Wednesday 29 January 2014

Happily Ever After (part 1)



Cerita ini aku ambil dari sebuah film yang ceritanya beda dari yang lain dengan judul yang sama.
Genre                 : Romance, Drama, Semi-horror, Fantasy
Cast                   : Chelsea – Bagas – Karel – Bella
Setting Time       : When they are in the senior high school until university.

This story isn’t pure of my creativity. I adapted this story from the original film with the same title, HAPPILY EVER AFTER. It’s an Hongkong Movie directed by Azrael Chung and Ivy Kong with writer Phillip Lui. The movie was produced in 2009 with the cast Ken Hung and Michelle Wai. For more info, you can read in here(HAPPILY EVER AFTER).

Happy reading! ^^


PROLOGUE

Ini adalah kisah ku dengan cinta sejatiku, Bagas. Bagas, adalah siswa pindahan yang baru masuk kesekolahku waktu kami ditingkat dua. Dan waktu itu, aku menjabat sebagai ketua OSIS disekolah tersebut. Aku tidak mengenalnya dari awal, karena kami bukan teman satu kelas. Kami bertemu disaat lomba fotografi yang diadakan dalam rangka ulangtahun sekolah kami. Kami mempunyai hobi yang sama, fotografi.

Kami sempat terpisah dengan kenangan akhir yang menyakitkan. Dan setelah 4 tahun, aku bertemu dengannya kembali. Namun, ayahku menyuruhku untuk melupakannya.

“Sudahlah, lupakan dia. Kamu tidak akan bisa bersamanya. Saat ini, kamu hanya harus mengikhlaskannya,” ujar Ayahku.

“Tidak Ayah, aku sangat mencintainya. Aku ingin bersamanya,” elakku.

“Sayang, ayah tahu bagaimana perasaanmu. Hal ini juga pernah ayah alami ketika ayah kehilangan Ibu kamu,” jelasnya.

“Tapi aku belum kehilangan dia Ayah. Apa Ayah juga akan tetap meninggalkan Ibu bila Ibu bisa kembali?” tanyaku dengan menahan sesak didada. Ayahpun hanya terdiam tak menjawab pertanyaanku perihal Ibu yang sebenarnya telah meninggalkan kami sewaktu aku masih SD karena penyakit Leukimianya.

Sekarang, aku hanya tinggal berdua dengan Ayahku yang merupakan seorang pengusaha. Terkadang, Karel, sahabatku dari kecil, mampir kerumah untuk meramaikan suasana rumahku ini. Karel yang sangat dekat dengan ayahku. Ayahku pun mengamanatkan kepada Karel, untuk menjagaku.


Chapter 1

Pagi ini, suasana hangat dari sinar matahari menyambut ku yang membuatku merasa lebih bersemangat untuk jalani hari. Mulai hari ini, aku menjabat sebagai ketua Osis disekolahku setelah waktu liburan kemarin, serah terima jabatan dilangsungkan. Dan tugas awalku sebagai ketua OSIS adalah menjaring siswa-siswa baru untuk bergabung di Organisasi sekolah ini. Maka, aku pun sering tampil untuk membari sambutan ketika ada acara disekolah. Terutama ketika usai upacara bendera pada hari Senin pagi. Dan dalam sebulan, tugas tersebut sudah kulaksanakan, maka tugas keduaku sudah menunggu.

2 bulan lagi, ulang tahun sekolah akan digelar. Dewan Guru telah memerintahkan OSIS untuk mengadakan beberapa lomba untuk meramaikan acara ulangtahun tersebut. Maka, sebagai ketua OSIS, aku pun bertindak sebagai ketua panitia. Aku mulai mengumpulkan ekskul (exstra Kurikuler) yanga da disekolahku. Kemudian, aku mengumpulkan anggota ekskul tersebut untuk meminta mereka menjadi panitia dalam tiap lompa sesuai ekskul yang mereka ikuti. Dan aku pun mengeluarkan sebuah peraturan yang sudah disepakati bersama, bahwa panitia umum (yang terdiri dari anggota OSIS) dan panitia khusus (yang berasal dari tiap ekskul) boleh mengikuti lomba yang diadakan, asal panitia tersebut tidak terlibat langsung untuk mengurus jalannya lomba tersebut. Jadi, aku bisa mengikuti lomba fotografi yang diadakan.

