Thursday 30 January 2014

Happily Ever After (part 2 - Ending)



Chapter 2

Setelah kejadian Sabtu itu, aku ingin sekali menemui Bagas hanya untuk sekedar minta maaf dan tanpa memikirkan Bella. Namun Bagas selalu menghindar dariku. Hingga akhir tahun ajaran ini pun tiba. Dan akhirnya Bagas benar-benar pergi ke Prancis tanpa berpamitan kepadaku.

#4 TAHUN KEMUDIAN

4 tahun telah berlalu semenjak kepindahan Bagas ke Perancis. Sekarang, aku tengah disalalah satu universitas elite di Jogja. Dan sekalipun, aku belum pernah berhubungan lagi dengan Bagas yang kabarnya juga tengah berkuliag di Prancis. Hingga teman-teman sekolah dulu mengusulkan untuk mengadakan reunian satu angkatan pada masa libur akhir tahun. Reuni akan diadakan pada awal tahun. Tanggal 5 Januari bertempat disekolah kami dulu.

Hari reunian pun tiba. Aku berangkat dengan Karel. Disana, kami duduk ditempat duduk yang berdekatan dengan kelas IPA 1, kelas Bagas. Dan mereka sedang ngomongin Bagas.

"Ini Bagas gak dateng ya?" tanya salah seorang dari mereka.

"sepertinya iya, sayang sekali ya... Setidaknya walau cuma 1 tahun, dia pernah jadi ikon kelas kita bukan..." ujar yang lain.

"Benar banget, bukankah kalian dulu fans fanatiknya... haha..." celoteh yang lain membuat suasana menjadi semakin riuh.

Aku yang sedari tadi mencuri dengar percakapan mereka, ikut tersenyum kecut. Karel yang duduk disampingnya hanya terlihat menyimak gerak-gerik ku. Aku yang tiba-tiba seperti teringat sesuatu, memutuskan untuk meninggalkan venue reunian. Karel yang ingin mengikutiku, ditahan oleh temannya yang masih saja mengajaknya mengobrol.

Aku telah berada diatas bukit sendiri. Aku tengah melamun menghadap matahari. Aku mengingat kebersamaanku bersama Bagas diatas bukit tersebut. Tiba-tiba suara cowok memanggil namaku dari belakang.

"Chels, Chelsea??" suara itu memanggil namaku dengan sedikit ragu. Aku menoleh dan mendapati wujud cowok itu adalah Bagas.

"Bagas?" teriakku tidak bisa menyembunyikan kebahagian.Bagas yang dipanggil pun mendekatinya.

"Akhirnya kita bertemu lagi ya..." ujar Bagas ketika sudah berada didepan ku. Aku yang tak bisa menahan perasaan pun memeluk Bagas. Bagas yang dipeluk, sedikit terkejut. Namun Bagas yang juga terlihat bahagia bertemu dengan ku, membalas pelukan ku.

Aku dan Bagas melanjutkan perjumpaan kami dengan mengobrol diatas bukit tersebut.

"Sebenarnya, siapa gadis yang bernama Bella itu?" tanya ku yang sudah bisa menata hatinya.

"Maafkan aku, sebenarnya Bella adalah adik tiriku. Dia adalah anak dari ayah tiriku. Ayah kandungku sudah meninggal semenjak aku kecil. Dan Ibuku menikah dengan Ayah Bella yang juga ditinggal meninggal oleh istrinya. Sejak kecil, dia selalu mengikutiku. Katanya, ia ingin menikah denganku. Maafkan aku," jelas Bagas yang membuat hatiku lebih tenang.

"Seharusnya aku yang meminta maaf. Sudah memaki dan menamparmu didepan banyak anak," ujarku bersalah dengan menundukan kepalaku.

"Sudahlah, lupakan saja. Ayo kita memulai yang baru..." ajaknya padaku. Aku ahnay mengangguk dan menunduk.

"Oh ya Chels, bisakah kita sering bertemu? Berikan nomor teleponmu kepadaku, juga jadwalmu," pintanya.

Aku pun memberikan nomor telepon dan jadwal kuliahku kepada Bagas. Setelah itu, terjadi keheningan.Aku kembali menunduk. Bagas melihatku menunduk. Perlahan tapi pasti, Bagas mendekatkan tangannya seperti ingin menyentuh pipiku. Aku, hanya diam. Entah perasaan apa yang berkecamuk dihatiku. Selanjutnya, Bagas telah berhasil menghadapkan mukaku menghadap kemukanya. Dia menciumku.

Bulan sudah berganti. Pagi ini, adalah awal bulan dibulan Februari. Semenjak hari itu, aku dan Bagas sering bertemu kembali. Masih dengan kebiasaan lama, kami sering hunting foto bersama.

Siang itu, hari Minggu. Aku dan Bagas telah menghabiskan waktu /4 hari kami dengan hunting foto dikebun binatang Ragunan. Selepas dari sana, Bagas ingin melihat kampusku. Maka aku mengejaknya kesana. Air minum yang kami bawa telah habis, aku dan Bagas memasuki sebuah mini market yang letaknya berada didekat kampusku. Saat didepan kasir, kasir menawari kami sebuah produk baru karena baru ada diskon. Aku bertanya pada Bagas, apa ia ingin membelinya. Ia hanay menggelengkan kepala dan ku katakan tidak kepada kasir. Kasir melihat pada akmi dengan sedikit pandangan aneh.

Kampus terlihat lengang. Tentu saja karena hari ini adalah hari libur. Hanya sedikit mahasiswa yang datang. Hanya sedikit mahasiswa yang datang karena ambil kelas dihari minggu. Aku dan Bagas pun berkeliling kampus tanpa bertemu orang yang aku kenal. Aku pun mengajak Bagas untuk menguniungi Karel yang tengah bekerja part-time di cafe yang ia dirikan sendiri. Memang Karel baru belajar berbisnis, dan dia baru beberapa bulan ini mendirikan cafe yang lokasinya tidak jauh dari kamapus dan ia sering turun tanagn jadi waiter di cafenya.

Aku dan Bagas telah sampai di Cafe Karel. Aku memanggil Karel yang kebetulan ia juga melihatku masuk. Karel menghampiriku sebelum Bagas juga ikut masuk.

"Hei, apa kamu sedang sibuk?" tanyaku kepada Karel

"Kenapa?" tanyanya dengan bersemangat.

"Aku ingin mempertemukanmu dengan seseorang," jawabku dengan riang.

"Siapa?" tanyanya penasaran.

Akupun melihat belakang, dan ternyata Bagas baru membuka pintu cafe milik Karel. Sebelum sempat secara resmi aku mempertemukan mereka, Karel sudah dipanggil oleh seorang pelanggannya.

"Waiter..." panggil sang pelanggan.

"Iya tuan, sebentar," jawab Karel sembari melambaikan tangannya ke pelanggan yang memanggilnya.

"Chels, bentar ya aku kesanan dulu," pamitnya kepadaku dengan seperti melihat pintu masuk sambil berlalu menuju pelanggannya.

"Eh, tapi Rel.." larangku yang terpotong.

"Sudah, sepertinya dia sibuk. Ayo kita pergi, lain kali saja aku bertemu dengannya," ajak Bagas.

Aku pun mengiyakan dan memberikan isyarat pamitan kepada Karel. Dia pun mengiyakan dengan memberi tanda oke namun tetap dengan pandangan herannya kepadaku.

Bagas pun mengantarku pulang, dan hanya sampai depan pintu seperti biasa. Aku masuk kerumah. Dan ternyata Ayah yang walau sebagai pengusaha yang cukup sibuk, namun selalu berusaha menyempatkan waktunya untukku sudah menungguku untuk makan malam. Namun malam itu, peringai Ayah sangat aneh kepadaku. Terlihat sedikit kaku.

"Sudah pulang? Dari mana Chels?" tanyanay mencoba santai.

"Iya, Ayah juga? Tadi habis jalan-jalan," jawabku riang.

"Sama Bagas ya?" tanyanya lagi.

"Iya Ayah..." jawabku manja. Memang ayahku ini sudah tahu tentang Bagas, beberapa kali aku telah menceritakan Bagas kepada orangtua tunggalku ini.

