penuh dengan foto-foto. Foto teratas yang kulihat adalah
foto piala lomba fotografi kami. Dibalik foto terdapat tulisan;
“Aku sudah memotretnya. Pialanya untuk kamu saja. Aku akan menyimpan fotonya. ^^” tulisnya.
Masih banyak foto didalam kotak
tersebut. Foto-foto yang mengabadikan diriku didalamnya. Foto-foto yang ia
ambil secara diam-diam tanpa aku sadari. Dan disetiap foto, ia tulisi
komentarnya. Ada juga sebuah note ayng ia tuliskan untukku diakhir tumpukan
foto-foto tadi,
“Aku tidak tahu sebelumnya bila ulang tahun kita sama. Ini sangat menakjubkan bertemu orang yang memiliki tanggal kelahiran sama bukan? Selamat ulang tahun, Chels. Semoga kadoku ini, bisa menggambarkan bagaimana perasaanku kepadamu yang sebenarnya.”
Aku kembali menangis membaca apa yang ia tulis. Aku sadar, dia memang benar-benar menyukaiku hingga banyak mengambil foto-fotoku secara diam-diam begini. Namun, aku tadi telah melakukan kesalahan besar. Menamparnya juga memakinya dengan keras dihadapan banyak teman.
-TBC-
Note :
Cerbung ini hanya 2 part. Udah jadi, namun masalahku selalu berhubungan dengan koneksi. Besok semoga bisa posting. Aamiin.
12 Maret* sbg hari ultah mereka juga ada teorinya. Tp sprtinya rahasia saja ah. :D
Harusnya tanggal 26 Desember yah... :( *myweakness
Kalau ada yang bingung tentang cerita atau istilah dalam cerbung, tanyain aja lewat twitter aku @bitaBee, chat room, atau comment di laman ini ya...
Komentar kalian juga ditunggu lho.
Makasih :)
No comments:
Post a Comment