Thursday 13 August 2015

SEPATU [oneshoot]


Inspired song by Tulus, Sepatu
Cast: ChelGas

***

Kita adalah sepasang sepatu
Selalu bersama, tak bisa bersatu

Kupandangi kotak kado yang sudah kubungkus rapi dimeja depanku. Kado ulang tahun untuk orang sepesial bagiku. Kado itu sudah aku siapkan beberapa hari lalu dengan sahabatku, Tissa, yang juga menemaniku memilih isi dalam kado itu sepulang sekolah.

*Flashback On

“Jadinya mau kado apa, Chels?” tanya Tissa sesampainya kita disebuah pusat perbelanjaan.

“Emh, apa ya? Gue masih bingung...” jawabku tak yakin.

“Yah, lu mah... Kalau jam tangan gimana?” usul Tissa.

“Biar gak ngaret’an kaya Ajil,” lanjutnya sebal.
 

“Emh, jangan deh. Lu pernah denger tentang mitos di Korea? Kalau disana, ngasih jam kaya’ doain agar cepet out. Kaya’ disuruh ngitung sisa usia didunia gitu,” jelas Chelsea.
 

“Yah serem. Terus mau kasih apa nih?” tanya Tissa yang ikut bingung mikirin kado yang akan diberikan oleh sahabatnya ini untuk gebetannya.

“Gimana kalau jaket? Jaketkan dipakai, kaya’ jaket itu memeluk tubuhnya,” goda Tissa sambil tertawa.
 

“Lu kode banget deh,” ujarku dengan muka bersemu merah.
“Aku sih mikirnya sepatu. Sepatu futsal tepatnya. Diakan suka main futsal tuh...” lanjutku kemudian.
 

“Kenapa sepatu? Sepasang sepatu seperti lu sepasang sama doi?” tanya Tissa penasaran.
 

“Salah satunya,” jawabku tersipu.
 

*Flashback Off
 

Dan hari itu aku pun sudah membeli sepatu futsal berwarna merah dengan corak biru. Warna merah kesukaannya dan warna biru kesukaanku. Warna yang melambangkan kita berdua. Dan harusnya kado ini akan aku serahkan langsung hari ini.
 

“Chels, ayo cepat turun. Kita berangkat,” panggil Mami dilantai bawah.

“Iya Mi,” jawabku lemah dari dalam kamar. Aku pun segera mengambil tas tangan dan juga kado itu. Lalu membawanya turun kebawah.

“Loh Chels, kok kadonya dibawa?” tanya mami kaget melihatku membawa kotak kado ini.
“Kitakan mau ke rumah sakit sayang,” lanjut mami.

“Iya mi, nanti kita mampir bentar rumah Tissa boleh gak?” ijinku dengan sedikit memohon.
“Seenggaknya aku mau nitip kado ini mih,” lanjutku.

“Yaudah deh. Iya gak papa sayang. Nanti kalau kita lewatin ya mampir, tapi kalau enggak, nanti pulangnya saja ya. Mami khwatir kondisi Oma nih,” ujar Mami.

“Iya, mi.” Jawabku mulai tenang.

Hari ini adalah hari perayaan ulangtahunya. Ulangtahun sahabat dari kecilku yang sampai sekarang kita masih sering jalan bareng. Sahabat yang akhir-akhir ini membuatku selalu merasa dag-dig-dug bila disampingnya.
Rencananya hari ini aku akan datang kepesta ulangtahunnya dan akan memberikan langsung kado ulangtahun ini. Tapi tiba-tiba tadi subuh mami mendapatkan kabar bahwa oma masuk rumah sakit. Sehingga hari ini aku akan menjenguk oma dan tak bisa memberikan langsung kado spesial dariku ini.

Kita mati bagai tak berjiwa
Bergerak karena kaki manusia
Aku sang sepatu kanan
Kamu sang sepatu kiri


From: Bagas
To: Chelsea
Chels, besok siang temenin aku nyari buku ya.

Pesan darinya di Sabtu sore ini aku baca dengan perasaan penuh bunga. Isi pesan yang sering ia kirimkan padaku. Hampir tiap hari libur, ia memintaku untuk menemaninya entah hanya sekedar main ke mall mencari baju atau buku, hunting kuliner, bermain futsal bersama teman-temanya, atau ngebolang ke pantai atau gunung berdua. Hal-hal seperti ini yang membuatku semakin memikirkannya. Entah mulai kapan. Namun rasanya ia semakin perhatian padaku dan seperti memang ingin menghabiskan waktu berdua denganku saja. Padahal disekolahnya, ia adalah salah satu idola. Tentu saja banyak cewek yang mengejar-ngejar dia.