Malam-malam selanjutnya pun Ayah terlihat aneh. Dia selalu pulang lebih awal dengan menungguku untuk makan malam bersama. Walau memang terlihat aneh, anmun aku masih cuek saja.

"Chels, besok weekend, kamu ajak Bagas makan malam bareng kita deh. Sudah lama sekali Ayah tidak bertemu dengannya," ujar Ayah ketika tengah menikmati makan malamnya.

"Benarkah Ayah? Baiklah, aku akan mengajaknya," jawabku dengan senang.

Selesai makan, aku segera menghubungi Bagas untuk mengajaknya makan malam besok malam dirumah. Ya karena besok weekend yang diamksud Ayah adalah besok malam yang memang hari berikutnya sudah hari Minggu. Bagas pun mengiyakan dengan antusias.

Hari yang dijanjikan telah tiba. Aku dan Ayah sudah menunggu kedatangan Bagas. Sudah pukul 19.00 tepat, jam janjian kami, namun Bagas belum juga  datang. Aku masih mencoba untuk tenang namun Ayah semakin terlihat aneh. Pukul 19.30 aku mulai bingung kenapa Bagas belum sampai juga. Aku menghubungi handphone'nya. Teelephone'ku diangkat, namun tidak ada suara yang menjawab. Aku sudah mulai panik dan berniat keluar mencari Bagas.

"Mau kemana kamu?" tanya Ayah yang ikut berdiri ketika aku sudah berdiri akan keluar mencari Bagas.

"Aku akan mencari Bagas, Ayah. Mungkin sesuatu terjadi padanya," ucapku.

"Sudahlah Chels, walau kamu mencarinya, kamu tidak akan menemukannya," ujar Ayah lagi.

"Apa maksud Ayah?" tanyaku mendengar ucapan ayah.

Ayah menghampiriku dengan memberikanku sebuah koran internasional berbahasa Inggris. Dari highline berita tersebut, ada sebuah judul, "3 mahasiswa Indonesia terperosok kesebuah bukit ketika bermain ski". Dari judul saja, berita tersebut sudah semakin membawa perasaan tidak enak.

"Ini, apa maksudnya ayah?" tanyaku dengan mencoba menenangkan diri.

"Bacalah. Hari minggu kemari, Karel meneleponku dan memberikan koran tersebut," ujarnya singkat.

"Lalu?" lanjutku belum paham apa yang dimaksud oleh ayah.

"Satu bulan yang lalu, 3 mahasiswa yang berasal di Indonesia bermain ski di disebuah resort di Prancis. Namun malang, arena ski yang mereka datangi mengalami longsor ketika mereka sedang bermain. Ketiga mahasiswa tersebut terperosk kedalam bukit. 2 diantaranya dapat diselamatkan. Namun sampai sekarang, satu diantara mereka masih mengalami koma," terang ayah panjang lebar.

"Bacalah, siapa nama mahasiswa tersebut," lanjutnya.

Aku pun membaca koran tersebut. Dan aku menemukan nama mahasiswa yang sampai sekarang belum bangun dari koma tersebut. Nama Bagasrds yang disebut dalam koran tersebut. Aku tidak percaya dan aku menolaknya.

"Karel mengatakan, minggu kemarin kamu membawa Bagas ke cafe'nya. Namun Karel pun tidak melihatnya," ujar Ayah.

"Bukan ayah, ini bukan Bagas yang dimaksud. Kemarin aku amsih bertemu dengannya Ayah," ucapku dengan bingung. Ayah hanya diam dan terlihat sedih. Dan aku pun berniat keluar untuk tetap mencarinya. Namun Ayah melarangku.

"Sudahlah, lupakan dia. Kamu tidak akan bisa bersamanya. Saat ini, kamu hanya harus mengikhlaskannya," ujar Ayah dengan keras.

"Tidak Ayah, aku sangat mencintainya. Aku ingin bersamanya," elakku.

"Sayang, ayah tahu bagaimana perasaanmu. Hal ini juga pernah ayah alami ketika ayah kehilangan Ibu kamu," jelasnya.

"Tapi aku belum kehilangan dia Ayah. Apa Ayah juga akan tetap meninggalkan Ibu bila Ibu bisa kembali?" tanyaku dengan menahan sesak didada. Ayahpun hanya terdiam tak menjawab pertanyaanku perihal Ibu yang sebenarnya telah meninggalkan kami sewaktu aku masih SD karena penyakit Leukimianya.

Malam itu, ayah memanggil Karel untuk menemaniku. Dan aku masih saja mencoba menghubungi handphone Bagas. Tidak ada lagi telephone yang tersambung. Namun tiba-tiba ada telephone masuk ke handphoneku.

"Halo, apa benar ini Chelsea?" tanya orang diseberang telepone.

"Iya, benar. Siapa ini?" tanyaku dengan kalut.

"Syukurlah kalau benar. Aku tidak tahu, apa aku perlu memberitahumu atau tidak. Aku mendapatkan nomor kamu dari kertas yang dipegang Bagas," ucap suara seorang wanita seperti sedang menahan tangisnya.

"Apa? Bagas? Dimana ia sekarang? Dan, siapa anda?" tanyaku dengan antusias namun khawatir.

"oh, saya Mama'nya Bagas. Sekitar satu jam yang lalu, Bagas telah meninggalkan kita untuk selamanya," ucap wanita yang mengaku sebagai Mama'nya Bagas dengan tangisannya yang pecah.
Ketidak percayaanku pun semakin menjadi. Aku menajtuhkan handphoneku. Aku menangis sekuatku. Aku tidak peduli ada Karel yang sedang menenangkanku.

Pagi-pagi aku pergi ketempat-tempat yang biasa aku kunjungi bersama Bagas. Aku bertanya beberapa orang yang sempat kami temui dijalan. Aku bertanya pada mereka, namun mereka hanya diam dan menolakku dengan alasan lupa. Aku ingat, kami sempat pergi kemini market dekat kampusku. Aku pun pergi disana.

Setibanya disana, sedang ramai-ramainya pengunjung antri didepan kasir untuk membayar belanjaannya. Saat itu aku sedang kacau, aku memotong antrian dan segera menghadap ke kasir. Dengan tanpa sabar, aku bertanya kepada kasir.

"Maaf, apa akmu ingat denganku?" tanyaku menggebu-gebu kepada kasir.

"Maaf kakak, sebaiknya anda antri dulu," ucapnya dengan masih ramah.

"Tidak, aku hanya ingin bertanya, apa kamu ingat denganku?" tanyaku lagi semakin memaksa.

"Kakak, sebaiknya Anda pergi saja. Aku tidak ingat kamu," ucapnya dengan keras. Pengunjung yang lainpun melihatku dengan amrah karena menghambat antrean mereka.

"Tidak, kamu mengingatku bukan? Minggu kemarin aku kesini denagn kekasihku. Kamu ingat bukan? Namun banyak yang mengatakan bahwa dia sudah meninggal," emosiku pecah, aku menangis ditengah banyak orang. Aku tak peduli. Sekarang, yang tadinya mereka melihatku dengan marah, menjadi melihatku dengan takut.

Kasirpun semakin acuh kepadaku. Dia memanggil security. Security pun memegangku dan menyeretku untuk keluar. Namun aku bertahan. Tiba-tiba, Karel datng.

"Maaf, aku mengenalnya. Dia temanku," Karel datang manyelamatkanku dari sang security. Karel mencoba menenangkanku denagn memelukku, namun aku tetap meronta. Aku melihat ada cctv.

"Dimana control room, aku ingin melihat rekaman satu minggu lalu," teriakku kepada security dengan tetap meronta dari pelukan Karel.

"Hei, apa kamu mengingat wanita ini? Katakan saja..." ucap security kepada pegawai kasir dengan meluapkan emosinya.

"Baiklah, baiklah. Jelas saja aku meningat anda. Minggu kemarin kamu datang dengan aneh. Kamu selalu berbicara sendiri," ujar Kasir dengan acuh.