2 minggu sebelum D-day, pendaftaran untuk setiap lomba telah dibuka. Dan untuk lomba fotografi, foto yang diserahkan paling lambat seminggu sebelum D-day. Maka, aku hanya mempunyai waktu seminggu untuk memotret objek yang akan ku jadikan materi.

Hari itu hari Jumat, dimana besok adalah hari Sabtu yang berarti sekolah libur. Karena sekolahku memang hanya menerapkan 5 hari aktif. Selesai jam sekolah, aku memutuskan untuk tinggal disekolah. Aku mempunyai ide untuk menjadikan sunset sebagai objek fotoku. Dan aku berniat untuk mengambil gambar tersebut di rooftop sekolah yang memang mempunyai tinggi yang lebih daripada gedung disekitar lokasi tersebut.

Sore itu, sekolah telah sepikarena semua anak sudah pulang. Pukul 5pm, aku memutuskan untuk naik ke rooftop sekolah. Aku mulai mempersiapkan kameraku dan mencoba untuk memotret objek-objek menarik yang ada disana. Hingga sebuah suara pintu rooftop terdengar seperti ada yang membukanya. Aku melihat kearah pintu.

Krreeeekkkkk~ *pintu terbuka*

Aku mulai melihat seorang cowok dibalik pintu.

“Eh,” ucapnya kaget melihatku.

“Apa yang kamu lakukan disini?” tanyaku padanya.

“Apa yang kamu lakukan juga disini? Itu bukan urusanmu apa yang kulakukan disini,” elaknya sambil berjalan menuju arahku yang memang tempat paling bagus untuk melihat sunset.

“Ishh, jadi yang kulakukan disini juga bukan urusanmu,” belaku.

“Bukankah kamu ketua OSIS?” tananya kepadaku ketika sudah berada didekatku.

“Kamu siapa? Sepertinya aku belum pernah melihatmu,” tanyaku balik tanpa menjawab pertanyaannya.

“Lho, kamu juga membawa kamera?” tanyanya ketika mengeluarkan kameranya dari tasnya.

Aku mulai mengira-ira apa yang akan ia lakukan. Aku diam tak menjawabnya. Dia pun diam melihatku seperti berpikir sesuatu. Keheningan menyergap kami untuk sementara.

“Apa kamu juga mengikuti lomba fotografi?” tanyaku menghapus keheningan.

“Jadi, apa kita memiliki objek yang sama untuk lomba tersebut?” Ia bertanya yang sepertinya pikiran kami sama. Saling menebak mengikuti lomba fotografi dengan objek sunset.

“Kamu juga? Sebaiknya kamu ganti karena aku duluan ayng berada disini,” ujarku kesal.

“Apa?” ujarnya terpotong karena tiba-tiba hujan gerimis turun walau matahari masih bersinar. Kami pun berlari mencari tempat berteduh. Kami masuk kembali ke area sekolah.

“Aku tidak akan mengganti objekku, walau objek kita sama. Biarkan panitia yang menentukan siapa yang menang,” ungkapnya dengan marah.

“Apa katamu? Baiklah, aku juga tidak akan mengganti objekku,” ujarku dengan kesal juga.

Setelah itu, kami pun duduk terdiam saling membelakangi. Namun cuaca tidak bersahabat. Setelah gerimis turun, mendung baru menyusul. Akhirnya dia pergi dulu setelah waktunya matahari terbenam, cuaca belum juga mendukung kami untuk mengabadikan terbenamnya matahari sore itu.

Dirumah, aku menggerutu kesal terhadap cowok tadi yang juga belum kutahu namanya.

“Nyebelin banget sih cowok tadi. Huft. Aku juga belum pernah liat dia. Siapa ya dia? Ah, gak penting,” gerutuku ketika mau tidur.

“Baikalah, bukannya aku mau mengalah. Besok pagi mungkin aku perlu pergi kebukit. Untuk jaga-jaga saja. Karena akhir-akhir ini cuaca juga tidak menentu. Pokoknya, hari Senin besok, aku harus sudah mengumpulkan hasil fotoku,” tekadku menguat.

Maka,aku set alarmku pukul 3.30am. Aku tidak mau kesiangan. Aku ingin memotret sunrise dari bukit dekat rumah. Aku bangun pagi agar tidak tertinggal moment munculnya sunrise tersebut.