Dia adalah Bagas. Dia dua tahun lebih tua dariku. Dia sekarang kelas 3 SMA, dan aku kelas 1 SMA. Di sekolah yang berbeda. Waktu SD dan SMP, kami bersekolah di sekolah yang berdekatan. Bahkan berangkat sekolah pun bersama karena dulu rumah kami berdekatan juga. Dia sudah seperti kakakku sendiri, dulu. Hingga waktu akan masuk kelas 1 SMA, keluarganya memutuskan pindah rumah. Masih satu kota, hanya saja memerlukan lebih dari 30 menit jarak rumah kami dengan mobil.

Walau begitu, semenjak ia pindah, hubungan kami semakin menjadi aneh. Awalnya hanya karena aku memintanya menemaniku belajar pelajaran SMP. Hingga sekarang terbawa, dia sering mengajakku jalan keluar bareng.

“Chels, besok mau ikut mami ke salon gak?” tanya Mami mebuyarkan lamunanku tentangnya.

“Emh, apa mi?” tanyaku kaget.

“Besok mau ikut mami kesalon gak?” tanya mami lagi.

“Haduh, maaf mi. Besok Chelsea udah ada janji,” ujarku tak enak hati.

“Janjian sama siapa? Bagas? Kamu gak ada apa-apa sama diakan?” tanya mami sedikit sinis.

“Apa-apa gimana mi?” ujarku pura-pura tak paham.

“Ya kalian gak pacaran kan?” jelas mami.


“Ya enggaklah mi. Kak Bagas kan udah kaya’ kakak Chelsea sendiri,” ujarku menenangkan mami.

“Bener ya gak ada apa-apa!” sedikit ancam mami.

“Iyah mih,” ujarku lagi.

“Besok mau pergi kemana sama Bagas?” tanya mami yang sedari tadi hanya berdiri dipintu kamarku, mulai duduk diranjang, sampingku.

“Kak Bagas sih minta temenin nyari buku, mi,” jawabku.

“Emang Bagas gak punya temen lain selain kamu ya? Dua minggu lalu juga minta kamu temenin nyari bahan penelitian disekolahnya, kan?” interogasi mami.

“Ya enggaklah mi. Kan minta Chelsea juga bareng sama temen-temennya juga,” jelasku.

“Besok juga ramean?” lanjut mami.

“Mungkin...” jawabku cuek.

“Kok mungkin?” tanya mami belum puas.

“Ya mungkin. Kan biasanya ketemu temen-temennya di mall,” jelasku.

“Ya udah. Tapi besok jam berapa? Paginya ikut ke gereja kan?” tanya mami yang mulai berdiri akan meninggalkan kamarku.

“Iya mih, kan biasanya perginya juga setelah aku ke gereja,” jawabku.

Senang bila diajak berlari kencang
Tapi aku takut kamu kelelahan
Tak masalah bila terkena hujan
Tapi aku takut kamu kedinginan


Aku sudah pulang dari gereja. Aku sedang bersiap-siap untuk pergi bersama kak Bagas. Dan telphoneku mulai berdering. Telphone itu menandakan kak Bagas sudah sampai depan rumah. Tak perlu ku angkat, karena itu sudah seperti kode bagi kami berdua. Benar saja, tak selang lama, bel rumahku sudah dibunyikannya.

“Chels, Bagas sudah sampai nih...” teriak mami dari lantai bawah. Aku pun segera bergegas turun dan menemui kak Bagas.

“Iya mih... Chelsea berangkat dulu ya mih. Yuk kak...” ajakku ketika sudah berada didepan pintu.

“Iya tante, kita berangkat dulu ya,” pamit kak Bagas yang tak lupa mencium tangan mami.

“Hati-hati ya. Ntar pulangnya jangan malem-malem,” pesan mami.

“Iyah mih,” ujarku sambil mencium mamih.

Ya, diusiaku yang masih 15 tahun, mami membatasi jam malamku sampai jam 7 malam. Tapi terkadang  bila pergi bersama kak Bagas, sudah biasa bagiku memolorkan 1 jam hingga jam 8 baru sampai rumah dengan berbagai alasan. Tentu saja dengan sedikit mendengar omelan mami lalu kami minta maaf, mami akan memakluminya asal semua pr sekolah sudah aku kerjakan dan paginya aku tetap bisa masuk sekolah.

Bila pulang telat, malah kak Bagas yang lebih gak enak sama mami-papi. Sehingga akhir-akhir ini kami selalu pulang sebelum jam 7 malam. Sedikit sebal sih waktuku dengannya jadi sebentar, tapi aku suka dengan ke-gental-an kak Bagas yang selalu bertanggung jawab menghadap mami atau papi ketika menjemput dan mengantarku pulang.

Kita sadar ingin bersama
Tapi tak bisa apa-apa
Terasa lengkap bila kita berdua
Terasa sedih bila kita dirak berbeda


Aku mulai membonceng motor sport-nya. Memang sejak usiannya dibolehkan memiliki SIM, ia lebih sering memilih menggunakan motor sport-nya untuk pergi sekolah atau main daripada mobil. Katanya lebih efisien menggunakan motor daripada mobil. Lebih seru untuk membelah kemacetan dikota yang memang mulai penuh sesak dengan kendaraan pribadi ini.