Aku bingung dengan apa yang diucapkan oleh pegawai kasir. Aku tidak percaya. Aku benar-benar bingung apa yang sebenarnya terjadi padaku. Aku berlari keluar dari minimarket tanpa arah.
3 hari aku hanay berdiam dirumah. Saat itu, aku tengah berada dirumah dengan ditemani Ayah dan Karel. Karel menjelasakn kecelakan yang dialami Bagas adalah dihari yang sama dengan hari reunian kami tanggal 5 Januari kemarin. Jadi bagi Karel, tidak mungkin Bagas menemuiku. Karena hari itu Bagas ada di Prancis dan mengalami koma. Aku hanya menyimak apa yang dikatakan Karel namun aku acuhkan. Aku lebih sibuk untuk memikirkan Bagas.

Tiba-tiba bel rumahku berbunyi. Aku segera berlari membukakannya. Aku berharap itu adalah Bagas. Dan benar saja, itulah adalah Bagas. Aku menyambutnya dengan riang. Dia pun menyapaku dengan senyuman.

"Siapa?" tanya Karel yang menyusulku, begitu juga denagn ayah yang berada dibelakang Karel.

"Apa ada Bagas disini?" tanyanya lagi karena jawabannya atdi tidak kubalas namun aku hanay tetap tersenyum malihat Bagas yang ada didepan pintu. Diamku seperti mengiyakan jawaban Karel.

"Benar ada Bagas? Gas, kalau elo ada disini, pergilah. Sadarlah bahwa kamu sudah meninggal," ucap Karel dengan keras.

"Apa? Aku sudah meninggal?" tanya Bagas yang mulai kehialngan senyumannya.

"Kamu sudah meninggal Gas. Kalau belum, lalu apa kamu ingat naik kendaraan apa kamu sampai sini dari Parancis?" lanjut Karel.

Bagas yang masih didepan pintupun terlihat kebingungan. Kemudian dia berlari pergi dengan kesedihan dan kebingungan yang dapat kulihat. Aku ingin lari mengejarnya, namun Ayah juga Karel menahanku.
Sudah dua minggu aku tidak bertemu dengan Bagas lagi. Hampir tiap hari aku pergi kebukit untuk mencarinya, namun dia tak ada disana. Hingga suatu sore, tangisku pecah diatas bukit tersebut. Tiba-tiba ada orang yang membelai lembut rambutku. Aku menoleh, dan aku mendapati Bagas ada dibelakangku. Aku memeluknya. Aku tidak mau Bagas pergi lagi.

"Gas, kamu jangan pergi lagi. Aku gak mau kamu pergi ninggalin aku lagi," kataku padanya dengan terisak. Dia pun hanya tersenyum dan memelukku dengan erat.

Sudah seminggu aku menghabiskan waktuku dengan Bagas. Aku tidak peduli dengan pandangan aneh mereka yang tidak melihat kehadiran Bagas. Begitu pula dengan ayah yang melihatku terpuruk selama 2 minggu tanpa bertemu Bagas kemarin, ayah mulai mengijinkanku untuk menemui Bagas agar aku tidak sedih lagi.

Sore itu, aku baru sampai rumah setelah pergi bersama Bagas. Ayah sudah ada dirumah. Ayah menyambutku dengan hangat ketika melihatku denagn muka riang tiba dirumah.

"Sudah pulang? Dia ada disini?" tanya Ayah dengan ramah.

"Tidak Ayah, dia sudah pergi," jawabku dengan tenang.

"Oh. Oh ya, besok malam undang lah dia untuk makan dirumah," ajak Ayah.

"Benarkah, Yah?" tanyaku dengan antusias.

"Tentu saja," jawab Ayah sembari tersenyum. Aku pun memeluknay dengan gembira.

"Makasih, yah," ujarku.

Malam itu, Bagas sudah berada dirumahku. Aku, Ayah dan Bagas sudah duduk dimeja makan. Aku dan Ayah sedang menyantap makanan yang terhidang, namun Bagas tidak.

"Sayur yang dimasak bibi ini enaka ya..." ujar Ayah memecah keheningan. Memang sejak tadi terjadi keheningan karena hanya aku yang dapat melihat Bagas.

"Iya ya, yah. Ah sayang kamu Gas, kamu tidak bisa makan ya..." celotehku. Dan aku tersadar, Ayah hanya melihatku dengan pandangan anehnya. Memang, walau Ayah sudah mengijinkanku tetap menemui Bagas, tapi tetap saja aneh melihatku berbicara dengan Bagas namun Bagas tak terlihat oleh Ayah.

"A~a~, sudah, kalain abaikan saja aku," ucap Ayah buru-buru ketika ia menyadari aku memperhatikan ekspresi Ayah yang terlihat terkejut melihatku berbicara denagn Bagas. Suasana pun kembali hening.

"Besuk Minggu, kita pergi jalan-jalan yuk," ajakku kepada Bagas.

"Oh ya-ya, ayah akan mengosongkan jadwal Ayah Minggu besok," ujar Ayah dengan spontan.

"Ayah... aku berbicara kepada Bagas," jelasku melihat tingkah Ayah yang sedikit kaku.

"oh, ya. Maafkan ayah," pintanya yang hanya kusambut dengan senyum.

Setelah selesai makan, aku dan bagas mengobrol berdua diteras.

"Chels, sepertinya sebaiknya kita tidak bertemu lagi deh," ucap Bagas dengan lemah.

"Apa maksud'mu?" tanyaku terkejut.

"Kamu lihat ekspresi Ayahmu tadi? Kasihan beliau. Dan harusnya aku segera sadar bahwa tempatku bukan disini. Sebaiknya aku pergi saja," ucap Bagas yang mulai berjalan menjauh dariku.

"Tapi Gas, aku gak mau..." ucapku tak rela.

"Chels, sebaiknya kamu mulai mencoba mengikhlaskanku. Carilah orang yang tulus mencintaimu, orang yang bisa menjagamu. Karena aku juga pasti masih akan menjagamu.  Hiduplah dengan bahagia," ucap Bagas yang kemudian berjalan pergi meninggalkanku.

Entah kenapa, aku ingin mengejar Bagas. Aku ingin melarangnya untuk pergi. Namun, entah, tubuhku terasa berat. Terasa sulit untuk digerakkan. Aku hanya bisa diam melihat Bagas yang mulai berjalan jauh. Air mataku pun tak terbendung lagi. Aku menangis sejadinya ketika Bagas sudah tak bisa kulihat lagi.

EPILOGUE

Semenjak kepergian Bagas malam itu, aku tidak melihat Bagas lagi. Hingga hari ulangtahunku tiba. Karel dan Ayah memberiku kejutan ulangtahun. Walau aku masih merasa kehilangan dirinya, namun aku ingat apa yang diucapkannya, untuk mengikhlaskannya. Mungkin dengan aku mengikhlaskannya, dia pun akan tenang dialamnya.

Aku sedang makan malam dengan Ayah dan juga Karel dirumahku saat bel pintu berbunyi. Aku membuka pintu dan terkejut siapa gerangan yang datang.

"Hai Chels, kamu masih ingat aku bukan? Aku Bella, adik tiri Bagas. Maafkan aku waktu itu," ucap gadis yang ada didepanku yang bersama dengan seorang anak lelaki disampingnya.

"Oh, iya Bel. Aku masih ingat kamu," ucapku mencoba untuk tersenyum walau aku penasaran kenapa dia datang kesini.

"Pasti kamu penasaran kenapa aku kemari bukan? Ini, ibu Bagas menyuruhku untuk menemuimu dan menyerahkan ini padamu," jelas Bella tanpa ku tanya sambil menyerahkan sebuah kotak kecil kepadaku.

"Apa ini?" tanyaku penasaran sambil menerima kotak tersebut.

"Entahlah, ibu Bagas yang memberinya. Oh ya Chels, anak ini adalah penerima donor jantung Bagas. Ibu mengatakan, mungkin kamu ingin mengetahui anak ini," jelas Bella dengan ramah.
Bella hanya sebentar, setelah itu dia berpamitan pulang. Aku melanjutkan makanku. Aku belum mau peduli dengan apa isi kotak tersebut. Setelah selesai makan, Karel meyurhku berfoto dengan Ayah. Karel pun memotret kami.