Maka, pukul 4.30am aku sudah berada dibukit yang kumaksud. Lagi-lagi, aku melihat sesosok cowok yang sudah bersiap dengan kameranya menghadap kearah sunrise. Aku tidak dapat melihat siapa cowok tersebut, karena kabut masih menyelimuti bukit tersebut. Aku mendekatinya dengan perlahan. Namun mungkin karena gesekan suara sepatu yang kupakai dengan rerumputan, dia menyadari kehadiranku. Dia pun menoleh kepadaku.

“Kamu?” ujarnya ketika melihatku. Aku pun berhenti sejenak.

“Kamu? Apa yang kamu lakukan disini? Jangan bilang kamu juga akan memotret sunrise,” sindirku setelah melihat siapa cowok tersebut.

“Baiklah, kita main fair saja. Aku tidak peduli bila objek kita sama. Toh, yang menentukan siapa yang menang juga panitia kalo tidak ada nepotisme,” ujarny serasa menyindirku karena aku ketua umum panitia lomba.

“Baiklah. Tenang saja, aku bukan tipe orang yang suka curang,” ungkapku yang sudah berdiri disampingnya sambil mempersiapkan kameraku.

Namun lagi-lagi, butiran air kembali turun dengan pelan dari atas.

“Ahh, jangan lagi-lagi,” teriakku sambil kembali merapikan kamera.

“Ayo, cepat berteduh,” ajaknya sambil menarik tanganku.

Kami pun berlari dengan bergandeng tangan mencari tempat berteduh. Namun karena berada diatas bukit, kami tidak menemukan tempat permanen untuk berteduh. Hanya ada sebuah gazebo yang berada dibawah sebuah pohon besar. Kami pun memutuskan untuk berteduh digazebo tersebut, karena memang hanya itu satu-satunya tempat untu k berteduh yang berada diatas bukit tersebut.

“Kamu tidak apa-apakan?” tanyanya setelah kami berhenti berlari dan telah berada digazebo yang berada dibawah pohon tersebut.

“A, tidak. Hanya basah saja,” jawabku asal, sambil merapikan rambutku yang basah terkena guyuran air hujan ketika berlari tadi.

“Aku Bagas,” katanya sambil mengulurkan tangan kanannya. Aku hanya terdiam sejenak.

“Bahkan kita belum sempat berkenalan, bukan?” lanjutnya.

“Chelsea,” jawabku sambil membalas uluran tangannya.

“Iya, aku sudah tahu. Kamukan ketua OSIS disekolah,” ungkapnya dengan bercanda.

“Tentu saja kamu harus sudah tahu akau, aku kan populer,” balasku yang dibalasnya dengan tertawa.

Sejak itu, kami tidak kaku berbicara lagi.

“Btw, kenapa aku sepertinya baru kemarin melihatmu? Apa kamu anak baru? Kamu kelas apa?” tanyaku.

“Benar, aku anak baru. Baru tahun ajaran ini aku pindah kesekolahmu. Aku kelas XI IPA 1,” ujarnya.

“Lha, aku IPA 2. Bukankah kelas kita berdekatan? Tapi kenapa aku tidak pernah melihatmu ya?” heranku.

“Tentu saja kamu tidak pernah melihatku. Kamu terlalu sibuk dengan OSIS, makanya tidak memperhatikan sekitarmu,” timpalnya.

“Oh, mungkin saja,” jawabku sambil tersenyum.

“Ngomong-ngomong, apa rumahmu dekat sini? Pagi sekali kamu sudah sampai sini,” tanyanya.

“Tentu saja, sekitar 10 menit dengan mobil aku sampai sini. Lalu, apa rumahmu juga daerah sini?” tanyaku balik.

“Iya, sekitar 20 menit dengan sepeda aku sampai sini,” jawabnya.

Hujan mulai reda, matahari juga sudah terbit namun terlalu tinggi bila disebut sunrise. Maka, kami pun memutuskan untuk pulang.

“Baiklah, kita main fair bukan? Aku akan menghadapimu dengan fair,” janjiku kepadanya.

“Oke,” jawabnya singkat sambil berlalu dengan meng-gowes sepedanya.

Entah, perasaan seperti apa yang melandaku saat itu. Rasanya tentram dan senang saja. Dan rasa sebel terhadap cowok yang bernama Bagas tersebut pun mulai lenyap.