Helm sudah aku gunain. Mesin motor mulai dinyalakan. Biasanya kalau masih disekitaran rumah, motor dilajukan dengan kecepatan rendah. Namun bila sudah keluar komplek, kecepatan motor akan ditambah. Dan dengan alasan tersebut, kak Bagas selalu memintaku untuk berpegangan padanya. Entah dipinggangnya atau melingkari perutnya. Dan tentu saja hal itu membuat perasaanku campur aduk ketika menyadarinya.

Siang itu, kak Bagas katanya belum sarapan. Kita pun mampir disebuah restoran Palembang karena katanya ia ingin makan pempek. Mau tak mau akupun ikut menemaninya makan walau sebenarnya aku belum terlalu lapar.

Dia memesan pempek lengkap sama sepertiku. Yang berarti semua jenis pempek ada dalam satu porsi itu. Padahal salah satu pempek tersebut ada yang menggunakan campuran udang. Dan kak Bagas alergi akan udang.

“Duh, aku lupa bilang kalau tanpa yang udang,” ujarnya.
“Ntar kamu makan yang udang ya...” lanjutnya yang duduk dihadapanku.

“Dihhh, akukan gak laper-laper banget kak,” protesku.

“Ntar aku bantuin habisin, tapi yang bukan udang deh...” bujuknya.
“Juga aku bantuin habisin sambelnya deh...” lanjutnya.

“Lah, emang sambelnya gak mau aku makan,” selaku yang memang tak suka makanan pedas.

Setelah pempek datang, kak Bagas sibuk memindahkan pempek udangnya ke mangkukku. Lalu menuangkan kuah pempek kemangkukku juga. Mungkin sudah menjadi sebuah kebiasaan. Dia selalu melayaniku sebelum dirinya ketika kita sedang makan berdua begini. Dan aku hanya diam memperhatikannya.

Kak Bagas sudah menyelesaikan makannya, dan pempekku masih banyak. Sedangkan aku sudah mulai kenyang. Aku berhenti memakannya.

“Aku udah kenyang kak,” ujarku.

“Baru berkurang dikit itu” ujarnya.

“Tapi udah kenyang, kan tadi aku bilang gak alper-laper banget kan,” belaku.

“Yakin udah kenyang?” yakinnya sambil menyodorkan sendok berisi pempek hendak menyuapiku.

“Iya bener,” tolakku menjauh dari sendok tersebut.

“Yaudah, satu suap ini, baru aku bantu habisin,” ujarnya lalu menyuapiku. Kemudian dia geser manggukku kedepannya.
“Ini yang udang udah habiskan?” tanyanya sambil memasukkan sambal karena memang tadi aku makan tanpa sambal.

“Iya, udah aku habisin diawal tadi kok,” yakinku.

“Untung kamu makan sama aku Chels. Kan aku bisa habisin kalau kamu gak habis makannya,” ujarnya seraya menikmati pempek tersebut.

“Yang untung kakak makan sama aku, kan pempek udangnya bisa aku makan. Sayang kalau dibuang,” timpalku tak mau kalah.

“Kalau kita sebut kita saling melengkapi aja gimana?” ujarnya dengan muka cuek terus menikmati makannya. Sedangkan aku? Sepertinya pipi ini sudah berwarna seperti udang rebus.

Didekatmu, kotak bagai nirwana
Tapi saling sentuhpun kita tak berdaya


Kita telah sampai pusat perbelanjaan dimana toko buku itu berada. Kita sampai ketika waktu telah masuk sholat dzuhur. Kak Bagas adalah orang yang dididik dengan agama yang baik. Sehingga dia akan segera melaksanakan sholat bila waktu ibadahnya telah datang. Kak Bagas pun memutuskan untuk melaksanakan sholatnya dulu sebelum mencari buku di mushola basement pusat perbelanjaan tersebut terlebih dahulu.

Aku menungguinya dengan membawakan tas ransel yang dia bawa. Aku menunggu dengan duduk-duduk didepan mushola kecil tersebut. Kak Bagas sedang melaksanakan 4 raka’at-nya sendirian. Aku hanya memandanginya dengan kekaguman.

Selesai kak Bagas menjalankan ibadahnya, kita langsung menuju toko buku. Disana aku menemaninya mencari buku pelajaran yang ia akan beli. Setelah berhasil menemukan buku yang ia cari, aku langsung menuju rak novel yang merupakan bacaan favorite-ku itu tersusun.

Aku melihat deretan novel klasik yang dipajang. Lalu aku mengambil sebuah novel yang legendaris. Novel yang ingin aku baca.