Setelah Karel pulang, baru aku pun menyendiri dikamar dan membuka kotak yang di bawa oleh Bella tadi. Didalamnya, ada dua buah foto dan juga secarik kertas. Foto itu adalah fotoku yang diambil Bagas secara diam-diam dulu,dan yang satunya adalah foto matahari yang terlihat sangat terik. Kemudian aku membaca tulisan pada secarik kertas tersebut.

"Maafkan tante baru mengirimkan foto ini padamu sekarang, Chels. Setelah beberapa minggu, tante baru kuat untuk merapikan barang-barang peninggalan Bagas. Dua foto yang tante kirim, adalah foto-foto yang tante temukan di saku celana yang Bagas gunakan saat ia jatuh. Foto kamu selalu ia bawa kemana ia pergi, Chels. Dan foto matahari adalah foto yang ia ambil ketika hari itu dengan kamera polaroid'nya. Foto matahari tersebut terlihat indah bukan? Pasti ketika Bagas mengambil foto tersebut, ia mengingat kamu Chels. Kamu ingat malam itu waktu tante menelepon'mu Chels? Tante mendapatkan nomor kamu dari secarik kertas yang dipegang Bagas ketika dia masih koma. Namun tante pun tidak tahu dari mana ia mendapatkan kertas tersebut. Sebelum Bagas meninggal, ia sempat tersadr dari komanya. Namun ia hanya selalu menyebutkan nama kamu Chelsea. Dan kamu sudah melihat anak kecil yang menerima donor jantung Bagas bukan? Saat itu, tante pikir anak itu lebih mebutuhkan. Hingga akhirnya, atnte donorkan jantung Bagas untuk anak tersebut. Terimakasih Chelsea, telah sempat menjadi hari-hari untuk anak tante dan maafkan kesalahan Bagas." Tulisan dalam kertas tersebut.
Aku pun menangis ketika melihat 2 foto itu dan tulisan ibu Bagas. Dan tiba-tiba, handphone ku berbunyi. Karel menelponku. Dia mengatakan dia telah berada didepan pagar rumahku. Aku pun buru-buru turun untuk menemuinya kerena ada hal penting yang akan dikatakannya tentang Bagas, katanya.

"Ada apa sih Rel? Kok kaya' penting gitu," ucapku dengan tidak sabaran ketika baru membuka pintu gerbang rumahku.

"Chels, kamu lihat ini..." ucap Karel dengan tidak sabaran sambil menunjukkan sebuah foto.

"Apa ini Rel?" tanyaku sambil melihat foto tersebut.

"Ini foto yang aku ambil tadi Chels, foto kamu dan ayah kamu. Aku pulang tadi, alngsung mencetaknya dirumah. Kamu lihat hasil fotonya Chels, ada... Ada Bagas disana," ucap Karel dengan menggebu tak percaya.

Aku pun melihat foto tersebut. Dan benar saja. Ada foto Bagas difoto yang aslinya hanya foto aku dan Ayahku. Air mataku kembali mengalir keluar. Namun kali ini aku menangis bahagia. Bagas menepati janjinya. Janjinya untuk menjagaku ketika ia berpamitan meninggalkanku dulu. Ia masih berada disekitarku. Dan aku percaya itu.

Bulan pun berganti menjadi tahun. Aku masih berharap bisa melihat Bagas lagi. Namun harapan hanyalah harapan, tetap Tuhan yang menentukan. Hari itu adalah hari ulangtahunku dan juga Bagas seharusnya. Aku berharap, Bagas muncul kembali. Hanya sekedar lewat foto mungkin. Namun sayang, bahkan dalam foto, Bagas tidak pernah muncul. Namun aku tetap percaya, ia masih bersamaku.

Karel pun sempat mengutarakan perasaannya kepadaku, bahwa ia menyukaiku. Namun aku belum bisa menerimannya. Dan Karel berjanji akan tetap menungguku sampai aku bisa menerimanya.

Malam itu, setelah Karel mengutarakan perasaannya kepadaku, aku bermimpi. Ada Bagas dalam mimpiku. Namun aku tidak melihat wujud Bagas, hanya suaranya saja yang kudengar dalam mimpi.

"Chels, maafkan aku bila tak muncul lagi. Aku tak muncul bukan karena aku sudah tak menjagamu lagi. Namun, aku tahu sudah ada orang yang tepat untuk menggantikanku dalam menjagamu," suara Bagas dalam mimpiku. Tiba-tiba Karel muncul setelah suara Bagas menghilang.

Aku pun terbangun dari tidurku setelah Karel muncul. Aku kembali menangis. Apakah Bagas menginginkanku untuk bersama Karel? Kenapa dia bilang sudah ada yang tepat untuk menjagaku menggantikannya dan tiba-tiba karel muncul? Pertanyaan-pertanya itu pun seketika memenuhi pikiranku bersamaan dengan tangisanku.

~END~

Note:
Pasti banyak yang bertanya-tanya, kok gantung gitu endingnya??
Haha... Aku suka ending yang "sedikit gantung" seperti itu. Ending seperti itu lebih komunikatif untuk mengajak reader berpikir ending'nya.
Sebenernya udah dikasih tahu endingnya bagaimana, namun reader yang disuruh untuk lebih menjabarkan. Iya kan? :)
Dari judul sendiri, kalian udah tahu makna "Ever After" kan?
Pasti ada hubungan sama AfterLife lah. Jadi ya ada yang meninggal. Terus, happy'nya dimana?
Seenggaknya, happy'nya ada di Bagas yang bisa bersama Chelsea hingga kehidupan After'nya. :3

Kalau masih ada yang bingung, tanyain aja lewat twitter aku @bitaBee, chat room, atau comment di laman ini ya...
Komentar kalian juga ditunggu lho.
Makasih ^^

Kita Sahabat atau....? [oneshoot]

Konten cerita didalam postingan ini telah saya pindah ke web wordpress saya. Silahkan kunjungi wp saya untuk melanjutkan membaca.


Untuk password'nya, tanyakan ke @bitaBee.

Terimakasih.


NB:
Oh ya, ada yang bisa bantu jawab gak, itu Chelsea dengan Bagas dilihat dari cerita itu sahabatan atau apa??
Kirmim jawaban kalian ke twitter aku @bitaBee, chat room atau dikomentar dilaman ini yah... :D


Makasih ^^

Wednesday 29 January 2014

Happily Ever After (part 1)



Cerita ini aku ambil dari sebuah film yang ceritanya beda dari yang lain dengan judul yang sama.
Genre                 : Romance, Drama, Semi-horror, Fantasy
Cast                   : Chelsea – Bagas – Karel – Bella
Setting Time       : When they are in the senior high school until university.

This story isn’t pure of my creativity. I adapted this story from the original film with the same title, HAPPILY EVER AFTER. It’s an Hongkong Movie directed by Azrael Chung and Ivy Kong with writer Phillip Lui. The movie was produced in 2009 with the cast Ken Hung and Michelle Wai. For more info, you can read in here(HAPPILY EVER AFTER).

Happy reading! ^^


PROLOGUE

Ini adalah kisah ku dengan cinta sejatiku, Bagas. Bagas, adalah siswa pindahan yang baru masuk kesekolahku waktu kami ditingkat dua. Dan waktu itu, aku menjabat sebagai ketua OSIS disekolah tersebut. Aku tidak mengenalnya dari awal, karena kami bukan teman satu kelas. Kami bertemu disaat lomba fotografi yang diadakan dalam rangka ulangtahun sekolah kami. Kami mempunyai hobi yang sama, fotografi.

Kami sempat terpisah dengan kenangan akhir yang menyakitkan. Dan setelah 4 tahun, aku bertemu dengannya kembali. Namun, ayahku menyuruhku untuk melupakannya.

“Sudahlah, lupakan dia. Kamu tidak akan bisa bersamanya. Saat ini, kamu hanya harus mengikhlaskannya,” ujar Ayahku.

“Tidak Ayah, aku sangat mencintainya. Aku ingin bersamanya,” elakku.

“Sayang, ayah tahu bagaimana perasaanmu. Hal ini juga pernah ayah alami ketika ayah kehilangan Ibu kamu,” jelasnya.