Maka, pagi harinya aku memutuskan untuk kembali kebukit karena sore kemarin juga hujan, jadi sunset pun tak dapat kuabadikan lagi. Dan semalaman tadi, aku sudah berdoa, semoga pagi ini tidak hujan dan Tuhan pun mengabulkan doaku.

Aku keluar rumah lebih pagi. Jam 4am kurang aku sudah pergi dengan diiringi bintang yang masih berkelip dilangit. Namun kali ini, aku memakai sepeda bukan mobil lagi untuk menuju bukit tersebut.

“Kamu datang kesini lagi?” suara seorang pria menyambutku ketika tiba diatas bukit.

“Bagas?” tanyaku memastikan suara siapa yang bertanya kepadaku. Setelah dekat dengan posisi dimana pria tadi berdiari, aku pun memastiakns endiri bahwa benar dia Bagas.

“tentu saja, bukankah aku bilang kita akan bermain fair. Aku tidak peduli walau objek kita sama, tetap saja yang menentukan pemenangnya  adalah panitia fotografi,” jelasku.

“Baiklah, kita lihat siapa yang menang,” ujarnya sambil tersenyum yang kubelas dengan senyuman juga.

Cuaca pagi ini benar-benar bersahabat. Tak ada kabut bahkan hujan yang datang menghampiri kami. Dan kamipun sibuk mengabadikan kehadiran matahari yang baru muncul dari persembunyiannya.

Selesai memotret, kamipun bersantai sejenak diatas bukit. Aku dan Bagas tiduran diatas rerumputaan hijau dipadang yang luas tersebut. Pagi itu, kami benar-benar menikmati keindahan yang disajiakan oleh alam. Burung-burung berterbanagn mulai meninggalkan sarangnya untuk mencari makan, kupu-kupu pun mulai bekerja mengumpulkan madu dari bunga-bunga yang tumbuh dibukit tersebut. Benar-benar alam telah memanjakan kami.

Setalah dirasa senagatn matahari yang mulai panas dan perut yang mulai keronconagan, aku dan Bagas pun memutuskan untuk pulang. Dan Bagas pun terkejut ketika kami telah sampai dibawah bukit, dia melihat aku dengan sepedakau.

“Kamu, pake sepeda kesininya?” tanay nay padaku dengan terkejut.

“Iya, memang kenapa?” tanayku dengan polos.

“Oh, tidak apa-apa,” jawabnya sambil tersenyum.

Kami pun menggayuh sepeda bebarengan. Dan ternyata rumahku lebih dekat daripada rumah Bagas. Untuk kesopanan, aku menagjak Bagas untuk mampir sarapan dirumahku. Namun ia menolaknya. Ia hanya mengantarku sampai depan rumahku. Dan dia pun segera berlalu.

Hari Senin pun tiba kembali, waktunya kembali bersekolah. Dan bel sekolah pun telah berbunyi dua kali, menandakan waktu istirahat baru dimulai. Setealah guru membubarkan siswa untuk beristirahat, aku langsung berlari menuju stand pendaftaran lomba fotografi yang berada di depan ruang OSIS.

“Ini aku daftar ya. Oh ya, jangan mentang-mentang aku ketua OSIS’nya kalian memengkanku ya...” candaku kepada panitia yang sedang menajaga stand pendaftaran tersebut.

“Haha... Tentu dong bu ketu...” balas mereka yang memang biasa memanggilku ibu ketu(a) sesuai jabatanku sebagai Ketua OSIS.

“Harus dong, jangan mentang-mentang panitianya terus dimenangin,” suara cowok yang baru saja berada disampingku sambil membawa amplop besar yang kemungkinan berisi foto dan formulir pendaftaran lomba foto juga.

“Eh, kamu juga daftar hari ini?” tanyaku secara spontan kepada cowok tersebut yang ternyata Bagas.

“Ya iyalah, lebih cepat lebih baik bukan,” jawabnya singkat.

Kami menunggu sejenak didepan stand pendaftaran sembari menunggu panitia selesai mengecheck berkas pendaftaran kami.

“Ini, objek kalian mirip,” komentar Difa yang merupakan ketua ekskul Fotografi yang juga sedang menjaga stand pendaftaran.

“Iya, makanya, jangan pandang aku sebagai ketua langsung aku dimenangkan ya. Kalian bisa fair kan?” tegasku sambil melihat Bagas yang hanya tersenyum.

“Oke-oke. Ya udah, berkas kalian juga udah lengkap kok,” timpal Difa.