“Apa itu?” tanya kak Bagas yang sudah berada dibelakangku membuatku terkejut sejenak.

“Novel Romeo dan Juliet,” jawabku antusias.

“Oh. Kamu suka novel itu?” tanyanya kemudian.

“Entahlah. Aku cuma sering dengar summary ceritanya. Tentang cinta abadi dengan sang wanita memilih bunuh diri dimakam kekasihnya yang tak direstui keluarga mereka,” jelasku.

“Sedih ya ceritanya...” celetuk kak Bagas sambil melihat novel yang sama.

“Iya sih. Tapi penasaran saja kenapa sampai se-legendaris itu ceritanya. Diluar penulisnya yang memang termashur pada jamannya, William Shakespeare,” ujarku.

“Ya udah beli aja,” ucapnya.

“Yah, sayangnya bulan ini udah over-budget untuk beli buku. Kapan-kapan aja deh. Harganya juga segini...” keluhku. Lalu aku pun berjalan meninggalkan buku itu dan melihat-lihat deretan novel lain. Begitupun kak Bagas.

Senang bila diajak berlari kencang
Tapi aku takut kamu kelelahan
Tak masalah bila terkena hujan
Tapi aku takut kamu kedinginan
Kita sadar ingin bersama
Tapi tak bisa apa-apa
Kita sadar ingin bersama
Tapi tak bisa apa-apa
Terasa lengket bila kita berdua
Terasa sedih bila kita dirak berbeda
Didekatmu kotak bagai nirwana
Tapi saling sentuh pun kita tak berdaya


“Jadi dari pagi, lu sama kak Bagas jalannya?” tanya Tissa disampingku duduk diluar lapangan futsal. Selesai mencari buku, ternyata kak Bagas sudah janjian juga dengan teman-temannya untuk main futsal. Termasuk dengan Ajil, pacar Tissa. Jadi setidaknya aku punya teman ngobrol sembari menungguinya bermain futsal.

“Iya,” jawabku singkat.

“Beneran ya sama kalian tuh. Kenapa gak ngomong gitu kalo saling suka? Dah Chels, buruan ngomong, sikap dia ke lu tuh beda. Dia juga pasti ada rasa. Bukan rasa kakak-adek-an lagi deh...” gemas Tissa.

“Pengennya gitu. Tapi gue sadar diri lah. Sulit untuk kita bersatu,” jawabku lesu.

“Apa lagi? Jelas-jelas dia juga suka lu, elu pun begitu,” ujar Tissa cepat.

“Elu sendiri juga tahu kan, ada tembok raksasa yang menghalangi kita,” kekehku.

“Yaelah Chels. Pikirin aja ntar, kita masih muda ini...”

“Mami-papi gue juga udah pesen, jangan sampai gue ada apa-apa sama kak Bagas. Ortu kak Bagas sepertinya juga begitu. Mereka baik sama gue, baik banget malah. Tapi tetep aja ada batasan yang gak boleh gue lampaui,”

“Ah elu mah gak asik,” ujar Tissa dengan frustasi.
“Eh, itu kak Bagas pakai sepatu kado dari elu ya?” lanjut Tissa tiba-tiba melihat sepatu yang kak Bagas pakai.

“Iya...” jawabku santai karena memang aku sudah menyadarinya sewaktu kak Bagas berganti sepatu, dan memakainya tadi.

“Gue mah bingung sama kalian berdua,” ujar Tissa.

“Lu tahu kenapa gue kasih sepatu ke kak Bagas?” tanyaku kemudian.

“Ya elu berharap elu sama dia biar jadi sepasang kaya sepatu itu,” ujar Tissa males-malesan.

“Selain itu, ada beberapa lagi. Elu pernah denger tentang filosofi sepatu?” tanyaku yang hanya dijawab gelengan oleh Tissa.
“Ya itu tadi, mereka tercipta sebagai pasangan. Kalau cuma satu, sepatu itu gak berguna,” lanjutku.
“Ada beberapa lagi. Bentuknya tak persis sama namun serasi. Sepatu kanan dan sepatu kiri, beda kan?” jelasku.

“Iya sih ya,” setuju Tissa.

“Lalu, tak pernah ganti posisi, namun saling melengkapi. Sepatu kanan ya dipakai dikaki kanan, tak bisa untuk kaki kiri. Begitu pun sebaliknya. Namun mereka saling melengkapi,”
“Selalu sederajat tak ada yang lebih rendah atau tinggi. Gak ada kan sepetu yang tinggi heels-nya beda? Mereka sama tinggi. Juga, bila yang satu hilang yang lain tak memiliki arti,” terangku.

“Wih, keren tuh Chels. Nah itu elu sama kak Bagas banget tuh...” ujar Tissa antusias.