“Tapi aku belum kehilangan dia Ayah. Apa Ayah juga akan tetap meninggalkan Ibu bila Ibu bisa kembali?” tanyaku dengan menahan sesak didada. Ayahpun hanya terdiam tak menjawab pertanyaanku perihal Ibu yang sebenarnya telah meninggalkan kami sewaktu aku masih SD karena penyakit Leukimianya.

Sekarang, aku hanya tinggal berdua dengan Ayahku yang merupakan seorang pengusaha. Terkadang, Karel, sahabatku dari kecil, mampir kerumah untuk meramaikan suasana rumahku ini. Karel yang sangat dekat dengan ayahku. Ayahku pun mengamanatkan kepada Karel, untuk menjagaku.


Chapter 1

Pagi ini, suasana hangat dari sinar matahari menyambut ku yang membuatku merasa lebih bersemangat untuk jalani hari. Mulai hari ini, aku menjabat sebagai ketua Osis disekolahku setelah waktu liburan kemarin, serah terima jabatan dilangsungkan. Dan tugas awalku sebagai ketua OSIS adalah menjaring siswa-siswa baru untuk bergabung di Organisasi sekolah ini. Maka, aku pun sering tampil untuk membari sambutan ketika ada acara disekolah. Terutama ketika usai upacara bendera pada hari Senin pagi. Dan dalam sebulan, tugas tersebut sudah kulaksanakan, maka tugas keduaku sudah menunggu.

2 bulan lagi, ulang tahun sekolah akan digelar. Dewan Guru telah memerintahkan OSIS untuk mengadakan beberapa lomba untuk meramaikan acara ulangtahun tersebut. Maka, sebagai ketua OSIS, aku pun bertindak sebagai ketua panitia. Aku mulai mengumpulkan ekskul (exstra Kurikuler) yanga da disekolahku. Kemudian, aku mengumpulkan anggota ekskul tersebut untuk meminta mereka menjadi panitia dalam tiap lompa sesuai ekskul yang mereka ikuti. Dan aku pun mengeluarkan sebuah peraturan yang sudah disepakati bersama, bahwa panitia umum (yang terdiri dari anggota OSIS) dan panitia khusus (yang berasal dari tiap ekskul) boleh mengikuti lomba yang diadakan, asal panitia tersebut tidak terlibat langsung untuk mengurus jalannya lomba tersebut. Jadi, aku bisa mengikuti lomba fotografi yang diadakan.

2 minggu sebelum D-day, pendaftaran untuk setiap lomba telah dibuka. Dan untuk lomba fotografi, foto yang diserahkan paling lambat seminggu sebelum D-day. Maka, aku hanya mempunyai waktu seminggu untuk memotret objek yang akan ku jadikan materi.

Hari itu hari Jumat, dimana besok adalah hari Sabtu yang berarti sekolah libur. Karena sekolahku memang hanya menerapkan 5 hari aktif. Selesai jam sekolah, aku memutuskan untuk tinggal disekolah. Aku mempunyai ide untuk menjadikan sunset sebagai objek fotoku. Dan aku berniat untuk mengambil gambar tersebut di rooftop sekolah yang memang mempunyai tinggi yang lebih daripada gedung disekitar lokasi tersebut.

Sore itu, sekolah telah sepikarena semua anak sudah pulang. Pukul 5pm, aku memutuskan untuk naik ke rooftop sekolah. Aku mulai mempersiapkan kameraku dan mencoba untuk memotret objek-objek menarik yang ada disana. Hingga sebuah suara pintu rooftop terdengar seperti ada yang membukanya. Aku melihat kearah pintu.

Krreeeekkkkk~ *pintu terbuka*

Aku mulai melihat seorang cowok dibalik pintu.

“Eh,” ucapnya kaget melihatku.

“Apa yang kamu lakukan disini?” tanyaku padanya.

“Apa yang kamu lakukan juga disini? Itu bukan urusanmu apa yang kulakukan disini,” elaknya sambil berjalan menuju arahku yang memang tempat paling bagus untuk melihat sunset.

“Ishh, jadi yang kulakukan disini juga bukan urusanmu,” belaku.

“Bukankah kamu ketua OSIS?” tananya kepadaku ketika sudah berada didekatku.

“Kamu siapa? Sepertinya aku belum pernah melihatmu,” tanyaku balik tanpa menjawab pertanyaannya.

“Lho, kamu juga membawa kamera?” tanyanya ketika mengeluarkan kameranya dari tasnya.

Aku mulai mengira-ira apa yang akan ia lakukan. Aku diam tak menjawabnya. Dia pun diam melihatku seperti berpikir sesuatu. Keheningan menyergap kami untuk sementara.

“Apa kamu juga mengikuti lomba fotografi?” tanyaku menghapus keheningan.

“Jadi, apa kita memiliki objek yang sama untuk lomba tersebut?” Ia bertanya yang sepertinya pikiran kami sama. Saling menebak mengikuti lomba fotografi dengan objek sunset.

“Kamu juga? Sebaiknya kamu ganti karena aku duluan ayng berada disini,” ujarku kesal.

“Apa?” ujarnya terpotong karena tiba-tiba hujan gerimis turun walau matahari masih bersinar. Kami pun berlari mencari tempat berteduh. Kami masuk kembali ke area sekolah.

“Aku tidak akan mengganti objekku, walau objek kita sama. Biarkan panitia yang menentukan siapa yang menang,” ungkapnya dengan marah.

“Apa katamu? Baiklah, aku juga tidak akan mengganti objekku,” ujarku dengan kesal juga.

Setelah itu, kami pun duduk terdiam saling membelakangi. Namun cuaca tidak bersahabat. Setelah gerimis turun, mendung baru menyusul. Akhirnya dia pergi dulu setelah waktunya matahari terbenam, cuaca belum juga mendukung kami untuk mengabadikan terbenamnya matahari sore itu.

Dirumah, aku menggerutu kesal terhadap cowok tadi yang juga belum kutahu namanya.

“Nyebelin banget sih cowok tadi. Huft. Aku juga belum pernah liat dia. Siapa ya dia? Ah, gak penting,” gerutuku ketika mau tidur.

“Baikalah, bukannya aku mau mengalah. Besok pagi mungkin aku perlu pergi kebukit. Untuk jaga-jaga saja. Karena akhir-akhir ini cuaca juga tidak menentu. Pokoknya, hari Senin besok, aku harus sudah mengumpulkan hasil fotoku,” tekadku menguat.

Maka,aku set alarmku pukul 3.30am. Aku tidak mau kesiangan. Aku ingin memotret sunrise dari bukit dekat rumah. Aku bangun pagi agar tidak tertinggal moment munculnya sunrise tersebut.

Maka, pukul 4.30am aku sudah berada dibukit yang kumaksud. Lagi-lagi, aku melihat sesosok cowok yang sudah bersiap dengan kameranya menghadap kearah sunrise. Aku tidak dapat melihat siapa cowok tersebut, karena kabut masih menyelimuti bukit tersebut. Aku mendekatinya dengan perlahan. Namun mungkin karena gesekan suara sepatu yang kupakai dengan rerumputan, dia menyadari kehadiranku. Dia pun menoleh kepadaku.

“Kamu?” ujarnya ketika melihatku. Aku pun berhenti sejenak.

“Kamu? Apa yang kamu lakukan disini? Jangan bilang kamu juga akan memotret sunrise,” sindirku setelah melihat siapa cowok tersebut.

“Baiklah, kita main fair saja. Aku tidak peduli bila objek kita sama. Toh, yang menentukan siapa yang menang juga panitia kalo tidak ada nepotisme,” ujarny serasa menyindirku karena aku ketua umum panitia lomba.

“Baiklah. Tenang saja, aku bukan tipe orang yang suka curang,” ungkapku yang sudah berdiri disampingnya sambil mempersiapkan kameraku.

Namun lagi-lagi, butiran air kembali turun dengan pelan dari atas.

“Ahh, jangan lagi-lagi,” teriakku sambil kembali merapikan kamera.

“Ayo, cepat berteduh,” ajaknya sambil menarik tanganku.

Kami pun berlari dengan bergandeng tangan mencari tempat berteduh. Namun karena berada diatas bukit, kami tidak menemukan tempat permanen untuk berteduh. Hanya ada sebuah gazebo yang berada dibawah sebuah pohon besar. Kami pun memutuskan untuk berteduh digazebo tersebut, karena memang hanya itu satu-satunya tempat untu k berteduh yang berada diatas bukit tersebut.