“Pengumuman pemenangnya udah tahu kapan kan?” canda Difa.

Aku dan Bagaspun meninggalkan stand tersebut.

“Pengumuman pemenang, diumumin waktu puncak ultah sekolah kan?” tanya Bagas kepadaku.

“Iya, besuk Sabtu. Jadi Sabtu besuk kita tetap berangkat sekolah untuk menikmati pesta yang telah kami persiapkan,” jelasku.

Kemudian aku dan Bagas pun berpisah. Karel, sahabat dari kecilku yang sekarang menjabat sebagai wakil ketua OSIS, sudah menungguku diujung lorong. Aku dan Karel segera harus menuju ruang Dewan Guru untuk rapat mengenai detail acara Sabtu besuk. Sedangkan Bagas, katanya dia ingin balik kekelas saja.

“Siapa itu tadi Chels?” tanay Karel ketika aku sudah didekatnya.

“Cowok tadi? Itu anak baru kelas IPA 1,” jawabku seadanya.

“Kok udah keliatan deket aja sama kamu Chels?” tanyanya layaknya seorang detektif.

“Apa’an sih kamu? Enggak juga kok,” jawabku sekenanya.

Karel pun mulai diam tak bertanya setelah mendengar jawaban males-malesanku tadi. Aku mulai mengingat Bagas. Sejenak berjalan dengan Bagas tadi, adalah kali pertama aku bertemu dengannya dikeramaian sekolah. Dan aku perhatikan, dia anak baru yang cukup populer. Semenjak berjalan atdi, aku perhatikan banyak anak cewek disekolahku yang diam-diam dengan malu-malu memperhatikan Bagas. Secara fisik, Bagas memang cowok ideal. Tubuhnya tinggi beasar ditambah kharisma yang muncul. Tidak mengherankan bila dia banayk dikagumi.

Hari-hari berikutnya, aku hanya bertemu sekilas dengan Bagas ketika berjalan disekolah. Ternyata setelah kenal, sering juga kami bertemu walau hanya sekilas. Dan biasanya sapaan kami hanay saling tersenyum, tanpa berbincang panjang lebar lagi. Aku pun tersibukkan dengan persiapan acara ulang tahun sekolah Sabtu besuk.

Hari Sabtu pun tiba. Acara pesta ulang tahun sekolah dibuka dengan doa bersama, kemudian potong tumpeng oleh kepala sekolah dilanjutkan perlombaan seru-seruan yang telah disiapakan. Dan pengumuman pemeng lomba baru akan diumumkan diakhir acara tersebut. Kira-kira sore nanti. Aku benar-benar sibuk saat itu. Dan baru bisa bersantai setelah tinggal acara pengumuman dan penyerahan hadiah lomba yang dimulai siang hari. Padahal acara telah dimulai sejak pukul 8 tadi pagi.

Maka, pengumuman pemenang lomba fotografi pun akan segera terungkap. Difa sebagai ketua panitia lomba, telah mengumumkan pemenang ke-2 dan ke-3 lomba fotografi. Dan diantara dua pemenang tersebut, namaku dan nama Bagas belum tersebut. Dan ini membuatku semakin tegang hingga Difa mengumumkan,

“Untuk juara satu ini, kami sebagai panitia sangat bingung untuk memutuskan. Ada dua foto yang menari perhatian dengan objek yang menarik dan hasil foto yang bagus. Terlebih lagi, objek foto dari keduanya adalah sama,” ungkap Difa. Aku yang sudah berdiri didepan panggung secara reflek mengarah kearah Bagas yang sedari tadi berada disamping panggung. Bagas pun sedang memandangiku. Mungkin akrena juga mendengar ucapan Difa yang menyebutkan objek kedua foto sma. Maka, akmi pun was-was menunggu kealnjutan apa yang akan diomongin oleh Difa.

“Ya, kedua foto ini memiliki objek yang sama. Dan hebatnya, hasil keduannya pun memuaskan. Maka kami juri memutuskan, akan ada dua pemenang untuk juara pertaam. Dan keputusan juru ini tidak bisa diganggu gugat,” ungkap Difa yang membuatku semakin gugup.

“Dan pemanangnya adalah.....” lama Difa tidak menyebutkan.

“Pemenangnya adalah Chelsea dan Bagas...” teriak Difa yang disambut sorak-sorai penonton lain.