“Tapi...” potongku.
“Saat berjalan/melangkah tak pernah kompak walau tujuannya sama. Saat melangkah, pasti salah satu kaki akan berada didepan dan salah satunya dibelakang. Tak bisa mereka bersama. Walau memiliki tujuan yang sama. Iya kalau sampai dengan selamat. Kalau sebelum sampai tujuan salah satu dari sepatu itu rusak, sama aja gak ada artinya,”
“Dan gue sadar, terlalu tinggi tembok pembatas kita. Gue belum berani untuk melampauinya Tiss,” jujurku dengan menahan airmata yang sudah berada disudut mataku sambil terus memandangi kak Bagas yang tengah serius bermain futsal.

“Ya ampun Chels... Jadi dari awal lu emang udah niat kasih sepatu dengan pemikiran seperti itu?” tanya Tissa khawatir.

“Dan gue pernah denger soal mitos, kalau kasih sepatu, orang yang elu kasih sepatu itu akan lari menjauh dari kita,” butiran air bening mulai melintas dipipiku, namun tanpa suara tangisku.

“Hah? Chels? Elu emang niat?” kaget Tissa dengan nada sopran-nya. Untung saja yang sedang bermain dilapangan tengah seru bermain dan tak mendengar teriakan suara Tissa. Dan buru-buru aku bungkam mulut Tissa. Aku tak mau kak Bagas melihatku yang sedang berlinang air mata ini.

“Ya gak tahu, itu kan juga cuma mitos. Gue udah pasrah sama Tuhan aja deh Tiss. Kalau jodoh juga gak kemana juga kan. Bukan juga ditentuin dengan mitos atau simbol-simbol tentang sepatu itu,” jelasku ketika Tissa mulai tenang.

****

Sore itu kak Bagas mengantarku pulang tepat pukul 7 malam. Aku diantarkannya sampai depan rumah. Ia hendak mengantarkanku hingga pintu depan, tapi aku tahan.

“Eh kak, gak usah. Mami-papi juga masih dirumah Oma,” jelasku yang memang tadi sewaktu di toko buku aku menerima pesan dari mami kalau malam ini mami-papi mau kerumah Oma. Sebenarnya aku juga disuruh pulang cepat, karena adekku yang masih SD ditinggal dirumah sendirian.

“Oh gitu. Mau aku temenin sampai mereka pulang?” tawarnya.

“Gak usah kak. Nanti kakak pulang kemaleman. Lagian juga ada adekku kok,” jawabku menenangkannya.

“Yaudah, kamu masuk duluan gih. Nanti salamin aja ya,” suruhnya padaku.

“Iya, nanti juga masuk kok,” tolakku ingin melihat kepergiannya.

“Oke deh. Oh ya,.... ini buat kamu,” dia memberiku sebuah kotak yang kubuka berisi sebuah novel dengan cover yang tak asing bagiku.

“Lho kak? Kakak membelinya? Kapan?” tanyaku antusias.

“Ya tadi dong. Kamu tadikan bilang ingin baca novel itu,” jelasnya yang membelikanku novel Romeo and Juliet.

“Waaa... Makasih banget ya kak,” ucapku masih mengagumi novel yang berada ditanganku.

“Iya, sama-sama. Aku pulang dulu ya,” pamitnya yang kemudian menyalakan motornya lagi.

“Iya, hati-hati ya kak. Kalau udah sampai, kabarin,” ujarku yang tak bisa menyembunyikan raut senang karena menerima hadiah novel darinya.

Bye,”
Bye,” pungkasku sambil melihat kepergiaannya dengan tersenyum.

Aku tak tahu bagaimana ending dari kisahku dengan kak Bagas. Namun yang pasti sekarang, aku selalu merasa senang dan nyaman bila didekatnya. Entah sampai kapan perasaan ini akan terus menghiasi hariku. Yang aku tahu pasti, masih ada tembok besar yang harus kami lalui bila ingin bersatu. Dan aku juga tak tahu, bisa atau tidak kami melewatinya nanti. Yang jelas, jalani aja dulu yang didepan kita, bukan?

Cinta memang banyak bentuknya
Mungkin tak semua bisa bersatu


---END---

P.S: Giman guys, suka gak??
Kasih komentar kalian dong... :D

Kenapa aku memilih novel Romeo and Juliet yang disukai Chelsea?
Selain pada nyatanya Chelsea suka baca novel, cerita Romeo dan Juliet juga mirip 'sepatu" kan?
Mereka saling mencintai, saling melengkapi. Namun ada satu ganjalan besar untuk hubungan mereka. Yaitu halangan dari orangtua mereka yang gak setuju. Jadi Chelsea ngrasa cerita mereka mungkin akan mirip Romeo dan Juliet. Tapi Chelsea belum pernah baca novel tersebut, jadi dia pengen membacanya.