“Kamu tidak apa-apakan?” tanyanya setelah kami berhenti berlari dan telah berada digazebo yang berada dibawah pohon tersebut.

“A, tidak. Hanya basah saja,” jawabku asal, sambil merapikan rambutku yang basah terkena guyuran air hujan ketika berlari tadi.

“Aku Bagas,” katanya sambil mengulurkan tangan kanannya. Aku hanya terdiam sejenak.

“Bahkan kita belum sempat berkenalan, bukan?” lanjutnya.

“Chelsea,” jawabku sambil membalas uluran tangannya.

“Iya, aku sudah tahu. Kamukan ketua OSIS disekolah,” ungkapnya dengan bercanda.

“Tentu saja kamu harus sudah tahu akau, aku kan populer,” balasku yang dibalasnya dengan tertawa.

Sejak itu, kami tidak kaku berbicara lagi.

“Btw, kenapa aku sepertinya baru kemarin melihatmu? Apa kamu anak baru? Kamu kelas apa?” tanyaku.

“Benar, aku anak baru. Baru tahun ajaran ini aku pindah kesekolahmu. Aku kelas XI IPA 1,” ujarnya.

“Lha, aku IPA 2. Bukankah kelas kita berdekatan? Tapi kenapa aku tidak pernah melihatmu ya?” heranku.

“Tentu saja kamu tidak pernah melihatku. Kamu terlalu sibuk dengan OSIS, makanya tidak memperhatikan sekitarmu,” timpalnya.

“Oh, mungkin saja,” jawabku sambil tersenyum.

“Ngomong-ngomong, apa rumahmu dekat sini? Pagi sekali kamu sudah sampai sini,” tanyanya.

“Tentu saja, sekitar 10 menit dengan mobil aku sampai sini. Lalu, apa rumahmu juga daerah sini?” tanyaku balik.

“Iya, sekitar 20 menit dengan sepeda aku sampai sini,” jawabnya.

Hujan mulai reda, matahari juga sudah terbit namun terlalu tinggi bila disebut sunrise. Maka, kami pun memutuskan untuk pulang.

“Baiklah, kita main fair bukan? Aku akan menghadapimu dengan fair,” janjiku kepadanya.

“Oke,” jawabnya singkat sambil berlalu dengan meng-gowes sepedanya.

Entah, perasaan seperti apa yang melandaku saat itu. Rasanya tentram dan senang saja. Dan rasa sebel terhadap cowok yang bernama Bagas tersebut pun mulai lenyap.

Maka, pagi harinya aku memutuskan untuk kembali kebukit karena sore kemarin juga hujan, jadi sunset pun tak dapat kuabadikan lagi. Dan semalaman tadi, aku sudah berdoa, semoga pagi ini tidak hujan dan Tuhan pun mengabulkan doaku.

Aku keluar rumah lebih pagi. Jam 4am kurang aku sudah pergi dengan diiringi bintang yang masih berkelip dilangit. Namun kali ini, aku memakai sepeda bukan mobil lagi untuk menuju bukit tersebut.

“Kamu datang kesini lagi?” suara seorang pria menyambutku ketika tiba diatas bukit.

“Bagas?” tanyaku memastikan suara siapa yang bertanya kepadaku. Setelah dekat dengan posisi dimana pria tadi berdiari, aku pun memastiakns endiri bahwa benar dia Bagas.

“tentu saja, bukankah aku bilang kita akan bermain fair. Aku tidak peduli walau objek kita sama, tetap saja yang menentukan pemenangnya  adalah panitia fotografi,” jelasku.

“Baiklah, kita lihat siapa yang menang,” ujarnya sambil tersenyum yang kubelas dengan senyuman juga.

Cuaca pagi ini benar-benar bersahabat. Tak ada kabut bahkan hujan yang datang menghampiri kami. Dan kamipun sibuk mengabadikan kehadiran matahari yang baru muncul dari persembunyiannya.

Selesai memotret, kamipun bersantai sejenak diatas bukit. Aku dan Bagas tiduran diatas rerumputaan hijau dipadang yang luas tersebut. Pagi itu, kami benar-benar menikmati keindahan yang disajiakan oleh alam. Burung-burung berterbanagn mulai meninggalkan sarangnya untuk mencari makan, kupu-kupu pun mulai bekerja mengumpulkan madu dari bunga-bunga yang tumbuh dibukit tersebut. Benar-benar alam telah memanjakan kami.

Setalah dirasa senagatn matahari yang mulai panas dan perut yang mulai keronconagan, aku dan Bagas pun memutuskan untuk pulang. Dan Bagas pun terkejut ketika kami telah sampai dibawah bukit, dia melihat aku dengan sepedakau.

“Kamu, pake sepeda kesininya?” tanay nay padaku dengan terkejut.

“Iya, memang kenapa?” tanayku dengan polos.

“Oh, tidak apa-apa,” jawabnya sambil tersenyum.

Kami pun menggayuh sepeda bebarengan. Dan ternyata rumahku lebih dekat daripada rumah Bagas. Untuk kesopanan, aku menagjak Bagas untuk mampir sarapan dirumahku. Namun ia menolaknya. Ia hanya mengantarku sampai depan rumahku. Dan dia pun segera berlalu.

Hari Senin pun tiba kembali, waktunya kembali bersekolah. Dan bel sekolah pun telah berbunyi dua kali, menandakan waktu istirahat baru dimulai. Setealah guru membubarkan siswa untuk beristirahat, aku langsung berlari menuju stand pendaftaran lomba fotografi yang berada di depan ruang OSIS.

“Ini aku daftar ya. Oh ya, jangan mentang-mentang aku ketua OSIS’nya kalian memengkanku ya...” candaku kepada panitia yang sedang menajaga stand pendaftaran tersebut.

“Haha... Tentu dong bu ketu...” balas mereka yang memang biasa memanggilku ibu ketu(a) sesuai jabatanku sebagai Ketua OSIS.

“Harus dong, jangan mentang-mentang panitianya terus dimenangin,” suara cowok yang baru saja berada disampingku sambil membawa amplop besar yang kemungkinan berisi foto dan formulir pendaftaran lomba foto juga.

“Eh, kamu juga daftar hari ini?” tanyaku secara spontan kepada cowok tersebut yang ternyata Bagas.

“Ya iyalah, lebih cepat lebih baik bukan,” jawabnya singkat.

Kami menunggu sejenak didepan stand pendaftaran sembari menunggu panitia selesai mengecheck berkas pendaftaran kami.

“Ini, objek kalian mirip,” komentar Difa yang merupakan ketua ekskul Fotografi yang juga sedang menjaga stand pendaftaran.

“Iya, makanya, jangan pandang aku sebagai ketua langsung aku dimenangkan ya. Kalian bisa fair kan?” tegasku sambil melihat Bagas yang hanya tersenyum.

“Oke-oke. Ya udah, berkas kalian juga udah lengkap kok,” timpal Difa.

“Pengumuman pemenangnya udah tahu kapan kan?” canda Difa.

Aku dan Bagaspun meninggalkan stand tersebut.

“Pengumuman pemenang, diumumin waktu puncak ultah sekolah kan?” tanya Bagas kepadaku.

“Iya, besuk Sabtu. Jadi Sabtu besuk kita tetap berangkat sekolah untuk menikmati pesta yang telah kami persiapkan,” jelasku.

Kemudian aku dan Bagas pun berpisah. Karel, sahabat dari kecilku yang sekarang menjabat sebagai wakil ketua OSIS, sudah menungguku diujung lorong. Aku dan Karel segera harus menuju ruang Dewan Guru untuk rapat mengenai detail acara Sabtu besuk. Sedangkan Bagas, katanya dia ingin balik kekelas saja.

“Siapa itu tadi Chels?” tanay Karel ketika aku sudah didekatnya.

“Cowok tadi? Itu anak baru kelas IPA 1,” jawabku seadanya.

“Kok udah keliatan deket aja sama kamu Chels?” tanyanya layaknya seorang detektif.

“Apa’an sih kamu? Enggak juga kok,” jawabku sekenanya.