Aku pun dengan riangnya naik kepanggung untuk menerima pialaku. Ya, pialaku. Namun aku kemudian ingat ada dua orang pemenang, aku dan Bagas. Maka panitia pun hanya memberikan satu piala untuk kami, aku dan Bagas. Untuk piagam, masing-masing dari kami, mendapat satu tentunya.

Aku dan Bagas pun sempat adu mulut dengan suara pelan diatas panggung setelah piala kami terima. Kami merebutkan, siapa yang akan membawa piala tersebut. Setelah turun panggung, kami pun bersepakat, minggu pertama piala akan ku bawa, minggu kedua piala tersebut akan disimpan Bagas dan berlanjut bergilir untuk minggu selanjutnya. Dan bukit dekat rumah, adalah tempat pertemuan kami untuk menyerahkan piala tiap Sabtunya.

Sudah satu bulan semenjak pengumuman pemenang lomba fotografi berlangsung, aku semakin dekat dengan Bagas. Tentunya karena setiap Sabtu aku bertemu dengannya dibukit dan kami menghabiskan pagi bersama disana. Dan Sabtu ke-5 ini, Bagas mengajakku untuk hunting foto ke Bogor. Kami akan pergi pagi sekali dengan kereta, dan pualang pada sore harinya.

Hari ini, Sabtu ke-5 piala kami, aku bersamanya. Pukul 6 pagi, Bagas menjemputku dengan sepeda motor sport’nya. Kami menuju stasiun kereta api Manggarai karena kami memang akan menggunakan KomuterLine untuk menuju Bogor. Didalam kereta, kami semakin akrab. Kami sudah mulai menjepret objek menarik selama perjalanan.

Setelah satu jam’an, pukul 9 pagi kami sampai di stasiun Bogor. Karena Bagas sudah mulai lapar lagi, maka kami menuju taman Topi dimana disana banyak penjual makanan. Selain itu, kami juga bisa hunting foto di taman tersebut. Sekitar 2 jam kami tinggal ditaman tersebut. Selanjutnya, kami menuju Istana Bogor dan juga Kebun Raya Bogor. Disana, banyak sekali objek hunting yang bisa kami ambil. Aku lebih suka memoteret alam, sedangkan Bagas, selalu memintaku untuk dijadikan modelnya. Karena pada dasarnya aku juga suka difoto, maka akupun mengiyakan.

Pukul 5 sore, kami baru sampai stasiun Bogor kembali. Padal tiket yang kami beli baru jam 7 malam kereta datang. Maka, waktu dua jam itu kami masih saja menghabiskan dengan mengambil gambar disekitaran stasiun. Walau tubuh ini sudah terasa capek benar.

Kereta telah meninggalkan stasiun Bogor, aku dan Bagas sudah berada didalamnya. Sore itu, kereta tidak terlalu padat. Karena kami saling merasa capek dan ingin istirahat dengan area yang luas, maka Bagas duduk dikursi belakangku. Saat dikereta, aku pun lelap tertidur dan baru bangun setelah sampai di stasiun Manggarai kembali dengan Bagas yang telah duduk disampingku membangunkanku.

Bagas tidak alngsung menagntarku pulang. Dia mengajakku untuk makan disekitaran stasiun dulu. Disebuah warung makan kecil dengan duduk lesehan. Lagi-lagi, Bagas menjadikanku objek fotonya.

Pukul 09.30 malam, aku baru sampai rumah dengan diantar oleh Bagas. Bagas hanya mengantarku sampai depan rumah saja, dia tidak enak bial ahrus mampir karena sudah larut malam. Dari rumah deapn rumahku, aku merasa seperti diawasi ketika Bagas tengah berpamitan kepadaku. Dan setelah bagas pergi, si penguntit muncul yang bukan lain adalah Karel, sahabatku dari kecil yang memang rumahnya depan rumahku.

“Baru pulang? Itu tadi Bagas ya?” tanya Karel sambil keluar dari pintu gerbang rumahnya.

“Kamu Rel, mau kemana malam-malam gini keluar?” basa-basiku.

“Mau cari makan di depan, orang rumah dah pada tidur. Eh, kamu belum jawab, itu tadi Bagas ya?” tanyanya dengan mendekatiku.

“Oh, iya. Tadi kita habis hunting foto di Bogor,” jawabku.

“Di Bogor? Berdua aja?” tanyanya tanpa sabaran.