 
Cerita di lagu "Sepatu by Tulus" sendiri sangat menarik untukku.
Biasanya sepatu diartikan; mereka tercipta sepasang dan tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Karena kalau hanya ada satu pun, itu gak akan berguna. Nah, dari lagu Tulus ini, dia melihat dari sudut pandang berbeda tentang filosofi sepatu ini.
 

Kita adalah sepasang sepatu
Selalu bersama, tak bisa bersatu 
Tak bisa bersatu?? Why?
Jawaban ada di lirik selanjutnya


Kita mati bagai tak berjiwa
Bergerak karena kaki manusia
Aku sang sepatu kanan
Kamu sang sepatu kiri
 
Hidup kita sudah ada yang ngatur. Tentu saja itu Tuhan. Tak bisa bersatu karena aku sepatu kanan dan kamu sepatu kiri. Yang kalau melangkah tak bisa saling bersamaan/sejajar. Pasti ada yang tertinggal dibelakang dan yang satu berada didepan. Walau dengan tujuan yang sama. Iya kalau selamat sampai tujuan, kalau salah satu rusak atau hilang? Tinggal satu tidak ada artinya dan hanya meninggalkan kesedihan.
 

Senang bila diajak berlari kencang
Tapi aku takut kamu kelelahan
Tak masalah bila terkena hujan
Tapi aku takut kamu kedinginan
 
Walau sudah tahu tidak bisa bersama, tapi hanya rasa senang bila mereka sedang bersama. Ada bentuk perhatian/kepedulian nyata disini walau lagi-lagi sadar gak bisa lebih atau gak bisa bersatu. Tidak ingin egois dan khawatir memikirkan kondisi pasangannya.
 

Kita sadar ingin bersama
Tapi tak bisa apa-apa
Terasa lengkap bila kita berdua
Terasa sedih bila kita dirak berbeda
Didekatmu, kotak bagai nirwana
Tapi saling sentuhpun kita tak berdaya
 
Sebenarnya mereka sudah saling menyadari kalau saling suka. Tapi tak bisa lebih dari itu. Bahkan tak bisa sekedar saling mengungkapkan karena ada suatu hal yang bikin ganjalan. Sesuatu hal yang kalau dicerita ini aku ambil dari beda agama. Mungkin kalau dicerita lain juga bisa dari status sosial, keluarga, adat, sedarah, sejenis, penyakit bisa juga karena faktor usia.
 

Cinta memang banyak bentuknya
Mungkin tak semua bisa bersatu
 
Duh... dalem banget. Cinta memang banyak jenisnya. Cinta orangtua, kakak-adek, sahabat, lawan jenis dan lain-lain. Dan memang benerkan, mungkin tak semau bisa bersatu. Namun tenang, disini ada kata “mungkin”. Jadi mungkin saja jenis cinta yang ada di oneshoot ini bisa bersatu. Kan ending-nya juga masih open aka belum jelas gitu. :)

Aku juga ingin berbagi tentang gimana aku buat cerita ini. Sejenis behind the scene-nya gitu ya... :D

Jadi cerita ini aku kelarin Rabu (1208) dari saing sampai malem. Itu juga disambi ngapa2in ya. Utamanya waktu liat pertandingan "Kejuaraan Bulutangkis Dunia" yang disiarin Ktv. Kalau lagi tegang-tegangnya liat, aku milih lanjutin nulis walau sambil ngintip-ngintip liat tv. :D
 

Seneng bisa nyelesein oneshoot ini (walau sebenernya masih kurang puas). Gegara oneshoot ini, aku jadi refresh juga dapet pengetahuan baru dari hasil riset-nya. Kaya’ filosofi sepatu juga mitos-mitos tentang memberi hadiah. Menarik bukan?

Beberapa link sumber riset-ku.
1. Mitos pemberian saat pacaran
2. Mitos memberi hadiah
3. Filosofi sepatu

Ngomongin mitos memberi sepatu, Chels belum tampil bareng di tv lagi sejak akhir Februari kmrn gk sih? Terus Bagas juga malah udah taken aja. Jangan-jangan mitos itu...

Ah sudahlah, cuma mitos ini. Aku mau kok kalau kalian kasih aku sepatu. :D
Maaf ya bikin kalian baper.
Kalau kalian baper sepertinya kalian perlu baca ulang postinganku yang ini;
Jadi SHIPER itu... bukan shipper

Bagas masih muda ini. Belum tentu jodoh kalau janur kuning belum melengkung. Percaya deh. Dan kita semua hanya perlu waktu untuk menyesuakan diri. :)

Tetap semangat ya! Cheersss... ^^
Dan pict. ini, mungkin menjelaskan inti kenapa tak bisa bersama;
cc. +Elfira Putri 
Thx ya udah nyempetin baca.
Semoga bermanfaat.
See you in my next post!