Karel pun mulai diam tak bertanya setelah mendengar jawaban males-malesanku tadi. Aku mulai mengingat Bagas. Sejenak berjalan dengan Bagas tadi, adalah kali pertama aku bertemu dengannya dikeramaian sekolah. Dan aku perhatikan, dia anak baru yang cukup populer. Semenjak berjalan atdi, aku perhatikan banyak anak cewek disekolahku yang diam-diam dengan malu-malu memperhatikan Bagas. Secara fisik, Bagas memang cowok ideal. Tubuhnya tinggi beasar ditambah kharisma yang muncul. Tidak mengherankan bila dia banayk dikagumi.

Hari-hari berikutnya, aku hanya bertemu sekilas dengan Bagas ketika berjalan disekolah. Ternyata setelah kenal, sering juga kami bertemu walau hanya sekilas. Dan biasanya sapaan kami hanay saling tersenyum, tanpa berbincang panjang lebar lagi. Aku pun tersibukkan dengan persiapan acara ulang tahun sekolah Sabtu besuk.

Hari Sabtu pun tiba. Acara pesta ulang tahun sekolah dibuka dengan doa bersama, kemudian potong tumpeng oleh kepala sekolah dilanjutkan perlombaan seru-seruan yang telah disiapakan. Dan pengumuman pemeng lomba baru akan diumumkan diakhir acara tersebut. Kira-kira sore nanti. Aku benar-benar sibuk saat itu. Dan baru bisa bersantai setelah tinggal acara pengumuman dan penyerahan hadiah lomba yang dimulai siang hari. Padahal acara telah dimulai sejak pukul 8 tadi pagi.

Maka, pengumuman pemenang lomba fotografi pun akan segera terungkap. Difa sebagai ketua panitia lomba, telah mengumumkan pemenang ke-2 dan ke-3 lomba fotografi. Dan diantara dua pemenang tersebut, namaku dan nama Bagas belum tersebut. Dan ini membuatku semakin tegang hingga Difa mengumumkan,

“Untuk juara satu ini, kami sebagai panitia sangat bingung untuk memutuskan. Ada dua foto yang menari perhatian dengan objek yang menarik dan hasil foto yang bagus. Terlebih lagi, objek foto dari keduanya adalah sama,” ungkap Difa. Aku yang sudah berdiri didepan panggung secara reflek mengarah kearah Bagas yang sedari tadi berada disamping panggung. Bagas pun sedang memandangiku. Mungkin akrena juga mendengar ucapan Difa yang menyebutkan objek kedua foto sma. Maka, akmi pun was-was menunggu kealnjutan apa yang akan diomongin oleh Difa.

“Ya, kedua foto ini memiliki objek yang sama. Dan hebatnya, hasil keduannya pun memuaskan. Maka kami juri memutuskan, akan ada dua pemenang untuk juara pertaam. Dan keputusan juru ini tidak bisa diganggu gugat,” ungkap Difa yang membuatku semakin gugup.

“Dan pemanangnya adalah.....” lama Difa tidak menyebutkan.

“Pemenangnya adalah Chelsea dan Bagas...” teriak Difa yang disambut sorak-sorai penonton lain.

Aku pun dengan riangnya naik kepanggung untuk menerima pialaku. Ya, pialaku. Namun aku kemudian ingat ada dua orang pemenang, aku dan Bagas. Maka panitia pun hanya memberikan satu piala untuk kami, aku dan Bagas. Untuk piagam, masing-masing dari kami, mendapat satu tentunya.

Aku dan Bagas pun sempat adu mulut dengan suara pelan diatas panggung setelah piala kami terima. Kami merebutkan, siapa yang akan membawa piala tersebut. Setelah turun panggung, kami pun bersepakat, minggu pertama piala akan ku bawa, minggu kedua piala tersebut akan disimpan Bagas dan berlanjut bergilir untuk minggu selanjutnya. Dan bukit dekat rumah, adalah tempat pertemuan kami untuk menyerahkan piala tiap Sabtunya.

Sudah satu bulan semenjak pengumuman pemenang lomba fotografi berlangsung, aku semakin dekat dengan Bagas. Tentunya karena setiap Sabtu aku bertemu dengannya dibukit dan kami menghabiskan pagi bersama disana. Dan Sabtu ke-5 ini, Bagas mengajakku untuk hunting foto ke Bogor. Kami akan pergi pagi sekali dengan kereta, dan pualang pada sore harinya.

Hari ini, Sabtu ke-5 piala kami, aku bersamanya. Pukul 6 pagi, Bagas menjemputku dengan sepeda motor sport’nya. Kami menuju stasiun kereta api Manggarai karena kami memang akan menggunakan KomuterLine untuk menuju Bogor. Didalam kereta, kami semakin akrab. Kami sudah mulai menjepret objek menarik selama perjalanan.

Setelah satu jam’an, pukul 9 pagi kami sampai di stasiun Bogor. Karena Bagas sudah mulai lapar lagi, maka kami menuju taman Topi dimana disana banyak penjual makanan. Selain itu, kami juga bisa hunting foto di taman tersebut. Sekitar 2 jam kami tinggal ditaman tersebut. Selanjutnya, kami menuju Istana Bogor dan juga Kebun Raya Bogor. Disana, banyak sekali objek hunting yang bisa kami ambil. Aku lebih suka memoteret alam, sedangkan Bagas, selalu memintaku untuk dijadikan modelnya. Karena pada dasarnya aku juga suka difoto, maka akupun mengiyakan.

Pukul 5 sore, kami baru sampai stasiun Bogor kembali. Padal tiket yang kami beli baru jam 7 malam kereta datang. Maka, waktu dua jam itu kami masih saja menghabiskan dengan mengambil gambar disekitaran stasiun. Walau tubuh ini sudah terasa capek benar.

Kereta telah meninggalkan stasiun Bogor, aku dan Bagas sudah berada didalamnya. Sore itu, kereta tidak terlalu padat. Karena kami saling merasa capek dan ingin istirahat dengan area yang luas, maka Bagas duduk dikursi belakangku. Saat dikereta, aku pun lelap tertidur dan baru bangun setelah sampai di stasiun Manggarai kembali dengan Bagas yang telah duduk disampingku membangunkanku.

Bagas tidak alngsung menagntarku pulang. Dia mengajakku untuk makan disekitaran stasiun dulu. Disebuah warung makan kecil dengan duduk lesehan. Lagi-lagi, Bagas menjadikanku objek fotonya.

Pukul 09.30 malam, aku baru sampai rumah dengan diantar oleh Bagas. Bagas hanya mengantarku sampai depan rumah saja, dia tidak enak bial ahrus mampir karena sudah larut malam. Dari rumah deapn rumahku, aku merasa seperti diawasi ketika Bagas tengah berpamitan kepadaku. Dan setelah bagas pergi, si penguntit muncul yang bukan lain adalah Karel, sahabatku dari kecil yang memang rumahnya depan rumahku.

“Baru pulang? Itu tadi Bagas ya?” tanya Karel sambil keluar dari pintu gerbang rumahnya.

“Kamu Rel, mau kemana malam-malam gini keluar?” basa-basiku.

“Mau cari makan di depan, orang rumah dah pada tidur. Eh, kamu belum jawab, itu tadi Bagas ya?” tanyanya dengan mendekatiku.

“Oh, iya. Tadi kita habis hunting foto di Bogor,” jawabku.

“Di Bogor? Berdua aja?” tanyanya tanpa sabaran.

“Iya, berdua. Kenapa sih Rel? Khawatir gitu ekspresinya? Udah sana, cari makan, dah kelaparan tuh. Lagian aku dah capek, aku masuk dulu ya,” pamitku sambil masuk gerbang rumah.

“Eh, tapi Chels....” tolaknya yang terpotong karena aku sudah berlalu.

Setelah bersih-bersih, aku pun segera menuju tempat tidur. Namun, aku penasaran juga dengan hasil jepretanku tadi. Sambil melihat-lihat ulang hasil fotoku, aku menerima kabar bahwa Bagas telah sampai dirumahnya dengan selamat. Aku pun tertidur dengan kameraku yang masih ku pegang.