“Iya, berdua. Kenapa sih Rel? Khawatir gitu ekspresinya? Udah sana, cari makan, dah kelaparan tuh. Lagian aku dah capek, aku masuk dulu ya,” pamitku sambil masuk gerbang rumah.

“Eh, tapi Chels....” tolaknya yang terpotong karena aku sudah berlalu.

Setelah bersih-bersih, aku pun segera menuju tempat tidur. Namun, aku penasaran juga dengan hasil jepretanku tadi. Sambil melihat-lihat ulang hasil fotoku, aku menerima kabar bahwa Bagas telah sampai dirumahnya dengan selamat. Aku pun tertidur dengan kameraku yang masih ku pegang.

Sabtu-sabtu berikutnya pun aku habiskan dengan Bagas. Namun bila disekolah, kami jarang terlihat bersama memang, ya karena kesibukanku sebagai ketua OSIS tersebut. Sabtu-sabtu selanjutnya, bila ku dan Bagas mempunyai waktu cukup luang,  sering kami pergi hunting foto bersama. Sekedar hunting disekitaran bukit, keliling Jakarta, hingga ke Bandung berdua.

Tibalah pada Sabtu pertama di bulan Maret, Sabtu minggu depan adalah tanggal 12 dimana aku ulang tahun. Ya, ulang tahunku adalah 12 Maret*. Sabtu itu, hanya kami habiskan dibukit tersebut. Dan Bagas mengajakku untuk Sabtu depan, pukul 2 siang pergi bersamanya. Sedikit mengherankan memang, apa dia tahu kapan ulangtahunku?

Sabtu, 12 Maret pun tiba. Pukul 1 siang Bagas sudah menjemputku. Kali ini, Bagas berpenampilan sangat rapi. Dia memboncengkan aku, tanpa memberitahuku kemana kami akan pergi.

Kami telah sampai disebuah cafe yang sepertinya telah didekor ulang. Bagas pun mengajakku masuk. Didalam, sudah banyak teman sekolahku yang tengah menikmati hidangan yang tersedia. Seorang gadis yang belum kukeanl menghampiri Bagas, namun Bagas cuekkin. Bagaspun pamit kepadaku untuk naik kelantai atas sejenak. Ia meninggalkanku dikerumunan teman-teman sekolahku.

Gadis itu mendekatiku, dan menyapaku.
“Hai, kamu Chelsea ya? Bagas sering sekali bercerita tentang kamu,” sapanya ramah.

“Hai, kamu siapa ya?” balas ku dengan heran.

“Oh, aku Bella, pacarnya Bagas,” jawabnya dengan tetap tersenyum dan mengulurkan tangannya.

Pengakuan gadis ini membuatku speechless dan mematung. Entah perasaan apa ini. Memang benar selama ini tidak ada kata jadian antara aku dan Bagas. Namun kedekatan kami, aku kira sudah melebihi dari pertemanan biasa.

“Oh ya, kamu sudah tahukan ini pesta untuk apa? Hari ini Bagas ulangtahun. Ini pesta ulangtahunnya sekaligus pesta perpisahan untuknya. Karena dia akan pergi ke Prancis untuk melanjutkan sekolahnya mengikuti tugas ayahnya. Tentunya aku akan ikut bersamannya,” lanjutnya yang semakin membuatku speechless.

Kalimat pengakuan gadis yang berada didepanku ini, membuat duniaku seakan berhenti sejenak. Aku tidak bisa menggerakkan tubuhku hanya untuk sekedar membalas senyumnya saja. Hingga sosok Bagas kulihat sedang turun dari tangga.

Aku pun segera membalikkan tubuhku dengan butiran asin telah keluar dari pelupuk mataku. Sayangnya, tanpa sengaja ketika aku berbalik, aku menyenggol gelas seseorang yang menyebabkan air minum didalamnya tumpah kebaju ku dan juga baju orang yang membawa gelas tersebut. Kulihat siapa orang yang membawa gelas tersebut yang ternayta adalah Karel.

Karel melihatku menangis. Dia mencoba menenangkanku. Aku pun memeluk sahabat sedari kecilku ini. Bagas yang sudah turun pun mendekatiku dan mencoba untuk menyentuh lenganku. Tanpa berpikir panjang lagi, aku berbalik dan segera menampar pipi Bagas. Bagas terkejut. Ia menjatuhkan kotak yang sepertinya ia ambil dari lantai atas tadi. Bagas masih mencoba dengan tenagn bertanya padaku,
“ada apa?” tanyanya.