Monday 10 August 2015

My Flashlight [oneshoot]


Inspired :  song by Jessie J, Flashlight
Genre: Relation, Love


*** 
*Chelsea's POV


“Oke, kamu harus tidur cepat malam ini. Bukankah besok pagi kamu harus sudah siap-siap untuk launching lagu barumu?” tanyanya diujung telpon.

“Iya sih. Tapi aku belum ngantuk. Many things that come to my mind,” jawabku via telpon.

“Kenapa? Udah mulai nervous?” tanyanya lagi.

“Iya,” jawabku pelan.

“Tenang sayang, ada aku disini. Apa yang kamu takutkan ketika aku selalu disampingmu?” hiburnya yang sedikit menggelitik hatiku.

“Aishhh. Tetap saja. Entahlah. Tapi takut aja jadinya nervous,” jawabku lagi.

“Pro-kontra, fans-haters, udah biasa kan. Pasti ada. Sebanyak-banyaknya yang gak suka, pasti juga banyak yang suka. Dan aku berada digaris depan yang akan selalu dukung kamu,” yakinnya serius.

“Terimakasih kak,” ujarku mulai tenang.

“Yaudah, sekarang mau tidur beneran? Aku temenin sampai kamu tidur ya. Mau aku nyanyiin?” tawarnya serasa ada butterfly in my tummy.

*3rd POV

♪♪♪ When tomorrow comes, I’ll be on my own
Feeling frightened of, The things that I don’t know
When tomorrow comes, Tomorrow comes, Tomorrow come
And though the road is long, I look up to the sky
And in the dark I found lost hope that I won’t fly
And I sing along, I sing along, and I sing along ♫♫♫


Dan benar saja, lelaki itu terus bernyanyi hingga telephone itu baru diputus ketika Chelsea terdengar sudah tertidur.

***
Chelsea tengah serius berselancar dengan iphone-nya dimobil seusai tampil dalam sebuah acara musik. Raut sedih nampak diwajah ayunya. Matanya fokus melihat layar 5.5 inchi tersebut.
(Source: komentar di video-video Chelsea)
Beberapa hujatan muncul dalam kolom komentar video musik di channel youtube-nya. Hujatan tentang fisik, attitude dan hal-hal yang tak relevan dengan lagu yang Chelsea nyanyikan. Hal-hal yang sangat subjektif dan tak berdasar. Yang bisa dibilang hanya judge abal-abal saja. Namun tetap saja hal ini membuatnya kecewa, sedih dan sedikit down.
(Source: FanPage sebuah komunitas)
Kini layar smartphone Chelsea telah menampilkan sebuah screenshot dari kumpulan beberapa komentar haters-nya. Komentar-komentar yang lebih mem-bully tersebut Chelsea baca dengan perasaan kacau. Komentar-komentar tersebut semakin membuatnya down hingga dering telephone berbunyi membuyarkan fokus per-stalking-annya.

“Halo? Gimana tadi? Aku lihat, kamu cantik,” suara ceria lelaki yang sama dengan semalam itu membuat Chelsea merasa sedikit terhibur.

“Emhhh~” ujar Chelsea tertahan.

“Hey ada apa dengan suaramu? Kenapa?” tanya lelaki itu khawatir.

“Gak papa kok kak,” jawab Chelsea cepat menahan suara tangisnya.

“Kamu lagi stalking seperti kebiasaanmu sehabis tampil?” tanyanya lagi. Chelsea pun terdiam tak menjawab seperti membenarkan pertanyaan itu.
“Iyakan? Udahlah, gak usah dipikirin komentar negatifnya. Aku baca lebih banyak yang suka kok,” hiburnya lagi.

“Tapi di video youtube, juga komentar fanpage...” ujar Chelsea terpotong suara sebuah pesan masuk pada handphone-nya.

“Bukalah pesan itu...” ujar lelaki itu. Chelsea pun membuka pesan itu. Dan ternyata pesan berisi sebuah screenshot kumpulan komentar positif di video-nya yang dikirim lelaki itu.
(Source: komentar pada video-video Chelsea)
“Bahkan dari luar negri banyak yang suka,” suara renyah dari seberang telpon itu sedikit membuat semangat Chelsea kembali.
“Kamu sudah membuka twitter? Tadi aku kasih dukungan kekamu juga...” lanjutnya.

“Belum, wait...” jawab Chelsea sambil meraih ipad disampingnya lalu segera membuka twitternya.

“Sudah menemukannya? Langsung aja stalk TL aku. Haha...” candanya.
(Source: tweet @bagasrds ketika Chelsea tampil di TOPOP Mnctv)
"Makasih kak,” ujar Chelsea terharu

"Sudah baca tweet terbaruku?” tanyanya dengan antusias.

"Apa?” tanya Chelsea penasaran lalu fokus lagi pada layar ipad-nya.
(Source: tweet bagas tapi isi & tahun aku edit, karena tanggal & bulan beneran tapi tahun 2013. 2 tahun yg lalu.)
Yes, right!” gumam Chelsea tanpa sadar.