Sabtu-sabtu berikutnya pun aku habiskan dengan Bagas. Namun bila disekolah, kami jarang terlihat bersama memang, ya karena kesibukanku sebagai ketua OSIS tersebut. Sabtu-sabtu selanjutnya, bila ku dan Bagas mempunyai waktu cukup luang,  sering kami pergi hunting foto bersama. Sekedar hunting disekitaran bukit, keliling Jakarta, hingga ke Bandung berdua.

Tibalah pada Sabtu pertama di bulan Maret, Sabtu minggu depan adalah tanggal 12 dimana aku ulang tahun. Ya, ulang tahunku adalah 12 Maret*. Sabtu itu, hanya kami habiskan dibukit tersebut. Dan Bagas mengajakku untuk Sabtu depan, pukul 2 siang pergi bersamanya. Sedikit mengherankan memang, apa dia tahu kapan ulangtahunku?

Sabtu, 12 Maret pun tiba. Pukul 1 siang Bagas sudah menjemputku. Kali ini, Bagas berpenampilan sangat rapi. Dia memboncengkan aku, tanpa memberitahuku kemana kami akan pergi.

Kami telah sampai disebuah cafe yang sepertinya telah didekor ulang. Bagas pun mengajakku masuk. Didalam, sudah banyak teman sekolahku yang tengah menikmati hidangan yang tersedia. Seorang gadis yang belum kukeanl menghampiri Bagas, namun Bagas cuekkin. Bagaspun pamit kepadaku untuk naik kelantai atas sejenak. Ia meninggalkanku dikerumunan teman-teman sekolahku.

Gadis itu mendekatiku, dan menyapaku.
“Hai, kamu Chelsea ya? Bagas sering sekali bercerita tentang kamu,” sapanya ramah.

“Hai, kamu siapa ya?” balas ku dengan heran.

“Oh, aku Bella, pacarnya Bagas,” jawabnya dengan tetap tersenyum dan mengulurkan tangannya.

Pengakuan gadis ini membuatku speechless dan mematung. Entah perasaan apa ini. Memang benar selama ini tidak ada kata jadian antara aku dan Bagas. Namun kedekatan kami, aku kira sudah melebihi dari pertemanan biasa.

“Oh ya, kamu sudah tahukan ini pesta untuk apa? Hari ini Bagas ulangtahun. Ini pesta ulangtahunnya sekaligus pesta perpisahan untuknya. Karena dia akan pergi ke Prancis untuk melanjutkan sekolahnya mengikuti tugas ayahnya. Tentunya aku akan ikut bersamannya,” lanjutnya yang semakin membuatku speechless.

Kalimat pengakuan gadis yang berada didepanku ini, membuat duniaku seakan berhenti sejenak. Aku tidak bisa menggerakkan tubuhku hanya untuk sekedar membalas senyumnya saja. Hingga sosok Bagas kulihat sedang turun dari tangga.

Aku pun segera membalikkan tubuhku dengan butiran asin telah keluar dari pelupuk mataku. Sayangnya, tanpa sengaja ketika aku berbalik, aku menyenggol gelas seseorang yang menyebabkan air minum didalamnya tumpah kebaju ku dan juga baju orang yang membawa gelas tersebut. Kulihat siapa orang yang membawa gelas tersebut yang ternayta adalah Karel.

Karel melihatku menangis. Dia mencoba menenangkanku. Aku pun memeluk sahabat sedari kecilku ini. Bagas yang sudah turun pun mendekatiku dan mencoba untuk menyentuh lenganku. Tanpa berpikir panjang lagi, aku berbalik dan segera menampar pipi Bagas. Bagas terkejut. Ia menjatuhkan kotak yang sepertinya ia ambil dari lantai atas tadi. Bagas masih mencoba dengan tenagn bertanya padaku,
“ada apa?” tanyanya.

“Ada apa kamu bilang? Apa kamu sengaja mempermainkanku? Kamu akan pergi ke Prancis bukan? Dengan gadis itu?” ucapku menggebu-gebu sambil menunjuk gadis yang memperkenalkan namanya tadi, Bella.

Bagas hanya diam saja dan masih memegang pipinya yang kena tamparanku tadi. Raut mukanya telah berubah mejadi merah. Sepertinya ia mulai marah atas tuduhan-tuduhanku tadi. Bagas pun mulai menginjak-injak kotak yang terbuat dari kardus yang ia jatuhkan tadi.

“Benar, aku akan segera berangkat ke Kanada. Dan aku akan pergi dengan Bella,” ucapnya kemudian menarik tanagn Bella keluar dari Cafe tersebut.

Aku hanya bisa terdiam melihat kepergiannya. Karel mencoba menenangkanku kembali. Namun emosi yang memuncak ini tidak bisa kutahan lagi. Aku pun keluar dari Cafe tersebut dengan air mata yang semakin deras keluar.

Aku tiba dirumah dengan air mata yang masih keluar. Ayah telah menungguku sedari tadi. Ia mencegatku ketika aku akan masuk kamar. Ayah terlihat khawatir. Ia menyuruhku untuk meniup lilin kue ulangtahunku yang telah ia siapkan sedari tadi. Namun aku cuek. Aku sudah tidak kuat untuk berpikir logis lagi. Aku masuk kamarku dengan membanting pintunya. Ayah hanya terhenyak melihatnya.

Ku tengah berada dikamarku ketika Karel mengetuk pintu kamarku.Mataku masih lebam karena sedari tadi aku menangis. Aku pun membukakan pintu untuk Karel.

“Ini sepertinya untuk kamu,” ujarnya sembari mengulurkan kotak yang yang diinjak-injak oleh Bagas tadi.

“Baiklah, sepertinya aku harus cepat pulang. Istirahatlah,” lanjut Karel yang menyadari keheningan yang kuciptakan.

Setelah aku menutup pintu, aku pun membuang kotak tersebut ketempat sampah dekat meja belajarku. Tanpa kubuka, aku membuangnya begitu saja dan beranjak ketempat tidur. Namun, aku penasaran juga dengan apa isinya. Maka, aku bangun kembali dan mengambil kotak tersebut dari kotak sampah.

Aku mulai membuka kotak tersebut yang ternyata terisi penuh dengan foto-foto. Foto teratas yang kulihat adalah foto piala lomba fotografi kami. Dibalik foto terdapat tulisan;

Aku sudah memotretnya. Pialanya untuk kamu saja. Aku akan menyimpan fotonya. ^^” tulisnya.

Masih banyak foto didalam kotak tersebut. Foto-foto yang mengabadikan diriku didalamnya. Foto-foto yang ia ambil secara diam-diam tanpa aku sadari. Dan disetiap foto, ia tulisi komentarnya. Ada juga sebuah note ayng ia tuliskan untukku diakhir tumpukan foto-foto tadi,
Aku tidak tahu sebelumnya bila ulang tahun kita sama. Ini sangat menakjubkan bertemu orang yang memiliki tanggal kelahiran sama bukan? Selamat ulang tahun, Chels. Semoga kadoku ini, bisa menggambarkan bagaimana perasaanku kepadamu yang sebenarnya.

Aku kembali menangis membaca apa yang ia tulis. Aku sadar, dia memang benar-benar menyukaiku hingga banyak mengambil foto-fotoku secara diam-diam begini. Namun, aku tadi telah melakukan kesalahan besar. Menamparnya juga memakinya dengan keras dihadapan banyak teman.


-TBC-

Note :
Cerbung ini hanya 2 part. Udah jadi, namun masalahku selalu berhubungan dengan koneksi. Besok semoga bisa posting. Aamiin.
12 Maret* sbg hari ultah mereka juga ada teorinya. Tp sprtinya rahasia saja ah. :D
Harusnya tanggal 26 Desember yah... :( *myweakness
Kalau ada yang bingung tentang cerita atau istilah dalam cerbung, tanyain aja lewat twitter aku @bitaBee, chat room, atau comment di laman ini ya...
Komentar kalian juga ditunggu lho.

Makasih :)

Tuesday 14 January 2014

My Beloved Friend (oneshoot)

Konten cerita didalam postingan ini telah saya pindah ke web wordpress saya. Silahkan kunjungi wp saya untuk melanjutkan membaca.


Untuk password'nya, tanyakan ke @bitaBee.

Terimakasih.