“Ada apa kamu bilang? Apa kamu sengaja mempermainkanku? Kamu akan pergi ke Prancis bukan? Dengan gadis itu?” ucapku menggebu-gebu sambil menunjuk gadis yang memperkenalkan namanya tadi, Bella.

Bagas hanya diam saja dan masih memegang pipinya yang kena tamparanku tadi. Raut mukanya telah berubah mejadi merah. Sepertinya ia mulai marah atas tuduhan-tuduhanku tadi. Bagas pun mulai menginjak-injak kotak yang terbuat dari kardus yang ia jatuhkan tadi.

“Benar, aku akan segera berangkat ke Kanada. Dan aku akan pergi dengan Bella,” ucapnya kemudian menarik tanagn Bella keluar dari Cafe tersebut.

Aku hanya bisa terdiam melihat kepergiannya. Karel mencoba menenangkanku kembali. Namun emosi yang memuncak ini tidak bisa kutahan lagi. Aku pun keluar dari Cafe tersebut dengan air mata yang semakin deras keluar.

Aku tiba dirumah dengan air mata yang masih keluar. Ayah telah menungguku sedari tadi. Ia mencegatku ketika aku akan masuk kamar. Ayah terlihat khawatir. Ia menyuruhku untuk meniup lilin kue ulangtahunku yang telah ia siapkan sedari tadi. Namun aku cuek. Aku sudah tidak kuat untuk berpikir logis lagi. Aku masuk kamarku dengan membanting pintunya. Ayah hanya terhenyak melihatnya.

Ku tengah berada dikamarku ketika Karel mengetuk pintu kamarku.Mataku masih lebam karena sedari tadi aku menangis. Aku pun membukakan pintu untuk Karel.

“Ini sepertinya untuk kamu,” ujarnya sembari mengulurkan kotak yang yang diinjak-injak oleh Bagas tadi.

“Baiklah, sepertinya aku harus cepat pulang. Istirahatlah,” lanjut Karel yang menyadari keheningan yang kuciptakan.

Setelah aku menutup pintu, aku pun membuang kotak tersebut ketempat sampah dekat meja belajarku. Tanpa kubuka, aku membuangnya begitu saja dan beranjak ketempat tidur. Namun, aku penasaran juga dengan apa isinya. Maka, aku bangun kembali dan mengambil kotak tersebut dari kotak sampah.

Aku mulai membuka kotak tersebut yang ternyata terisi penuh dengan foto-foto. Foto teratas yang kulihat adalah foto piala lomba fotografi kami. Dibalik foto terdapat tulisan;

Aku sudah memotretnya. Pialanya untuk kamu saja. Aku akan menyimpan fotonya. ^^” tulisnya.

Masih banyak foto didalam kotak tersebut. Foto-foto yang mengabadikan diriku didalamnya. Foto-foto yang ia ambil secara diam-diam tanpa aku sadari. Dan disetiap foto, ia tulisi komentarnya. Ada juga sebuah note ayng ia tuliskan untukku diakhir tumpukan foto-foto tadi,
Aku tidak tahu sebelumnya bila ulang tahun kita sama. Ini sangat menakjubkan bertemu orang yang memiliki tanggal kelahiran sama bukan? Selamat ulang tahun, Chels. Semoga kadoku ini, bisa menggambarkan bagaimana perasaanku kepadamu yang sebenarnya.

Aku kembali menangis membaca apa yang ia tulis. Aku sadar, dia memang benar-benar menyukaiku hingga banyak mengambil foto-fotoku secara diam-diam begini. Namun, aku tadi telah melakukan kesalahan besar. Menamparnya juga memakinya dengan keras dihadapan banyak teman.


-TBC-

Note :
Cerbung ini hanya 2 part. Udah jadi, namun masalahku selalu berhubungan dengan koneksi. Besok semoga bisa posting. Aamiin.
12 Maret* sbg hari ultah mereka juga ada teorinya. Tp sprtinya rahasia saja ah. :D
Harusnya tanggal 26 Desember yah... :( *myweakness
Kalau ada yang bingung tentang cerita atau istilah dalam cerbung, tanyain aja lewat twitter aku @bitaBee, chat room, atau comment di laman ini ya...
Komentar kalian juga ditunggu lho.

Makasih :)

No comments:

Post a Comment