“Tuh, benerkan? Lebih banyak yang sayang sama kamu. Haters-kan cuma mereka yang gak ada kerjaan, terus sibuk nyari keburukan orang yang dianggap pentinga. Berarti kamu orang penting tuh buat mereka. Haha...” tawa renyah itu semakin membuat Chelsea lebih ceria.

“Makasih ya kak,” ujar Chelsea memotong tawa lelaki itu.

“Makasih untuk?” tanya lelaki itu singkat.

To be my Flashlight,” ujar Chelsea tersenyum.

*Chelsea’s POV

When tomorrow comes, I’ll be on my own
Feeling frightened of, The things that I don’t know
When tomorrow comes, Tomorrow comes, Tomorrow come
And though the road is long, I look up to the sky
And in the dark I found lost hope that I won’t fly
And I sing along, I sing along, and I sing along
Ketika aku ketakutan akan apa yang besok akan terjadi. Ketakutan akan masa depan yang tak tahu akan seperti apa. Kamu hadir memberiku semangat dan harapan untuk lebih optimis.

I got all I need when I got you and I
I look around me, and see a sweet life
I’m stuck in the dark but you’re my flashlight
You’re getting me, getting me through the night
Aku merasa sudah mendapatkan apa yang aku butuhkan ketika aku bersamamu. Walau diluaran sana banyak nada negatif akan diriku, dengan bully-an atau judges, tapi aku melihat ulang sekelilingku. Dan aku tersadar, hidupku sangat menyenangkan dengan kehadiranmu. Kamu selalu hadir, menghibur dan mendukungku ketika aku terpuruk mendengar nada negatif dari para heters. Kamu selalu hadir sebagai harapan dan orang spesial untukku.

Kick start my heart when you shine it in my eyes
Can’t lie, it’s a sweet life
Stuck in the dark but you’re my flashlight
You’re getting me, getting me through the night
Kamu selalu memberiku semangat. Dan aku tak bisa bohong kalau aku benar-benar merasa hidupku menyenangkan dengan kehadiranmu. Saat aku down akan cibiran haters, kamu selalu memberiku pengharapan. Sebuah pengharapan darimu yang selalu berhasil menjadi penyemangatku untuk kembali bangkit ketika aku sedang down.

‘Cause you’re my flash light (flash light)
You’re my flash light (flash light), you’re my flash light
I see the shadows long beneath the mountain top
I’m not afraid when the rain won’t stop
Cause you light the way, You light the way,
You light the way.
Karena ada kamu, aku tak takut lagi akan hujatan remeh dari para haters. Karena aku memiliki kamu yang selalu berada disisiku. Berada disisku sebagai kekasih, kakak, adik, sahabat, dan orang yang selalu memberiku dukungan agar selalu tegak berdiri membuktikan bahwa aku mampu. Dan tentunya memberiku semangat agar aku tidak down lagi.

Terimakasih, CA. :^)
 --- END ---

P.S: Endingnya kok CA??
Hahaha... Maafkan. Aku bingung sih.
Tapi dapetkan ya inti ceritanya??

Jadi oneshoot ini terinspirasi dari lagu “Flashlight by Jessie J” yang juga di cover Chelsea.
Bingungnya karena inti dari lagu ini tuh, bisa dibuat untuk tema cinta lawan jenis maupun persahabatan. Yaudah, aku gunain aja dua-duanya.

Jadi dari cerita awal, ketika Chelsea down karena komentar-komentar negatif dari haters, Bagas yang tak pernah aku sebutkan namanya hanya dapat dilihat dari screenshot namanya dibeberapa pictures yang aku sisipin, berperan sebagai her “Flashlight”nya. Disini Flashlight berarti orang yang memberikan penerangan sebagai harapan atau orang yang setia menjadi penyemangatnya. Bukan arti sesungguhnya “senter” ya. Lalu, Bagas ini sahabat atau kekasih Chels? Dapat kalian maknai sendiri kan ya. Walau Chelsea hanya manggil “kak”, namun di-ending Chelsea juga mengakui kalau Bagas ini her “Flashlight”. Juga, beberapa kali Bagas manggil Chelsea dengan sebutan “sayang”.

Lalu ketika POV, bisa untuk Bagas dengan meminjam kata “kekasih” pada kalimat akhir (rada maksa ini). Tapi ucapan itu lebih untuk CA sih. Semoga beneran untuk CA ya Chels... :D (emang Chelsea baca oneshoot ini? -..- )

Semoga kalian suka ya dengan oneshoot kali ini.
Thx sudah nyempetin baca.

Oh ya, udah nyiapin oneshoot dari lagu lagi nih. Dan lagu itu request dari beberapa kalian. Hayo, dari siapa dan lagu apa ya? :D

See you in my next post! ^^